Wednesday, June 20, 2007

Sekolah Gratis buat si Miskin

Jika kecerdasan dan kesucian hati telah merakyat, tak ada lagi ruang tersisa untuk kebodohan.


KEGIGIHANNYA berlatih bahasa Inggris membuat Fina Af'idatussofa (14) memenangkan juara penulisan artikel berbahasa Inggris. Padahal, Fina cuma seorang siswa di sekolah terbuka, bukan di sekolah internasional.

Ia juga tak tinggal di kota besar. Ia anak petani di Desa Kalibening, 3 km perjalanan ke arah selatan dari Kota Salatiga. Penghasilan orang tuanya yang tak seberapa membuatnya tak bisa melanjutkan ke sekolah negeri atau swasta berbiaya. Tak ingin putus belajar, ia pun masuk ke SMP Alternatif Qaryah Thayyibah di desanya.

Sekolah Fina resmi terdaftar sebagai SMP Terbuka pada 2003. Meski sebagian besar muridnya dari kalangan tak mampu, tapi kualitas mereka bisa mengimbangi sekolah-sekolah negeri, baik itu dalam lomba cerdas cermat dan lomba motivasi belajar mandiri. Beberapa perwakilannya dikirim mewakili Salatiga ke Konvensi Lingkungan Hidup Pemuda Asia Pasifik di Surabaya.

Selain unggul di bidang akademik, siswi SMP Alternatif Qaryah Thayyibah ini juga andal dalam berkesenian. Grup musik Suara Lintang yang mereka bentuk telah merekam karyanya dalam album Tembang Dolanan Tempo Doeloe. Bahkan, seluruh siswanya bisa bermain gitar karena merupakan keterampilan wajib di sekolah.

Sekolah Fina hanya satu contoh tempat kegiatan belajar mandiri (TKBM) yang berhasil. Sejak 2001, TKBM mulai berdiri. Hal tersebut sesuai instruksi wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah. Salah satu pelaksana TKBM bernama Yayasan Sekolah Rakyat. Baru berdiri resmi pada 2002, tapi program TKBM yang mereka lakukan berlangsung sejak 2001. Hingga hari ini, Sekolah Rakyat telah mengelola 406 TKBM dengan 17.000 siswa dan 2.185 guru pamong di 16 propinsi di Indonesia.

Di Jakarta, ada tujuh TKBM dikelola Sekolah Rakyat. Tersebar di lima wilayah Jakarta Utara, yaitu Warakas (dua titik), Tanjung Priok, Ancol, dan Penjaringan. Sisanya di Johar Baru dan Cideng, Jakarta Pusat, dan satu di Kapuk, Jakarta Barat.

Menurut Koordinator Humas Sekolah Rakyat, Arvianto Sadri, awalnya para pendiri yayasan ini adalah aktivis pemberdayaan ekonomi masyarakat. Mereka "banting setir" ke pendidikan karena melihat sektor itu merupakan fondasi bagi generasi penerus bangsa. Bekerja sama dengan Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama Departemen Pendidikan Nasional, mulailah mereka menjaring siswa dan membuat TKBM.

Arivianto, yang akrab disapa Anto ini, juga mengatakan, ada tiga masalah mendasar yang coba mereka selesaikan dengan TKBM. "Masalah ekonomi, geografi, dan waktu," ujarnya.

Masalah ekonomi ada karena pada umumnya siswa TKBM berasal dari golongan tak mampu. Masalah waktu mucul karena sebagian besar siswa sudah bekerja, baik itu untuk membantu orang tua maupun untuk menghidupi keluarganya. "Ini yang cukup susah. Karena mereka sudah tahu uang, maka kami harus bisa membujuk agar mereka mau menyisihkan waktunya untuk belajar. Jadi, kami harus yakinkan bahwa jadawal belajar sangat fleksibel dan tidak serumit di SMP negeri," kata Anto.

Terakhir adalah persoalan geografis. Di daerah terpencil, setiap kecamatan biasanya hanya ada satu SMP. Jumlahnya sangat sedikit. Tak heran jika ada siswa yang harus menepuh jarang belasan kilometer hanya untuk bersekolah. "Kondisi itu tidak mendukung bagi anak untuk belajar. Makanya kami dirikan TKB di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka," ujar Anto, yang bergabung dengan Sekolah Rakyat sejak dua tahun lalu.

Seperti dipaparkan dalam situs www.sekolahrakyat.com, cara mendirkannya pun cukup mudah. Jika calon siswa yang terkumpul sudah mencapai 30 orang dengan sedikitnya tiga tenaga pengajar, maka TKBM sudah bisa dilakukan. Tinggal mencari lokasi belajar dan sekolah negeri yang mau menjadi sekolah induk.

Pada dasarnya, administrasi TKBM ikut ke pemerintah. Namun pengelolaannya tetap oleh masyarakat. Sedangkan tiga orang pengajar mereka butuhkan untuk mata pelajaran IPA, IPS, Matematika, dan Bahasa.

"Lokasi TKBM sangat fleksibel. Bahkan di tempat ibadah juga bisa. Yang jelas, kami tetap harus menginduk ke SMP negeri karena merekalah yang nantinya mengeluarkan nomor induk siswa, buku rapor, dan ijazah," ujarnya.

Meski tahun ajaran baru sama dengan sekolah lainnya, yaitu Agustus, tapi pihak pengelola sudah mulai menjaring siswa sejak April. Hal ini karena pengelola harus turun ke lapangan mencari siswa yang sekiranya putus sekolah dan berumur maksimal 18 tahun. "Hambatan terbesar adalah motivasi pengelola. Makanya biar tak kendur, kami sering adakan pelatihan untuk mengisi kembali motivasi mereka," kata Anton.

Pada 2002-2005 TKBM Sekolah Rakyat disubsidi pemerintah sebesar Rp12.500 per siswa per bulan. Namun, pada 2006, subsidi tersebut turun menjadi Rp6.000 per siswa per bulan. Tahun ini, kata Anto, dana penglolaan berasal dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebesar Rp354.000 per siswa per bulan.

Selain pendidikan akademis, siswa TKBM juga dibekali keterampilan. Bentukanya? Disesuaikan dengan kondisi lingkungan siswa. Mulai dari membuat perlengkapan rumah tangga, berkesenian, ataupun barang-barang yang sekiranya bisa mendatangkan uang.

Ika Karlina Idris

No comments: