Friday, December 07, 2007

Kampanye HIV/AIDS Lewat Kesenian

Kamis, 22 Nov 2007

Media kampanye, apapun isunya, sebenarnya sangat beragam. Jika media massa dapat menjangkau banyak orang, ada media lain yang bisa menjangkau target yang sangat spesifik. Misalnya saja menggunakan pemuka agama, pemangku adat, atau melalui kesenian.

Kampanye bahaya HIV/AIDS sudah mulai sekitar 1997 di Indoneisa. Epidemi HIV/AIDS menyebar sangat cepat dan dapat menginfeksi sekitar 60 juta orang di seluruh dunia. Di Indonesia, berdasarkan data Komisi Penanggulangan Aids, setiap harinya ada 169 orang yang terinfeksi baru dan ada 90 kasus kematian karena AIDS.

Untuk mengampanyekan bahaya HIV/AIDS, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) membentuk Komite Kemanusiaan Indonesia (KKI). Komite ini menggunakan lima saluran kampanye, yakni dunia kerja, kawasan pelabuhan terpadu, kesenian budaya tradisional, media massa, dan institusi pendidikan.

Sebagai contoh, KKI dapat menjangkau audiens 5.000 orang dengan menggelar Wayang Tangkal Narkoba di lima kota (Jakarta, Solo, Tegal, Cirebon, dan Yogyakarta). Menurut perwakilan KKI Bambang Irianto, wayang golek merupakan media yang tepat yang mudah dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat hingga ke "grass root".

"Bahasanya mudah dimengerti dan tidak bersifat menggurui sehingga terbentuk kesadaran akan ancaman bahaya penyalahgunaan Narkoba," kata dia. Lalu, dengan pertunjukan wayang diharapkan tercipta daya tangkal terhadap penyalahgunaan dan peredaran.

Sebenarnya, pendidikan HIV/AIDS tak melulu dilakukan pendidik atau guru, tapi juga bisa dilakukan teman sebaya. Menurut Kepala Pusat Pengembangan Kualitas Jasmani Departemen Pendidikan Nasional Widaninggar, peserta didik dapat juga berpartisispasi dalam kegiatan kampanye.

"Peer education (pendidikan sebaya) ini sangat efektif, murah, cepat, dan sederhana," kata Widaninggar dalam pelatihan "Sosialisasi Program Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Pendekatan Kebudayaan" yang berlangsung Jumat, 16/11, di jakarta.

Selain itu, kampanya pencegahan HIV/AIDS bisa juga dengan memberikan kecakapan untuk hidup sehat bagi siswa SD, SMP, dan SMA. Pada dasarnya, setiap anak memiliki sejumlah kecakapan, seperti mengambil keputusan, memecahkan masalah, berpikir kritis, kreatif, membina hubungan antar pribadi, mengatasi emosi, dan mengatasi stress.

"Segala kecakapn tersebut merupakan alat yang efektif untuk mendorong remaja bertindak positif, memiliki inisiatif, dan mengendalikan diri. Dengan kecakapan ini, mereka mampu untuk berkata tidak pada seks dan Narkoba," jelas Widaninggar.

Tentunya, kecakapan tersebut juga harus dibekali dengan informasi umum seputar HIV/AIDS. Paling tidak, lanjutnya, ada lima informasi yang harus dipahami anak, yaitu apa itu AIDS, mengapa berbahaya, bagaimana penularannya, cara pencegahan, dan apa yang dapat dilakukan untuk ikut menanggulangi AIDS.

Sementara itu, menurut Irmayanti Meliono dari Fakultas Ilmu Budaya Universita Indonesia, dalam konteks penyampaian pesan dan informasi mengenai HIV/AIDS, maka haruslah diperhatikan pemilihan seni pertunjukan yang tepat dan audiensnya. Jangan lupa bahwa masyarakat Indonesia sangat kompleks dan bisa dilihat dari berbagai faktor, mulai dari pendidikan, agama, ekonomi, hingga adat istiadat. Jika salah mengemas pesan, maka masyarakat bisa langsung menolak pesan tersebut dan bersifat acuh tak acuh.

Maka itu, katanya, ada beberapa strategi yang harus diperhatikan. Pertama, bahasa yang digunakan dalam seni drama atau teater sedapat mungkin menggunakan bahasa daerah, selain bahasa Indonesia. Menurut Irma, akan lebih mudah bagi audiens memahami pesan HIV/AIDS dengan bahasa daerah yang lugas.

Kedua, pemilihan cerita haruslah dinamis dan humoris. Adapun si tokoh utama dalam cerita sebisa mungkin akan menjadi panutan bagi penonton. "Sehingga mereka dapat meniru perilaku yang baik atau setidaknya paham tentang bahaya HIV/AIDS," kata Irma.

Ketiga, para pemain atau pelaku seni harus benar-benar mahir dan menghayati perannya. Keempat, ruang dan waktu pertunjukan diatur dengan baik. Maksudnya, harus disediakan tempat yang memadai, aman, dilengkapi sarana dan prasarana, serta penentuan waktu yang memungkinkan banyak orang menghadirinya.

"Dengan begitu, pesan pendidikan dan pesan moral untuk penanggulangan HIV/AIDS dapat menyasar masyarakat luas dan menjangkau berbagai lapisan masyarakat," terangnya.

Kelima, kerjasama dengan masyarakat seni pertunjukan sangatlah dibutuhkan. Hal ini penting agar pertunjukan tak seni tak hanya bersifat tradisional, tapi juga modern.
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

No comments: