Friday, December 07, 2007

Kenapa Harus BHP?

Yogyakarta | Rabu, 21 Nov 2007

Meski masih berupa Rancangan Undang-undang, namun penolakan Badan Hukum Pendidikan (BHP) sudah ditegaskan. Baik oleh Perguruan Tinggi Negeri (PTN), Perguruan Tinggi Swasta (PTS), kampus yang berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN), mahasiswa, praktisi pendidikan, hingga masyarakat umum.

PTN maupun BHMN menolak BHP karena melihatnya sebagai keinginan pemerintah untuk melakukan privatisasi, meniadakan pendanaan oleh negara, dan menghapus pensiun. Pihak PTS melihat RUU tersebut sebagai agenda tersembunyi dari pemerintah untuk menyingkirkan peran yayasan dan menghilangkan aset mereka. Sedang praktisi, mahasiswa, dan masyarakat umum melihat RUU ini sebagai kehendak pemerintah untuk mengomersilkan pendidikan.

Tentulah tidak mengherankan jika Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mengagendakan pembahasan RUUBHP pada Sosialisasi Kebijakan dan Capaian Kerja Depdiknas 2005-2007, Sabtu, 17/11, di Yogyakarta. Salah satu anggota Badan Kerja RUUBHP, Johannes Gunawan pun didaulat untuk menjawab segala pertanyaan.

Yang jelas, kata Johannes, tidak benar jika pemerintah ingin lepas tangan dengan dunia pendidikan. Dalam pasal 32 drart RUUBHP yang dibuat November 2007 menyatakan bahwa negara akan tetap membiayai lima pos pendidikan. Meski anggaran belum mencapai 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tapi pemerintah akan menyalurkan dana untuk Wajib Belajar 9 tahun, biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan pendidikan bagi peserta didik.

"Ini membuktikan pemerintah tidak lepas tangan. Menurut Undang-undang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) bantuan tersebut akan disalurkan melalui hibah berbasis kinerja atau prestasi," jelas Johannes yang juga Sekretaris Majelis Pendidikan Direktorat Pendidikan Tinggi Depdiknas.

UUSisdiknas juga mengatur bahwa penyelenggara atau satuan pendidikan harus diberikan kewenangan mengatur sendiri dirinya. Dalam hal ini, penyelenggara tak sekedar aparat Depdiknas dan Rencana Kerja Anggaran (RKA) tak lagi bagian dari departemen. Pada PTS, mereka tak lagi menjadi aparat yayasan karena sudah berbadan hukum.

Johannes juga mengherankan adanya pihak yang menolak BHP karena menganggapnya sebagai privatisasi pendidikan. "Privatisasi terjadi jika pemerintah tak mampu dan mempersilahkan swasta untuk mengelola. Toh dari dulu juga swasta boleh menyelenggarakan pendidikan," ucapnya heran.

Yang benar, menurutnya, bahwa PTN/PTS harus otonom. "Pemerintah pasti mendanai karena sudah perintah Undang-undang."

Dengan berstatus BHP, berarti satuan pendidikan punya kekayaan yang terpisah dari pendidirinya. Ia mengibaratkannya membuat Perseroan Terbatas dimana asetnya harus terpisah dari aset pendirinya.

Beberapa Perguruan Tinggi sempat mengungkapkan wacana Badan Layanan Umum (BLU) karena tak ingin menjadi BHP. Padahal, menurut UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberi pelayanan pada masyarakat.

"Jadi BLU tidak otonom karena status hukumnya tidak terpisah. Karena itu, dia tetap punya kewajiban menyetorkan pendapatannya ke negara. BHP tidak punya kewajiban seperti itu sehingga mereka bisa mengelola sendiri kekayaannya untuk mengembangkan diri. Lagipula, secara hukum, BLU bertentangan dengan UU Sisdiknas," jelas Johannes yang juga guru besar Fakultas Hukum di Universitas Parahyangan, Bandung.

Selain itu, ia juga menyayangkan adanya pihak yang beranggapan bahwa BHP adalah agenda tersembunyi untuk islamisasi. "Karena ada Majelis Wali Amanat (MWA) yang diambil dari istilah islam. Dalam bahasa Inggris, MWA ini disebut board of trustees. Kalau tak mau pakai istilah islam, ya tersah saja namanya apa asalkan fungsinya tetap."

Dalam RUUBHP disebutkan bahwa perguruan tinggi memiliki empat fungsi pokok, yaitu penentu kebijakan umum tertinggi, penentu kebijakan akademik, audit bidang nonakademik, dan pengelolaan pendidikan. Sedang pada pendidikan dan dasar dan menengah, paling tidak ada fungsi pokok, yaitu penentu kebijakan umum tertinggi dan pengelolaan pendidikan.

Lalu bagaimana dengan anggapan bahwa BHP menyingkirkan peran yayasan? Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI). Beberapa waktu lalu mengajukan uji materi Pasal 53 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Ketua ABPPTSI Thomas Suyitno berpotensi memunculkan masalah karena akan mematikan banyak yayasan yang sudah puluhan tahun mengabdi pada dunia pendidikan.

Sementara itu, Johannes menegaskan bahwa RUU BHP ini justru makin mengkohkan peran yayasan. Berdasarkan Undang-undang yayasan no.16 tahun 2003, yayasan tak boleh secara langsung mengadakan kegiatan usaha. Jika menyelenggarakan pendidikan, yayasan harus membentuk badan usaha. Padahal, UU Sisdiknas memerintahkan BHP haruslah nirlaba. Jadi, kalau mau memakai UU Yayasan, semua PTS harus menjadi perseroan terbatas.

"Selama ini, satuan pendidikan yang mencari uang untuk yayasan. Padahal kan terbalik. Dengan RUU BHP ini, satuan pendidikan tak harus menyetor laba ke yayasan dan bisa dimaksimalkan penggunaannya untuk penyelenggaraan pendidikan."
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

No comments: