Friday, December 07, 2007

Batik Menuju Budaya Nasional

Jum'at, 23 Nov 2007

Kain-kain tradisional Indonesia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dan kompleks. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya corak yang berbeda maupun serupa. Perkembangan corak tersebut juga dipengaruhi letak geografis, sejarah lokal, dan unsur budaya lainnya.

Batik selama ini dianggap sesuatu yang ada dengan sendirinya dan merupakan bagian dari keseharian masyarakat. Hanya saja, tak ada upaya untuk mengembangkan batik sebagai budaya nasional.

Menurut desainer kondang Iwan Tirta, tak satu pun dari seminar batik yang membahas tentang upaya konkret mengembangkan batik. "Padahal tahun depan pemerintah akan menetapkan batik sebagai busana nasional," kata Iwan dalam Konferensi Internasional "Traditional Textiles of Indonesia: Today and In The Future", Rabu (21/11) di Museum Nasional , Jakarta.

Saat ini, kata Iwan, setiap daerah di Indonesia berusaha untuk membuat batik, meski batik bukanlah kain tradisional mereka. Sayangnya banyak di antara mereka tak mengerti bahwa membuat batik erat hubungannya dengan budaya. Di kantornya, ada beberapa murid yang diutus membuat batik tapi mengeluh akan prosesnya yang sulit.

"Pada dasarnya batik bukanlah kain lokal mereka. Jadi mereka tak mengerti kenapa harus membuat banyak titik dan garis pada sebuah kain," ucapnya diiringi tawa peserta yang jumlahnya sekitar 100 orang dan sebagian besar adalah warga negara asing.

Dari aspek kultural, batik adalah seni tingkat tinggi. Batik tak sekadar kain yang ditulis dengan menggunakan malam (cairan lilin). Pola-pola yang ada di batik, lanjutnya, memiliki filosofi yang sangat erat dengan budaya tiap masyarakat.

Beberapa waktu lalu, Iwan pernah diminta merancang kostum untuk pertunjukan kisah Mahabarata. Ia pun merancang satu motif batik untuk setiap peran. Sang sutradara sempat merasa heran dengan ragamnya motif batik.

Akan tetapi, desainer kondang tersebut menjelaskan bahwa setiap batik memiliki ciri khas tersendiri yang menggambarkan karakter pemainnya. Perang Mahabarata adalah perang klasik yang mengisahkan perebutan tahta Kerajaan Astina Pura sekaligus simbol kebaikan melawan keburukan. Pandawa melawan Kurawa. Dua keluarga sepupu yang terpaksa bertempur di medan laga demi kekuasaan.

"Jadi tak bisa kalau motif batiknya diseragamkan," kata lelaki yang pernah merancang batik untuk Ratu Elizabeth II, Ratu Sophie dari Spanyol, Ratu Juliana dari Belanda, dan Bill Clinton.

Perkembangan batik juga bisa dilihat dari aspek diplomatiknya. Selama ini batik selalu digunakan oleh Presiden saat menerima tamu-tamu kenegaraan. Bahkan, jika Indonesia menghadiri even internasional, para perwakilannya selalu menggunakan batik sebagai ciri khas. Kain ini juga sudah "diterima" oleh pemimpin dunia karena sering dijadikan sovenir.

Sayangnya, Iwan melihat belum ada penasihat khusus presiden yang memberi tahu tentang jenis batik dan waktu penggunaannya. Hal yang sama juga terjadi pada sebagian besar bisnis batik di daerah. Seringkali bisnis batik hanya dikelola keluarga tanpa mempertimbangkan perkembangan yang terjadi di luar. Kalau sudah seperti itu, tak hanya desain yang ketinggalan jaman, tapi juga tak terjadi transfer teknologi dan pengetahuan.

"Hanya satu dua orang di bisnis ini yang melakukan seluruh pengerjaan dengan benar," ujarnya.

Dari segi bisnis, industri batik sebenarnya cukup mudah dilakukan karena pasarnya tersebar dari tingkat lokal, regional, antarpulau, hingga internasional. Selain harganya yang murah, kreasi produk batik tak sebatas pakaian, namun juga asesoris interior.

Dari Ekskul sampai Idealisme

Untuk mengembangkan batik sebagai pakaian nasional, Iwan Tirta mengusulkan beberapa langkah konkret yang harus dilakukan. Pertama, menginvetarisasi semua perusahaan batik yang tersebar. Catatan ini mencakup orang-orang yang terlibat dalam bisnis dan segala prosesnya. "Mulai dari produser bahan mentah, pencelup, dan perancang," katanya.

Kedua, memasukkan pelajaran membatik dalam kegiatan ekstrakurikuler siswa SMP dan SMA. Nantinya, ada tiga hal yang dapat mereka pelajari, yakni teori, praktik, dan kunjungan ke pusat batik.

Dari segi teori, siswa harus diberi materi tentang pengenalan tradisi batik, bahan dasar dan bahan tambahan dalam membuat batik, penggunaan alat-alat membatik, pola-pola batik, fungsi dan kegunaan batik, dan proses penggambaran.

Pada tataran praktek, siswa harus bisa membedakan bahan mentah, membedakan jenis batik, membuat batik tulis, dan membuat baik cetak. Lalu, siswa juga harus berkesempatan mengunjungi tempat pembuatan batik untuk mengetahuai manajemen di industri ini.

Ketiga, menanamkan idealisme batik. Idealisme seharusnya menjadi dasar dari semua teori sebelum melangkah ke praktik.

Penurunan kualitas batik selama ini karena pembuat ataupun pebisnis batik tak lagi punya idealisme. Sebagai contoh, batik cetak yang kini dicetak di pabrik ataupun gambar yang hanya ada pada satu sisi.

"Pebisnis batik harus menyisihkan pendapatan mereka untuk riset dan pengembangan desain, seiring usahanya mengembangkan batik sebagai budaya nasional. Jika tidak, semua ide hanya sebatas tataran konsep," urai Iwan.
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

No comments: