Tuesday, August 07, 2007

Memberdayakan Anak Indonesia Timur


Mengentas siswa di wilayah terpencil Indonesia Timur dari kondisi belajar yang serba tak memadai.


SEPERTI apakah sekolah yang menyenangkan? Tanyakan kepada Hermina (16). Siswa SMA 1 Bovendigoel, Papua, ini akan menjawabnya panjang lebar.

Tiap hari siswa yang akrab dipanggil Mina itu bersama teman-temannya harus berjalan 15 km menuju ke sekolah. Dimulai pukul 06.00 WIT, Mina dan teman-temannya harus berjalan melintasi daerah perbukitan di Kabupaten Bovendigoel, Papua.

"Jalannya harus cepat-cepat dan bersama teman biar tidak terasa jauh," tutur Mina.

Kalau tidak berjalan cepat, Mina dan teman-temannya bisa terlambat masuk kelas karena pelajaran dimulai pukul 07.15 WIT. SMA I Bovendigoel baru berdiri tiga tahun lalu dan merupakan satu-satunya SMA di sana. Mina baru saja naik kelas tiga. Baru setahun ia sekolah di sana karena kelas satu dijalaninya di sebuah SMA di Marauke.

Satu SMA 1 Bovendigoel, masing-masing tingkatan terdiri dari tiga kelas. Dua kelas IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) dan satu kelas IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Karena letaknya sangat tepencil, sekolah ini pun sering kekurangan guru. Misalnya, semester lalu tak ada guru matematika.

"Saya ini ambil jurusan IPA, tapi tak diajarkan matematika. Bupati sudah berusaha buat pengadaan guru, tapi tak ada yang mau ke sana. Terpaksa semua anak naik kelas karena itu," ujar Mina.

Sebenarnya, masih banyak hal-hal yang dikeluhkan Mina. Tak heran jika ia mendominasi diskusi kelompok tentang ''Sekolah yang Menyenangkan''. Berbagai kondisi serbakurang ia angkat, mulai dari sekolah yang tak punya perpustakaan, murid-murid yang hanya masuk sekolah saat hendak ujian, hingga kurikulum 1994 dan 2004 yang dipakai bersamaan.

Baru kali ini Mina dan empat temannya datang ke Jakarta. Mereka adalah bagian dari 106 anak peserta Forum Anak Nasional (FAN) yang diadakan Organisasi Kemanusiaan Kristen Internasional World Vision dan Wahana Visi Indonesia. Sejak Pada 8 - 14 Juli ini, di Depok dan Jakarta, Mina dan empat temannya bergabung mengikuti kegiatan bersama para siswa dari 31 wilayah lain di Indonesia.

Sebagian besar peserta bersal dari Indonesia Timur. Pada 2006, dari 43 Area Development Program (ADP) World Vision, 27 di antaranya dilakukan di Indonesia Timur. Wilayah tersebut di antaranya Alor, Rote, Sumba, Poso, Ternate, Pantai Kasuari, Bovendigoel, dan Eriwuk. Selain itu, terdapat juga di wilayah Barat dan Tengah, semisal Aceh, Jakarta, Singkawang, dan Pontianak.

Menurut Humas World Vision, Donna Hattu, akses di Indonesia Timur sangat terbatas. Inilah yang membuat anak-anak di sana tak memeroleh hak mereka sebagaimana mestinya. Terkadang motivasi anak untuk bersekolah sangat tinggi, namun lagi-lagi infrastruktur tidak mendukung.

"Saya pernah menyaksikan anak yang patah semangat karena mau ujian tapi jembatan putus. Padahal, itulah satu-satunya jalan menuju ke sekolah. Dia kecewa. Saya juga sedih melihatnya. Yang seperti itu banyak di sana (Indonesia Timur)," tutur Donna.

Pihaknya secara umum melihat bahwa dunia pendidikan masih memprihatinkan. Berbagai persoalan masih belum terpecahkan, semisal perubahan kurikulum, kekurangan guru berkualitas di daerah terpencil, kurangnya buku pegangan dan buku bacaan, serta hancurnya bangunan sekolah.

Seperti dikatakan Mina, saat ini sekolahnya memakai dua kurikulum, yaitu tahun 1994 dan 2004. Meski rapor Mina sudah sesuai dengan bentuk Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), tapi sistem belajarnya tak berubah. "Kami hanya datang, duduk, diam, dengar. Kalau kita kasih pertanyaan, guru sering tolak. Kami pun takut untuk bertanya," ujar Mina.

Padahal, pendidikan seharusnya dapat memberdayakan anak dan bukan sebaliknya, melumpuhkan potensi mereka. Seperti dikatakan pakar pendidikan Henry Newman, tujuan pendidikan adalah treat human humanly (memanusiakan manusia). Pendidikan harus mampu membekali anak menjawab tantangan di sekelilingnya dan tantangan luar pada masa mendatang.

Nah, untuk membuka wawasan dan pengetahuan mereka, anak-anak dari wilayah terpencil dan serbakekurangan itu pun dikumpulkan dalam FAN. Serangkaian acara disiapkan agar mereka bisa saling berbagi pengalaman dan bertukar pikiran tentang pendidikan.

Setiap hari, ada sesi diskusi dengan pelbagai tema, seperti "Belajar Itu Menyenangkan", "Cara Bergaul", "Cara Mencegah dan Mengatasi Kekerasan pada Anak", "Mengenal Potensiku", dan "Pendidikan Berbasis Teknologi". Selain itu, mereka juga akan bekunjung ke perpustakaan British Council, Dunia Fantasi, dan Departemen Pendidikan Nasional.

Menurut Direktur Nasional World Vision, Trihadi Saptoadi, anak-anak itu juga menyiapkan sebuah acara dialog peserta FAN dengan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo."Untuk menumbuhkan melatih mereka advokasi. Hal-hal yang disampaikan pun sudah didiskusikan sebelumnya. Mereka kami rangsang untuk merumuskan sendiri pendidikan yang menyenangkan itu seperti apa," ujar Trihadi.
(Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional , Selasa 10 Juli 2007.

No comments: