Thursday, November 01, 2007

Sekolah untuk Kehidupan

Jurnal Nasional, 29 Oktober 2007

Keberagaman yang ada di Indonesia tentu membutuhkan sistem pendidikan yang berbeda pula. Selama ini, kearifan lokal banyak ditinggalkan demi kurikulum pendidikan yang sudah ditetapkan pemerintah.

Butet Manurung, pendiri Sokola Rimba menyadari sepenuhnya akan hal tersebut. Itulah yang membuat dia akhirnya membuka 10 sekolah di tempat yang tak biasa: rimba, gunung, dan pulau. Yang jelas, semua wiilayah tersebut memiliki persamaan, yaitu terkucil secara geografis, kultural, dan ekonomi.

Sebelum mendirikan sekolah, Butet lebih dulu menetap di tempat tersebut untuk melakukan studi etnografi. Lamanya bermacam-macam, namun biasanya sekitar 2-3 bulan.

Yang paling pertama ia akan mencari "siapa masyarakat itu sebenarnya". Sebuah kelompok masyarakat, kata Butet, dapat dilihat dari berbagai sisi. "Ini sangat berbahaya karena ada banyak stereotipe tentang mereka. Antropolog memandang mereka suku anak dalam, pecinta lingkungan memandang mereka sebagai perusak hutan, golongan agama memandang mereka kafir, dan kalangan pendidik memandang mereka bodoh," urainya. Tapi, yang paling penting adalah bagaimana suku anak dalam memandang diri mereka sendiri.

Setelah studi etnografi itulah Butet meyakini bahwa suku anak dalam tak cocok dengan konsep sekolah yang sudah ada. "Ada cara pandang yang berbeda." Sebagai contoh, jika diminta untuk datang belajar jam tujuh pagi, mereka akan bilang lihat besok saja. Jika dilakukan upacara bendera, mereka akan berjongkok, kalau sudah lelah berdiri dan akan bertanya kenapa tiang dan kain harus dihormati."

"Pada awalnya, saya bahkan tak yakin apakah pendidikan berguna untuk mereka. Awalnya, mereka menolak saya, padahal sudah tujuh bulan tinggal di rimba. Dalam adat mereka pendidikan itu tabu. Saya jadi tak yakin, jangan-jangan pendidikan malah merusak mereka," jelas Butet

Selain itu, pendidikan formal tak sesuai karena ada pebedaan pola hidup. Pada dasarnya, peserta sekolah terlibat dalam ekonomi keluarga, baik itu membantu ayah di ladang atau ibu di rumah. Untuk mengakalinya, ia sering menjadikan anak-anak sebagai tutor untuk sesama. Lalu, materi yang diajarkan oleh sistem pendidikan resmi tak aplikatif bagi mereka.

Awalnya, anak-anak di rimba tak mau belajar kali-kalian, karena mereka anggap tak ada gunanya. "Suatu hari, ada anak yang akan berbelanja untuk penduduk desa. Ia harus membeli terigu untuk 80 keluarga. Ditulisnya satu-satu nama keluarga dan dijumlahkan. Bukunya sampai habis. Saya bilang ke dia, itu baru 80 keluarga. Bagaimana kalau kamu harus belanja untuk satu kampung? Dengan perkalian akan lebih mudah dan akhirnya mereka mau belajar," cerita Butet.

Hingga kini ia masih kesulitan memberi pemahaman untuk belajar pecahan. "Saya tanya, kalau ada satu kue dibagi tiga, kamu akan dapat berapa? Dia bilang, saya tetap dapat satu tapi kuenya lebih kecil."

Untuk pendidikan bagi komunitas adat, katanya, membutuhkan tiga syarat. Pertama, komunitas adat sudah bersentuhan dengan dunia luar. Dengan kata lain, sudah mengenal pertukaran uang. Kedua, pendidikan tidak boleh menggantikan yang sudah ada tapi menambah nilainya.
Ketiga, pendidikan tak boleh mencabut mereka dari budaya asli. Sebagai contoh, konsep malam dan siang bagi suku anak dalam. Mereka menganggap malam terjadi karena ada raksasa yang menelan matahari. "Saya jelaskan bahwa ada orang lain tidak menganggap seperti itu. Dan saya jelaskanlah konsep siang, malam, rotasi bumi dengan membuat alat peraganya."

Jika ingin memberikan pendidikan bagi komunitas adat, terlebih dulu harus ada studi etnografi, pengajar yang menetap di sana, ada adaptasi bahasa dan budaya, dan tahu cara mengorganisir komunitas tersebut untuk berhubungan dengan dunia luar. Sekolah bagi mereka haruslah untuk diterapkan dalam kehidupan.

(Ika Karlina Idris)

No comments: