Thursday, November 01, 2007

Merindukan Budi Pekerti

Jurnal Nasional, Senin, 29 Oktober 2007

Indonesia terlalu fokus pada masalah pembangunan fisik, seperti gedung sekolah. Padahal, di India, gedung sekolah tak harus bagus.

Salah satu penyebab keterpurukan bangsa Indonesia, bisa jadi karena kurangnya perhatian akan pendidikan budi pekerti. Pendidikan di Indonesia saat ini lebih banyak berorientasi pada pengembangan otak kiri. Padahal, mereka yang lebih banyak menggunakan otak kananlah yang bisa sukses, karena ada faktor keativitas dan inovasi.

Maka itu, perlu ada sebuah sistem pendidikan menyeluruh yang mampu memberi kebebasan anak didik dalam mengembangkan diri. Tentu tak sebatas intelektual, tapi juga memfasilitasi perkembangan jiwa dan raga.

"Pendidikan harus bisa memanusiakan manusia, menumbuhkembangkan nilai-nilai kemanusiaan, dan membangun budi pekerti," kata Ketua Harian Forum Pengajar, Dokter, dan Psikolog Bagi Ibu Pertiwi (ForADokSi-BIP) Dewi Juniarti.

Kebutuhan ini juga disadari oleh Persatuan Bangsa-bangsa dengan menetapkan tahun 2005-2014 sebagai Decade ofEducation for Suistainable Development (DESD). Visi dasar ESD adalah setiap orang mempunyai kesempatan untuk mendapat manfaat pendidikan dan pembelajaran terhadap nilai, perilaku, dan gaya hidup. Semua hal itu dibutuhkan agar bisa bertahan di masa depan dan melakukan transformasi sosial.

Sebagai wujud kepedulian akan pendidikanlah maka National Integration Movement (NIM) mendeklarasikan ForADokSi-BIP. Berkaitan dengan sumpah pemuda tahun ini, sekitar 1.000 guru, dokter, dan psikolog berkumpul di Jakarta. Mereka membahas pentingnya mengembalikan arah pendidikan.

Menurut Ketua NIM Maya Safira Muchtar, pendidikan bukan hanya tanggung jawab guru. Peran dokter dan psikolog juga penting. Dalam menransfer ilmu, nutrisi yang diperoleh anak didik haruslah cukup. Jika tidak, maka informasi yang didapatnya susah dicerna.

"Lihat saja India. Tanah mereka tandus tapi bisa menghasilkan manusia berotak brilliant. Ini karena kebiasaan mereka minum susu, jadi nutrisi mereka bagus. Rata-rata orang Indonesia minum susu lima liter per tahun, sedang orang India minum 500 liter per tahun," kata Maya dalam forum tersebut, Kamis, 25/10.

Selain itu, ia juga menilai pembangunan pendidkan di Indonesia terlalu fokus pada masalah pembangunan fisik, seperti gedung sekolah. Padahal, di India, gedung sekolah tak harus bagus. "Di bawah pohon pun jadi. Tapi buku mereka murah sekali dan anak-anak selalu ditekankan untuk suka membaca."

Menurut penggagas NIM Anand Krishna, masalah pendidikan bukanlah hanya tentang pengembangan otak kiri. "Kita harus melihat pada jiwa anak didik dan jangan pernah ada perbedaan di dalam kelas," katanya.

Bagaimanapun, tak bisa dipungkiri bahwa Indonesia adalah negeri dengan tingkat kompleksitas tertinggi di dunia. Tak hanya jumlah desa dan kota yang sangat banyak, tapi juga beragam dari segi ekonomi, kebudayaan, dan gaya hidup.

Menurut Direktur Jenderal Aplilkasi Telematika Depkominfo Cahyana Ahmadjayadi, peran komunitas sangatlah penting. Lemahnya pemaknaan karakter, jati diri, dan efektifitas pendidikan karena penggunaan metode tunggal. "Padahal masyarakatnya sangat beragam," ujar dia.

Sayangnya, Cahya melihat sumber daya manusia dalam bidang pendidikan sangat tidak siap. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mencatat, pada 2005 sebanyak 58 persen dari tiga juta pendidik belum sarjana. Dan, jumlah ini paling banyak ditemui pada pendidik di tingkat sekolah dasar.

Lalu, pada jenjang tersebut juga, seorang guru harus melayani 20 anak didik. Sebenarnya masih banyak negara di dunia yang rasio pendidik dan siswanya lebih besar dari Indonesia, tapi negara mereka bisa maju. Sebagai gambaran, di Jepang dan Kanada perbandingannya 1:17, di AS 1:15, China 1:21, dan Filipina 1:35.

Tahun depan, tambahnya, Indonesia akan kehilangan satu juta guru karena pensiun. "Tak hanya masalah jumlah tapi juga penyebarannya yang belum merata," ujar Cahya.

Agar dapat membangun karakter manusia Indonesia, pendidikan tak boleh lepas dari tiga pilar. Pertama adalah idealisme. Sejak awal, anak didik harus diberi pemahaman bahwa mereka berbeda. "Punya kebudayaan yang berbeda, tapi tetap satu bangsa."

Kedua adalah proporsional. Indonesia selama ini hanya bisa mengirim tenaga kerja yang belum dipoles. "Ada 2,9 juta TKI terjun bebas dalam pasar kebutuhan SDM global. Harusnya mereka punya kompetensi yang dibutuhkan. Mereka harus bisa jadi super maid," jelasnya. Ketiga adalah etos kerja sebagai komponen terpenting dalam pembangunan manusia.

Untuk itulah teknologi informasi sangat berperan. Dengan e-education atau e-learning¸ maka proses pendidikan dapat dilakukan lebih massal masal dan egaliter. Meski jumlah guru kurang, tapi materi pengajaran bisa diterima oleh siapa saja dan di mana saja.

Ika Karlina

No comments: