Wednesday, September 12, 2007

Bukan Batik, tapi Motifnya yang Dipatenkan

Jakarta | Jurnal Nasional

Pekan Batik Internasional yang berlangsung hingga 5 September kemarin di Pekalongan, Jawa Tengah diikuti 1.200 peserta dan empat negara lain yakni Malaysia, Singapura, Afrika Selatan dan Laos. Dalam kesempatan itu pula, Wakil Predisen M Jusuf Kalla membantah jika batik telah dipatenkan Malaysia.

Bagaimanapun, batik sudah menjadi kekayaan warisan budaya (heritage) bangsa Indonesia yang diwariskan nenek moyang secara turun menurun. "Yang begini (batik) tak ada hak patennya. Siapa bilang Malaysia punya patennya. Dan Batik Malaysia itu sangat beda sekali motifnya dengan batik Indonesia," kata Kalla saat membuka acara tersebut, Sabtu, (1/9) September.

Sebenarnya, sudah ada motif-motif batik yang dipatenkan. Menurut Sekretaris Rumah Pesona Kain Ade Trisnaraga, yang bisa dipatenkan bukan senin membatiknya, tapi motif kain. Mengapa? Karena batik sebenarnya tak hanya ada di Indonesia, tapi juga di negara lain seperti Malaysia dan Maroko.

"Sekarang batik ada di mana-mana. Sebenarnya asal batik ini dari India. Dibawa oleh pedaganga India jaman dulu dan ternyata berkembang di Jawa," kata Ade. Meski sudah mendunia, tapi asal batik dapat dibedakan dari motif dan desainnya. "Kalau motif Malaysia biasanya bunga-bunga besar."

Saat ini, kata Ade, para pengrajin batik dan pemerintah sedang mengusulkan beberapa motif batik untuk dipatenkan. Sudah ada tim yang sedang mengumpulkan motif-motif kain untuk dipilih dan diusulkan pematenannya. Tak tanggung-tanggung, desainer kondang Iwan Tirta dan Arkeolog Edi Sedyawti pun turut serta.

Bagaimanapun, motif batik Indonesia sangat beragam, sesuai dengan karakteristik daerahnya. Sebut saja batik pesisir, Yogyakarta, Lasem, Cirebon, kawung, sidoluhur, dan parang rusak. Tak hanya beda di motif, goresan pengrajin yang satu dan pengrajin yang lain pun pasti berbeda.

Nantinya, jika motif itu sudah terkumpul, maka akan diajukan ke UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization). Menurutnya, sudah ada pertemuan dengan duta besar UNESCO tentang hal ini. Kemungkinan besar batik akan dimasukkan dalam kategori intangible culture heritage (warisan budaya yang tidak bisa diraba).

Adapun untuk persyaratannya, menurut Ade, ia belum tahu pasti. "Mungkin setelah UNESCO memberikan formulir untuk diisi baru kita tahu. Yang pasti hanya motifnya saja yang bisa dipatenkan."

Sementara itu, Iwan Tirta beberapa waktu lalu mengaku prihatin karena batik khas Jatim di berbagai daerah sekarang sudah punah. Sebelum perang kemerdekaan, batik-batik produksi Jatim banyak yang bagus, tapi sekarang tak ada lagi.

"Idealismenya sudah tidak ada lagi, karena yang dikejar hanya uang. Maka dibuatlah batik-batik cap atau printing. Selain itu di Jatim ini ada kain songket produksi Gresik yang lebih bagus dari buatan Palembang dan digunakan di Kraton Solo, tapi sekarang tidak ada lagi," katanya.

Iwan yang juga kolektor batik ini mengakui bahwa batik tengah berada di jalan buntu. Menurutnya, pembuatan batik dengan cara-cara lama sudah jarang ditemukan. "Pemakaiannya pun makin berkurang," ujar Iwan. "Padahal kain adat harusnya dibuat menurut cara-cara tradisional atau dengan tangan. Memakai alat tenun tradisional dan diberi warna dan ragam hias tradisional."

Inilah yang memprihatinkan. Melihat masa depan yang suram ini, maka perlu pemikiran untuk mencari arahan baru bagi kain atau tekstil tradisional Indonesia agar tidak tenggelam dalam banjir kehidupan modern yang makin miskin akan apresiasi tradisi kain adat. (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, Kamis, 6 September 2007.

No comments: