Wednesday, September 12, 2007

HAM dan KTP

Sambil mengangkat sebuah buku, seorang lelaki berteriak pada semua orang yang adadi ruangan. "Saya sangat kagum dengan lelaki yang ada di buku ini," kata pengamat politik Daniel Dhakidae.

Buku yang dipegang Daniel berjudul Hak Minoritas: Multikulturalisme dan Dilema Negara-Bangsa, yang merupakan hasil penelitian Yayasan Interseksi terhadap kelompok-kelompok minoritas Indonesia. Pada sebuah halaman buku itu, terdapat foto Kartu Tanda Penduduk (KTP) seorang lelaki dimana agama yang tercantum adalah Parmalin.

"Lelaki dalam KTP ini punya harga diri untuk mengakui agamanya," kata Daniel. Pasalnya, KTP itu dibuat pada tahun 1989, saat rezim Seoharto sedang kencang-kencangnya menjaga doktrin agama yang ada. "Tapi herannya KTP ini bisa lolos juga."

Menurut Rozi dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), harusnya KTP yang ada di Indonesia tak menyantumkan agama ataupun suku bangsa. Bagaimana pun, semuanya adalah orang Indonesia, dengan penyantuman indentitas ini, maka masyarakat akan terpecah-belah seperti sekarang.

Menurut Daniel, hal itu sebenarnya tidak perlu. Memang, sudah banyak negara yang meniadakan identitas agama atau suku bangsa dalam KTP mereka. Namun, hal itu baru perlu dilakukan jika seseorang mendapat perlakuan yang tak adil karena identitasnya itu.

Sementara itu, Tantan, moderator diskusi, mengatakan bahwa hak minoritas adalah hak keseharian seseorang. Terkadang, kita pasti akan bertukar peran. "Sebagai minoritas kita lebih banyak bicara hak dan jika kita sebagai mayoritas, maka akan banyak berbicara kewajiban," katanya.

Membincang hak minoritas, menarik juga mendengar apa kata anggota Komnas Ham M.M.Bilah, yang salah seorang peserta diskusi buku tersebut. Menurutnya, selama ini hak minoritas selalu dikaitkan dengan hak asasi manusia (HAM). Padahal, dalam HAM tak ada hak mayoritas dan minoritas.

"Hak minoritas ditonjolkan karena mereka selalu ditindas. Lihat saja etnis Tionghoa, mereka kan minoritas dalam arti jumlah. Tapi secara modal mereka mayoritas," kata Bilah.

Minoritas pada praktiknya selalu dipinggirkan oleh kelompok mayoritas, baik secara ekonomi, sosial, dan agama. Hak-hak minoritas ditonjolkan karena ada perlakuan yang tidak sesuai. Kalau secara normatif, di hadapan hukum semuanya sama.

Selama ini, katanya, Indonesia sudah mendomestikkan perjanjian HAM menjadi sebuah hukum. "Namun, dari segi esensinya belum dilakukan sama sekali. Harusnya, semua undang-undang yang berlawanan dengan HAM tak ada lagi, seperti pengerucutan agama menjadi lima. Tapi selama ini itu belum dilakukan," ujarnya.

Menurut koordinator Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Jakarta Indriaswati Dyah Saptaningrum, HAM adalah proses yang belum selesai dan harus memberi ruang agar dapat dijustifikasi secara lokal.

“Bagaimana pun, hukum objektif harus mengusung kepastian hukum untuk semua. One size fits all. Jika tidak, maka itulah yang akan melanggengkan praktik mayoritas dan minoritas,” katanya. (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, Selasa, 11 September 2007.

No comments: