Thursday, November 01, 2007

Kita Belum Mahir Berbahasa Indoensia



Jurnal Nasional, Kamis, 25 Oktober 2007

Setiap 28 Oktober, Indonesia memperingati Sumpah Pemuda, hari dimana organisasi kepemudaan dari berbagai daerah menyatakan semangatnya. Semangat berbangsa, bertanah air, dan berbahasa Indonesia, dicetuskan 28 Oktober 1928.

Hampir 8 dasawarsa sudah sumpah itu diucapkan, tapi apakah Bahasa Indonesia sudah dimanfaatkan sebagai tujuan awalanya, yaitu bahasa persatuan? Tak usahlah menyebut angka buta huruf yang mencapai 8,07 persen dari sekitar dua ratus juta penduduk Indonesia, cukup lihat saja dari percakapan sehari-hari. Sudahkah masyarakat Indonesia "melek" dengan bahasanya sendiri?

Berikut petikan wawancara Jurnal Nasional dengan Kepala Bidang Pengembangan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Sugiyono yang juga aktif sebagai pengajar di Pascasarjana Uinversitas Indonesia, Universitas Sebelas Maret, dan pengajar tamu di Universitas Brunei Darussalam:

Apakah Bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa persatuan?

Tentu saja. Kalau Bahasa Indonesia belum menjadi bahasa persatuan, sampai saat ini kita belum merdeka. Pada 1928, ada banyak kelompok komunitas. Kita bisa merdeka karena adanya pengakuan untuk menjunjung bahasa Indonesia.

Sebelumnya, masyarakat Indonesia tak bisa bersatu karena masing-masing ingin menonjolkan etnis mereka. Kalau mereka tak mau berkorban dengan mengakui bahasa melayu Riau menjadi bahasa persatuan, bagaimana mau merdeka? Saat itu sudah ada semangat untuk bersatu. Hal ini tak saja membuat komunikasi menjadi lancar, tapi semangat berkorban itulah yang menjadi perekatnya.

Bayangkan kalau memilih bahasa nasional saja itu sulit, bisa-bisa kita belum merdeka sampai sekarang. Bahasa persatuan itu sudah ada sejak 1928 dan masih berlaku sampai sekarang. Bayangkan saja kalau Anda mengunjungi suatu daerah tapi tak tahu bahasa yang ada di sana. Untung saja ada bahasa Indonesia, karena itulah yang akan Anda gunakan.

Karena itu, kami sedang mendesain UU Kebahasaan dimana salah satu pasalnya menyatakan bahwa pemerintah harus mengupayakan agar rakyatnya mampu dan bangga berbahasa indoensia.

Upayanya seperti apa?

Untuk menjadi mampu dan bangga tentu harus melalui proses pengajaran, pemasyarakatan baik lewat media masaa, pertemuan langsung, atau lomba-lomba. Bisa juga dengan kerja sama, misalnya penyediaan hak cipta. Saat ini Pusat Bahasa bekerja sama dengan Microsoft untuk mengindonesiakan program-program mereka. Tentunya agar orang-orang lebih mudah dalam menggunakan fasilitas ini.

Apakah masyarakat Indonesai sudah "melek" Bahasa Indonesia?

Tentu, hanya saja mereka memang belum mahir menggunakannya. Meski sudah dicetuskan sejak 1928, tapi orientasi pemerintah dan masyarakat selalu berubah. Misalnya saja sekitar tahun 1974, pemerintah dan masyarakat berorientasi nasionalisme. Apa pun yang tak berbau nasional akan dilawan.

Kemudian, sejak tahun 1957, misalnya, pemerintah daerah DKI Jakarta sudah mengelurkan perda (peraturan daerah) yang melarang penggunaan kata-kata asing untuk nama toko. Alasannya, jika dibiarkan dampaknya tak akan bagus untuk Bahasa Indonesia.

Hal ini terjadi lagi pada ulang tahun emas kita, 1995, Soeharto melarang adanya penggunaan istilah asing. Dia ingin Jakarta dan kota lain di Indonesia terlihat seperti Indonesia, bukan negara asing. Tapi, saat reformasi kebijakan seperti ini dianggap tak sesuai, jadi tak ada aturan lagi.

Lalu, apa Bahasa Indonesia cukup mudah digunakan dalam bahasa ilmu pengetahuan? Pasalnya, ada banyak istilah asing yang harus diadaptasi untuk keilmuan

Pada dasarnya, bahasa Indonesia tak sulit jika digunakan untuk istilah ilmu pengetahuan. Sebenarnya bukan sulit, hanya masyarakat saja yang tak mau gunakan istilah asing yang sudah diindonesiakan. Makanya, Departemen Pendidikan Nasional, Juli lalu mengeluarkan glosarium istilah asing yang sudah dipadankan dalam bahasa Indonesia. Ada sekitar 180 ribu istilah dan dibagikan gratis ke berbagai lembaga. Siapa saja yang mau glosarium ini bisa menghubungi Pusat Bahasa.

Terkait penggunaan bahasa asing, Malaysia menempatkan Bahasa Inggris di atas bahasa Melayu, demi ilmu pengetahuan. Apakah Indonesia harus mengikuti ini agar bisa semaju Malaysia?

Tidak juga. Artinya, Bahasa Inggris perlu tapi tak harus mengorbankan jati diri bangsa. Kita ini seperti ular berkepala, yang satu harus memelihara keragaman bahasa daerah dan satu lagi mengejar kemajuan dengan Bahasa Inggris.

Sebenarnya kita diuntungkan karena ada tiga alternatif bahasa. Untuk kerangka nasional, kita punya Bahasa Indonesia, untuk kerangka multietnis ada bahasa daerah, dan kerangka iptek kita pakai bahasa asing.

Jangan pula dilupakan bahwa presentase masyarakat kita yang bisa berbahasa Inggris masih sedikit. Kita kan tak mungkin menutup ruang bagi mereka yang hanya bisa bahasa daerah dan Indonesia. Karena itu, kit gunakan saja kemampuan mereka yang mampu berbahasa Inggris untuk mengajar mereka yang tidak mampu berbahasa Inggris. Saya rasa langkah itu akan lebih efektif. (ika karlina idris)

No comments: