Thursday, November 01, 2007

Pendidikan, bukan Pengajaran

Jurnal Nasional, Senin, 29 Oktober 2007

Pendidikan bukanlah sekadar pengajaran. Makin dasar jenjang sekolah, maka makin besar peran pendidikan. Pendidikan menanamkan hasrat ingin tahu, eksploratif, berpikir kreatif, bukan sekedar memori salah dan benar.

Menurut Psikolog Sartono Mukadis, kelalaian pada fase pendidikan dasar akan berdampak pada tingkat perguruan tinggi atau dunia kerja. Pada tingkat SD hingga SMA, siswa mengalami proses pendidikan, meski dengan bobot yang berbeda. Di perguruan tinggi, tak ada lagi pendidikan, hanya pengajaran.

Dalam proses pengajaran, dosen hanya menransfer ilmu yang mereka punya dan menanamkan hasrat ingin tahu. Bukan lagi satu tambah satu sama dengan dua, tapi kenapa harus ada satu tambah satu metode perhitungan lainnya.

"Siswa harus diajak berpikir kreatif, tidak mentok atau buntu. Pendidikan dasar menentukan mutu SDM bangsa secara keseluruhan. Penanaman nilai-nilai harus dimulai sejak pendidikan dasar, bukan sebagai materi pengajaran yang kaku, tapi sebagai falsafah pendidikan nasional itu sendiri."

Setiap insan pendidikan, katanya, adalah bagian integral dari proses penanaman nilai tersebut, tak mungkin segmentaris atau terpisah. Sartono menegaskan bahwa budi pekerti tak bisa dipisahkan dari pendidikan. "Jangan ada pemisahan pelajaran budi pekerti," tuturnya. Semua guru SD adalah guru budi pekerti dan itu harus dilakukan dengan tindakan.
Sebagai contoh, jangan ada guru olahraga yang hanya menyuruh muridnya berlari di lapangan, tapi dia sendiri berteduh di bawah pohon. "Selama ini, anak diajarkan untuk membantu jika ada nenek yang mau menyeberang jalan. Saya bilang ke anak, nanti dulu. Apakah nenek itu memang mau menyeberang? Kalau dia mau ke jalan yang jauh bagaimana? Kan mending naik taksi. Jadi, si anak harus berkomunikasi dulu dengan nenek itu. Buat dia mempertanyakan semuanya."

Selain itu, Sartono juga menegasakan kesalahan terbesar dari sistem pendidikan, yaitu adanya ranking prestasi. "Ini adalah bentuk pengkhianatan paling jahat yang dilakukan manusia," katanya. Kenapa? Karena ranking hanya menghargai hasil akhir, bukan proses.

Kejahatan lainnya adalah membandingkan anak dengan orang lain. Harusnya, anak dibandingkan dengan diri sendiri. Seringkali ada sekolah unggulan yang melakukan psiko tes dalam penyaringan siswa. Hal itu, tegasnya, sama saja dengan peternakan yang memang sudah memilih bibit yang bagus. "Jadi wajarlah kalau hasilnya bagus. Harusnya sekolah bangga kalau memilih anak yang biasa saja tapi bisa dididik jadi pintar."

Sistem pendidikan yang ada sat ini rupanya menghasilkan manusia Indonesia yang hanya senang menonton, bukannya menolong. "Kita ini adalah bangsa yang senang menjual kesedihan dan jika ada yang sukses kita selalu menggunakan terangajaisme. Terang aja dia sukses bapaknya kaya atau sebagaimanya. Padahal, kita tak mau melihat bagaimana proses hingga dia sukses."

Ika karlina idris

No comments: