Wednesday, September 12, 2007

Tak Perlu Khawatir Kalau Negara Lain Punya Batik

Teknologi pembuatan tempe yang dipatenkan Jepang membuat Indonesia khawatir tentang batik. Jangan-jangan produk budaya lain yang dihasilkan bangsa ini juga akan dipatenkan negara lain.

Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perhimpunan Masyarakat Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) Indonesia atau Indonesian Intellectual Property Society (IIPS), sebelum berbicara tentang hak intelektual, masyarakat harus tahu dulu perbedaan hak paten, hak merek, dan hak cipta.

Hak paten adalah bidang HaKI yang berbicara tentang teknologi. Jika ada yang menyiptakan teknologi yang bisa memecahkan masalah, maka perlindungannya masuk ke hak paten. Kalau barang, maka akan masuk ke hak merek. Sedang untuk ilmu pengetahuan, seni, dan sastra tergolong hak cipta.

"Harusnya masyarakat kita memahami dulu bahwa isu batik adalah hak cipta, bukan hakpaten," kata Henry pada Jurnal Nasional.

Mengapa? Karena untuk hak paten, tentu berkaitan dengan teknologi yang digunakan dalam membuat batik. Sayangnya, teknik membatik juga ada di Suriname, Filipina, Srilanka, Malaysia.

Bagaimana kalau mau mematenkan teknik membatik? Syaratnya, teknologi yang digunakan harus baru dan belum dikenal oleh masyarakat. Karena teknolgi ini sudah menyebar luas, maka susah membuktikan siapa yang lebih dulu menemunkannya.

Yang jelas, meski Malaysia membuat hak cipta atas batik, tidak berarti kita tak bisa produksi batik lagi. Hal ini berbeda dengan proses fermentasi yang dipatenkan Jepang. "Sama halnya dengan orang Eropa yang tak harus khawatir jika ada orang Indonesia yang mau membuat burger tempe atau burger sate," jelas Henry yang juga Kepala Biro Kehakiman dan Hukum Sekretariat Wakil Presiden.

Jadi, jika berbicara tentang batik adalah hak cipta. Adapun seni yang terkandung pastilah motif atau gambar.

Lebih jauh lagi, hak cipta ini memiliki batas waktu perlindungannya, yaitu 50 tahun setelah si pencipta meninggal dunia. Namun, batik yang sudah muncul sejak zaman nenek moyang, seperti batik pawung, parang rusak, sidomukti, adalah motif yang dulunya dilindungi hak cipta.

"Hanya saja, penciptanya sudah meninggal dan masanya sudah lebih dari 50 tahun. Maka motif itu sudah menjadi milik umum dan tak lagi dilindungi di Indonesia."

Bagaimana dengan karya yang dilindungi hak cipta? Motif-motif baru seperti daun dan binatang, daun dan awan, atau daun dan burung adalah kreasi motif baru. Seperti juga gambar obejk lainnya, motif ini juga dapat perlindungan begitu selesai diciptakan. "Dan tak perlu didaftarkan di kantor manapun. Jika ada pihak yang merasa karyanya dicontoh, cukup membuktikan dari alat bukti yang ada saja."

Sebagai contoh, jjika seorang pencipta motif batik meninggal pada usia 70 tahun pada tahun 2007, maka hak cipta habis pada tahun 2057.

Lalu mengapa repor-repot mendatangi Unesco? "Hal ini perlu diluruskan," tegas Henry. "Yang akan dimintai hak cipta internasionalnya hanyalah motif batik tradisional, seperti kawung, parang rusak, sidomukti, sidomulyo, dan garudo. Hanya motif-motif yang diciptakan nenek moyang kita."

Tak ditampik kemiripan pasti terjadi. "Kan di Suriname dan Malaysia juga banyak migran asal Indonesia. Jika ada dua orang pembatik asal Jawa pindah ke Medan dan Makassar, misalanya, jika akhirnya mereka mengembangkan motif yang mirip tentunya sangat manusiawi."

Jadi, tak usah khawatir atas merebaknya batik di berbagai negara. Dengan adanya festival batik internasional, hal tersebut menunjukkan bahwa batik sebagai proses adalah teknik yang banyak dikuasasi masyarakat. Tapi, motifnya tetap dilindungi sepanjang masih baru. (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, Kamis, 6 September 2007.

No comments: