Wednesday, September 12, 2007

Pluralitas di Indonesia

"Plurality is a fact, but pluralism is political decision."

Tak terpenuhinya hak-hak kaum minoritas oleh negara telah menjadi persoalan di seluruh belahan dunia. Bahkan itu di Belanda, negara dimana kantor hak asasi manusia sedunia berada.

Akhir-akhir ini, penduduk Islam dianggap sebagai masalah di Belanda. Ini karena mereka menuntut diakui sebagai warga negara. Dulunya, pemeluk Islam ini datang dari berbagai negara, semisal Maroko dan Indonesia, sebagai buruh. Setelah puluhan tahun menetap di Belanda, mereka merasa berhak jadi warga negara dengan segala hak dan kewajibannya.

"Selama ini, yang menjadi warga negara Belanda itu hanyalah white (kulit putih) atau Christian (Kristen). Kalau perlu, Belanda akan melarang keberadaan Al Quran di sana." kata anggota dewan Kerja sama untuk Reformasi Pemerintahan UNDP (United Nation Development Program) Daniel Dhakidae dalam sebuah diskusi tentang hak-hak kaum minoritas yang diadakan Yayasan Interseksi, Selasa, pekan lalu di Jakarta.

Sebenarnya, minoritisasi atau proses marjinalisasi kelompok-kelompok minoritas, khususnya bidang agama,sosial, dan budaya, ada di mana-mana. Pengertian sederhana minoritisasi adalah terjadinya proses-proses atau "proyek" yang membuat kelompok minoritas semakin terpinggirkan atau terkucilkan.

Di Indonesia, contoh minoritisasi terjadi pada komunitas Tolotang di Sulawsi Selatan, kelompok Parmalin di Medan-Sumatera Utara, Komunitas Tengger di Jawa Timur, ataupun Komunitas Ahmadiyah di Ciparay-Jawa Barat.

"Kelompok-kelompok itu sangat jelas memperlihatkan perjuangannya dalam mempertahankan identitas keagamaan mereka. Dimana hal itu terancam oleh berbagai kekuatan di luar mereka," kata peneliti Lembaga Penelitian Ilmu Indonesia (LIPI) Thung Ju Lan.

Meski demikian, Daniel menegaskan bahwa ada perbedaan antara minoritas Islam di Belanda dengan minoritas Tengger di Jawa Timur, misalnya. Kelompok Islam di Belanda menganut ajaran agama samawi atau ajaran islam berdasarkan al-kitab. Sedang di Indonesia, kelompok Ahmadiayah, meskipun Islam tapi tak diakui.

"Ahmadiyah memang satu kitab dan satu kepercayaan dengan Islam, tapi orang Islam di Indonesia menganggap mereka don't belong to us (bukan bagian dari kami)," kata Daniel yang juga anggota dewan Yayasan Aksara. Maka itu, ada anggapan bahwa kelompok ini harus dikucilkan, diusir, dan dengan itu berarti seluruh republik ini telah membangun kamp pertahanan untuk kelompok minoritas Ahmadiyah dan yang lainnya. "Sedramatis itulah pemisahan total yang terjadi di negara kita, pemisaha itu terjadi secara sosial, ekonomi, dan hukum," ujarnya.

Keuntungan yang diperoleh minoritas Islam di Belanda dan Eropa adalah dukungan dari dunia internasional. Dan dukungan itu, tambah Daniel, sangat terlihat saat ada kasus pelarangan buku pelajaran agama di Norwegia.

Sayangnya, dukungan seperti itu tak didapatkan oleh kelompok-kelompok agama minoritas yang ada di Indonesia. Dalam buku berjudul Hak Minoritas: Multikulturalisme dan Dilema Negara-Bangsa, yang merupakan hasil penelitian Yayasan Interseksi terhadapa kelompok-kelompok minoritas Indonesia, digambarkan bahwa tak ada kontak yang terjadi dengan dunia luar.

"Jadi kaum minoritas di Indonesia benar-benar excluded community (komunitas terbuang). Baik itu Tengger ataupun Ahmadiyah menginginkan adanya pengakuan, padahal mereka ada di luar pengakuan itu," kata Daniel.

Buku tersebut juga menjelaskan bahwa pemerintahan Orde Baru (Orba) berusaha secara sistematis menaklukkan Tengger, Parmalin, dan komunitas lainnya. Pemerintah Orba menekankan pada kelompok minoritas ini bahwa kepercayaan mereka tidak masuk ke agama apapun dan tidak dilindungi oleh departemen agama.

Lalu, bagaimana cara agar kelompok minoritas mendapatkan hak-haknya?

Kata Daniel, awalnya harus jelas dulu perbedaan antara pluralitas dan pluralisme. Berbicara tentang pluralitas berarti berbicara tentang 300 suku dan 350 bahasa yang ada di Indonesia. Jika semuanya memiliki kepercayaan tersendiri, berarti akan ada sekitar 300 agam. "Lalu, mengapa harus menjadi lima? Atau tujuh pada masa sekarang ini. Kenapa sedari awal tidak diberikan hak memeluk kepercayaan mereka sendiri?" ujar Daniel.

Sedangkan pluralisme berkaitan adengan keputusan politik. "Baik negara ataupun warga dan penduduknya harus memperlakukan mereka sebagai warga negara Indonesia," kata Daniel. Jangan pernah melihat mereka sebagai orang asing. Kalau ada penahanan terhadap Ahmadiyah atau Parmalin, berarti fungsi polisi dan lembaga lainnya tak berjalan. "Plurality is a fact, but pluralism is political decision (pluralitas adalah fakta, tapi pluralisme adalah kebijakan politik)," ujarnya.

Senada dengan Daniel, Ju Lan menambahkan bahwa untuk mengatasi hak minoritas harus berangkat dari kepedulian pemegang kekuasaan negara. "Jangan lupa juga bahwa tak ada yang absolut di dunia ini karena selalu ada perubahan. Intinya, jika ada sautu kelompok yang menyatakan bahwa keberannyalah yang absolut, berarti dia salah. Dan negara harus membuat agar dia menyadari itu," kata Ju Lan. (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, Selasa, 11 September 2007.

1 comment:

doddi Ahmad Fauji said...

Wow, Ika bisa menangkap istisari sebuah seminar, eh ini berita ditulis dari sebuah seminar?

Memberikan penjelasan kepada saya, bahwa mungkin benar, Muhammadiyah perlu dibela/