Wednesday, June 20, 2007

Menelusuri Jejak Belanda dalam Gelap

Jakarta-Jurnal Nasional

Di bawah langit malam yang kemerahan, satu demi satu mereka berjalan. Dari bangunan satu ke bangunan lain, mereka melintasi sebuah tembok sepanjang 150 meter yang saking sempitnya, lalu harus berjalan satu-satu.

Tembok itu adalah satu yang tersisa, dari 18 Bastion—sisa tembok Batavia. Awalnya, panjang tembok itu mencapai 6000 meter yang menghubungkan satu benteng dengan benteng lain di sekitar Batavia.

Tiba di ujung tembok, mereka melewati sebuah pintu dan masuk ke sebuah ruang berisi lukisan-lukisan. Tak ada cahaya lain yang menerangi ruangan tersebut. Hanya sebuah sorotan lampu senter.

Dan disitulah mereka melihatnya. Sebuah sosok setinggi dua meter dengan mata menatap tajam ke siapapun yang menatapnya.

“Dia paling suka menggangu orang,” ujar seorang lelaki.

Dia, Laksamana Mahayati. Berasal dari Aceh dan hidup pada penjajahan Belanda. Seorang generasi pejuang, sebelum Cut Nyak Dien.

Meski hanya berupa lukisan, namun beberapa di antara mereka ada yang tak mau menatap matanya. “Matanya suka bergerak-gerak sendiri,” kata si lelaki yang tadi. Konon, dari cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut.

Laksamana hanya menggangu pengunjung yang juga iseng. Mereka yang memanfaatkan museum untuk bermesraan.

“Mari kita ke ruang berikutnya,” ujar lelaki itu. Tak harus dikomando lama-lama, mereka—pengunjung museum—langsung mengikuti. Bahkan, sedikit berebutan. Tentu tak ada yang mau berlama-lama bersama lukisan yang matanya konon bisa bergerak-gerak.

Mereka lalu berada di sebuah ruangan yang berisi berbagai macam peralatan navigasi. Kompas, kemudi kapal, lonceng, palmpung suar, dan sextan. Semua alat yang dibutuhkan, muali dari menjalankan kapal, menemukan arah pelayaran, hingga menentukan posisi kapal.

Sekitar 20 menit mereka di sana, lalu berjalan melewati ruangan yang penuh dengan biota laut. Sebagian besar sudah diawetkan.

“Ini adalah sotong yang diawetkan,” katanya sambil menunjuk ke sebuah kotak kaca. Mereka pun melihat ke sebuah benda serupa cumi-cumi dengan panjang sekitar 20 sentimeter dan lebar 8 senti meter.

“Sotong ini, oleh Jepang lalu dibuat pelembab dan pemutih wajah,” kata lelaki itu yang ternyata bernama Sukma Wijaya. Dialah pembimbing malam itu, Sabtu, 16 Juni. Ada sekitar 75 orang pengunjung Museum Bahari, Sunda Kelapa, Jakarta Utara yang mengikuti acara Nigth Trails at Museum.

Malam itu, adalah acara ke enam yang diselenggarakan Komunitas Peduli Sejarah dan Budaya Indonesia atau yang lebih akrab disebut Komunitas Historia. Berdiri sejak 22 Maret 2003, komunitas ini beregrak di bidang pendidikan, sejarah, budaya, dan pariwisata.

Selama lebih dari empat jam, peserta diajak menelusuri lorong-lorong gelap dan sudut-sudut senyap bekas gedung rempah-rempah Belanda. Saat jepang berkuasa, gedung ini tetap dijadikan gudang. Bedanya, jepang menggunakannya sebagai gudang senjata dan perlengkapan perang.

“Jepang pergi, tempat ini juga kita jadikan gudang. Dulunya, ini dipakai oleh (PT) Telkom. Jadi museum saat masa Ali Sadikin (gubernur DKI yang pertama),” kata Sukma.

Pengunjung juga sempat melihat berbagai miniatur kapal. Pinisi dari Sulawesi Selatan, Mayang dari Indramayu dan Londe dari Sulawesi. Ada juga kapal bakal jukung barito dari Kalimantan, terbuat dari batang pohon yang dilubangi tengahnya.

Di ruangan selanjutnya, pengunjunga melihat perahu cadik satu dari Irian. Sekeliling kapal tersebut penuh dengan ukiran yang dicat berwarna merah, putih, dan hitam. Dan tak satupun bagian dari kapal penangkap ikan itu yang menggunakan bahan kimia.

Warna putih berasal dari bunga karang, merah dari tanah liat, dan hitam dari tinta cumi-cumi. Semuanya dipanaskan dan dicat ke kapal yang pembuatannya memakan waktu enam bulan.

“Dibuat oleh 30 orang dan yang menaikinya juga harus 30 orang. 15 orang mendayung dan sisanya bersitirahat,” jelas Sukma.

Kapal itu dibawa ke Jakarta sekitar awal tahun 80 dengan cara didayung. Selama tiga bulan, kapal itu baru tiba di Jakarta.

Beberapa saat setelah tiba, pihak museum pernah mempernis kapal tersebut. Sebulan kemudian, si pembuat kapal datang dari Irian dan marah-marah. Padahal, tak ada satupun yang memebritahunya akan hal itu.

“Akhirnya, proses tidak diselesaikan. Pernis dihilangkan dan dilakukan pengecatan ulang. Tentunya dengan upacara adat,” terang Sukma yang sudah 8 tahun bekerja sebagai pemandu di Museum Bahari.

Setelah itu, perjalanan dilanjutkan dengan mengunjungi pasar ikan yang sudah ada sejak 1920. Sebenarnya, pasar berbentuk heksagon itu suasananya sama saja dengan pasar ikan lainnya. Namun, ada beberapa konstruksi bangunan yang membedakan, seperti temboknya yang sangat tebal.

Terakhir, dalam beberapa kelompok kecil, pengunjung diajak menaiki menara Syahbandar. Menara setinggi 18 meter itu memiliki anak tangga sebanyak 56 buah. Pondasi menara dibangun sejak 1645, namun baru selesai pada 1839. Maklum, segala bahan pembangunannya harus didatangkan dari Belanda.

Saat ini, menara tersebut dalam keadaan miring.

“Kemiringannya sampai dua derajat. Ini karena banyak kontainer yang melewati jalan di samping menara. Kalau di Italia ada menara pisa, di sini ada menara pasi alias pasar ikan,” kata Sukma berkelakar.

Dari puncak menara, pengunjunga bisa melihat pemandangan pelabuhan Sunda Kelapa di malam hari. Dulunya, menara ini berfungsi sebagai menara pengawas bagi kapal-kapal yang masuk keluar pelabuhan.

Tampak pemandangan bangunan kota berserta lampu-lampunya. Tampak pula pintu air yang sudah berbatasan dengan aspal dan gedung-gedung tinggi.

“Mama, dulu ini semua laut ya?,” tanya seorang bocah yang malam itu datang bersama kakak dan orangtuanya. (ika karlina idris)

No comments: