Friday, December 07, 2007

Arkeologi di Tengah Objek yang Telantar

Kamis, 08 Nov 2007

Ilmu arkeologi selama ini kurang populer jika dibandingkan ilmu-ilmu lain yang ada di msayarakat, semisal ekonomi, kedokteran, atau hukum. Tidaklah heran jika akhirnya marak perusakan dan pencurian situs-situs bersejarah di seluruh Indonesia. Belum lagi menjamurnya galeri ilegal dan penyelundupan barang-barang antik ke luar negeri.

Objek arkeologi jumlahnya sangat banyak dan tersebar hingga ke pelosok-pelosok daerah. Jangan kan penjaga dan perawatnya, jumlah arkeolog yang melakukan penelitian pun masih sedikit. Hal ini karena jumlah mereka yang juga sedikit.

Sebetulnya ada beberapa universitas yang membuka jurusan ini, sebut saja Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Udayana, dan Universitas Hasanuddin. Pekerjaan di bidang arkeologi, selama ini hanya ada di Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Arnas), Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Jika setiap tahun ada lulusan arkeologi, tentunya jumlah lapangan kerja yang ada tak dapat menampung mereka.

Di tingkat daerah, tersebar 10 Balai Arkeologi (Balar). Sayangnya, jumlah arkeolog yang ada di Balar sangat sedikit. "Ada dua yang jumlah arkeolognya sedikit. Bahkan di Papua tak ada sama sekali. Kalau ada penelitian, harus mendatangkan peneliti dari pusat, padahal kan Balar ada biar lebih hemat," kata Bambang Budi Utomo, Peneliti Arkeologi di Arnas.

Bambang menambahkan, jumlah arkeolog terus berkurang karena pensiun. Dampaknya, orang-orang yang berkecimpung di bidang ini semakin sedikit. Sebagai gambaran, Arnas hanya memiliki seorang juru gambar. Kondisi serupa terjadi juga pada ahli epigrafi (ilmu membaca naskah kuno di prasasti) dan lainnya.

Kekurangan tenaga kerja ini sebenarnya sudah diajukan, "Tapi katanya sedang tidak membuka kursi," kata Bambang. Padahal, itu hanya untuk lowongan peneliti, belum termasuk di bidang pelestarian yang pengawasannya sangat sulit.

Menurut Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudyaan dan Pariwisata Hari Untoro Drajat, sebenarnya ada sejumlah ahli di arkeologi, hanya saja bidang yang mereka garap sangat khusus.

"Kami sudah untuk minta tambahan tenaga hingga tingkat Menpan (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara), tapi ternyata tenaga honorer itu masih sisa banyak sekali dan belum tertangani. Jadi penerimaan akan fokus ke situ dulu," kata Hari saat dihubungi Jurnal Nasional.

Menurutnya, di era otonomi daerah seperti ini, harusnya daerahlah yang berinisiatif mengangkat tenaga kerja. "Bukan berarti kami tak mengupayakan apa pun. Sebentar lagi, kami akan menambah tiga Balar di wilayah timur, seperti Kalimantan dan Manado," ujarnya.

Hari melihat kaderisasi sebagai hal yang penting. Hanya saja, saat ini pihaknya baru dapat merekrut lulusan arkeolog jika ada tenaga yang pensiun. Ia juga menekankan bahwa penyaluran lulusan ini tak hanya menjadi tugas pemerintah tapi juga universitas.

Di Amerika dan Eropa, profesi arkeolog sangat bergengsi. "Hanya saja, di sana seseorang jadi arkeolog kalau sudah kaya. Di Indonesia, seseorang menjadi arkeolog itu untuk mencari penghasilan. Karena untuk penghasilan, makanya pengembangan ilmu akan sulit karena harus beli buku dan sebagainya."

Kurang Dimasyarakatkan

Bagi lulusan jurusan arkeolog, lapangan kerja yang tersisa paling hanya di Arnas atau pengajar di Universitas. Kecendrungannya, tambah Bambang, adalah bekerja di bidang lain. "Mereka tetap bisa terpakaia di bidang lain, tapi kan jadi tidak mengembangkan ilmunya sendiri," kata dia.

Dalam pengembangan ilmu, semakin lebih baik. Sebagai contoh, saat ini penelitian arkeologi sudah memperhatikan lingkungan sekitar situs. Saat melakukan kajian di Sriwijaya, sebenarnya menunjukkan kerajaan pantai. Hanya saja, kota Palembang terletak jauh dari pantai. Tanpa bantuan ilmu geomorfologi, hal tersebut tak bisa terjawab.

"Ilmu arkeologi tak mungkin berdiri sendiri. Ilmu ini perlu ilmu Bantu yang sangat beragam, tergantung pada bidang kajiannya," kata Bambang yang sangat intensif meneliti situs peninggalan Kerajaan Sriwijaya.

Selain itu, Bambang juga menilai bahwa para peneliti di bidang ini masih belum mau membuka diri untuk hal-hal baru atau orang lain. Selama ini, para arkeolog hanya melakukan penelitian tapi tak memasyarakatkan hasilnya."Otomatis ilmu ini terpinggrikan," ujarnya.

Ia menyarankan agar para arkeolog menggiatkan menulis artikel opini di media massa. "Hanya saja masih ada kawan-kawan arkeolog yang menganggap rendah penulisan populer. Padahal kalau tulisan ada di media massa atau internet, akan lebih mudah diakses oleh orang lain," kata Bambang yang pernah melakukan penelitian di situs-situs yang ada di Semenanjung Tanah Melayu (Malaysia dan Thailand Selatan).

Salah satu cara paling mudah memopulerkan arkeologi adalah dengan melakukan ceramah di perguraun tinggi atau diskusi seputar penelitian. Seorang arkeolog harus bisa menjelaskan pada masyarakat tentang penelitian mereka. Masyarakat harus mengerti bahwa si peneliti tak mencari benda atau harta karun, tetapi mencari tahu asal-usul nenek moyang.

"Saya rasa mereka bisa memahami. Justru masyarakat tertarik dengan hal yang berkaitan dengan mereka," ujarnya.

Dulu, Bambang pernah diminta untuk menjalaskan hasil peneliatiannya di sekitar Gunung Tambora. Saat itu ia menemukan padi yang terkubur. Di hadapan masyarakat ia pun menjelaskan bahwa pada abad 17 masyarakat Sumbawa dikenal sebagai pengekspor beras.

"Saat Tambora meletus, ekspor beras terhenti. Saya sadarkan dan bangkitkan mereka bahwa Sumbawa bisa mengekspor beras seperti dulu. Saya kira hal-hal seperti ini yang jarang dilakukan arkeolog," urainya.

Hal serupa juga dikatakan Hari. Menurutnya, perlu ada publikasi popular tentang arkeologi. Tak hanya yang berhubungan dengan akademis, tapi juga cerita rakyat. "Bisa juga dalam bentuk komik. Saya kira itu lebih emnarik masyarakat," tambahnya.

Ke depan, Hari emlihat ilmu arkeologi akan semakin berkembang ke arah manajemen. Sebagai contoh adalah jurusan manajemen riset budaya atau pengelolaan museum. Pasalnya, museumlah yang bisa menghubungkan arkelologi dengan masyarakat luas.
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

1 comment:

Anonymous said...

kenyataan yg dihadapi arkeolog di indonesia: dianaktirikan, dikesampingkan, tidak diperdulikan
hasil: bangsa yang menuju pralaya.