Wednesday, June 20, 2007

Memburu Standar Internasional

Jakarta | Jurnal Nasional

KABAR menggembirakan itu berembus pekan lalu. Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan DI Yogyakarta, Nova Widiarto, mengatakan, SMPN 1 Galur Kulonprogo, SMPN 1 Bantul, SMPN 1 Karangmojo Gunungkidul, SMPN 4 Pakem Sleman, dan SMPN 5 Yogyakarta, siap membuka kelas internasional. Tentu saja berstandar internasional.

‘’Kurikulumnya digodok di Cambridge,’’ ujar Nova seperti dilaporkan wartawan Jurnal Nasional di Yogyakarta.


Siswa di kelas pada sekolah berstandar internasional (SBI) itu, demikian Nova, berbeda dengan sekolah reguler. Siswa di sekolah yang masuk kelas berstandar internasional harus mengikuti tes psikologi dan tes khusus, seperti kemampuan berbahasa Inggris. Namun, muatan lokal juga masih diberikan.


Di Yogyakarta, SBI sejatinya juga bukan hal baru. Sebelumnya ada SMAN 1 Yogyakarta yang siap membuka ujian sertifikasi internasional. Ujian tersebut dapat diikuti siswa dari sekolah yang sudah maupun belum membuka layanan kelas internasional.

Secara nasional, kelas SBI dimulai sekitar 2003 di Jakarta. Hingga kini sekolah-sekolah yang sudah mempunyai kelas SBI, antara lain, SMA 70, SMA 8, SMA 21, SMA 68, SMA 78, dan SMA 81. Meskipun makin banyak sekolah yang mengadakan kelas SBI, namun program ini masih dalam taraf rintisan alias ‘’coba-coba”. Mengapa?

Sebab, hingga kini payung hukum yang mengatur pelaksanaan dan pembiayaannya SBI itu belum ada. Satu-satunya dasar hukum kelas SBI adalah Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 50 dalam UU itu menyebutkan, ‘’Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional.”

Secara eksplisit, indikator keberhasilannya ditetapkan dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005-2009. Pada 2006, target kelas SBI sebanyak 50 sekolah, 2007 sebanyak 85 sekolah, 2008 ada 120 sekolah, dan 2009 ada 155 sekolah.

‘’Payung hukum baru ada Undang-Undang Sisdiknas. Sementara peraturan yang mengatur pembiayaan dan penyelengaraannya belum turun,” kata Sasmito dari Bagian Kerja Sama Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).

Padahal, menurut UU Sisdiknas, kelas SBI harus diatur Peraturan Pemerintah (PP) dalam kurun dua tahun. ‘’Sudah lama digodok, PP lain sudah turun, tapi SBI dan sekolah asing belum turun. Katanya saat ini sudah di Sekretariat Negara,” kata Sasmito.

Guna mengantisipasi PP yang belum turun, dibentuklah sekolah-sekolah rintisan SBI. Hingga kini sudah ada sekitar 100 sekolah di seluruh Indonesia. Pembinaannya diserahkan ke Dinas Pendidikan masing-masing provinsi.


Menurut Humas Depdiknas, Irianto, pihaknya membantu memberikan pedoman tentang kurikulum, buku, strategi pembiayaan, dan hal-hal lain yang bersifat pelayanan. ‘’Masih menungu peraturan menteri,’’ katanya.

Karena belum ada peraturan yang mengikat, maka pembiayaan dibebankan pada wali atau orangtua siswa. Dalam hal pembiayaan ini, Kepala Dinas Pendidikan DI Yogyakarta, Sugito, mengatakan bahwa pihak sekolah diberi kesempatan melakukan penghitungan biaya yang harus ditanggung orangtua siswa.

‘’Orangtua, melalui komite sekolah, dapat membahas berapa besar keperluan dana yang dibutuhkan. Tetapi, prinsipnya kita mendorong bagi sekolah yang secara otonom mampu menerapkan kurikulum internasional,’’ ujarnya.

Biaya realisasi SBI, demikian Sugito, ditanggung bersama oleh pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Sekolah akan mendapatkan bantuan dana Rp 800 juta. Sumber dananya berasal dari pemerintah pusat 50 persen, provinsi 35 persen, dan kabupaten/kota 25 persen.

Namun, Irianto mengatakan bahwa Depdiknas memberi bantuan pada kelas SBI sebesar Rp500 juta pada setiap provinsi. ‘’Ini dana pancingan saja agar mereka mau membuka kelas SBI,” ujarnya.

Pada dasarnya, kelas SBI masih menyiapkan peserta didik bisa mencapai standar nasional pendidikan, tapi sekaligus bertaraf internasional. Siswa di kelas SBI harus mempelajari lima pelajaran wajib, yaitu bahasa Inggris, matematika, fisika, biologi, dan kimia. Selain itu, ada juga tiga pelajaran lokal, yaitu agama, olahraga dan kesehatan, serta bahasa Indonesia.

‘’Intinya, mempelajari ilmu yang diakui secara internasional dalam bahasa inggris,” ujar Sasmito.
Dibandingkan negara-negara lain, katanya, kemampuan berbahasa Inggris para siswa atau orang Indonesia masih tertinggal. Dibandingkan Filipina saja masih kalah jauh. Di sana, tambah Sasmito, hampir semua lapisan masyarakat sudah lancar berbahasa Inggris.

‘’Makanya, kami merintis hal itu melalui sekolah SBI agar anak-anak bisa berbahasa Inggris. Tak hanya hanya pelajaran itu, namun juga ilmu lain yang disampaikan dengan bahasa Inggris,’’ urainya.

Pada umumnya, siswa yang mengkuti kelas SBI adalah siswa yang ingin melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Jika tidak, beberapa fakultas di Perguruan Tinggi (PT) telah membuka kelas SBI. Jadi, hal tersebut tergantung pada siswa dan orangtua.

Itulah yang sebenarnya tujuan terpenting. Menurut anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Seto Mulyadi, setiap siswa yang mengikuti kelas SBI harus memiliki tujuan jelas. Sebagai persiapan belajar ke luar negeri memang tepat. Jika tidak, demikian Seto, kurikulum nasional saja sudah cukup. Kembalikan semuanya kepada siswa yang menjalani.

‘’Hal ini positif selama datang dari si anak, bukan karena paksaan orangtua ataupun mengikuti saudara. Jika tidak, anak yang mengikutinya bisa stres,’’ katanya.

Seto, yang juga psikolog anak, mengatakan bahwa ia memiliki pasien seorang peserta kelas SBI. Karena kurikulum yang terlalu berat, anak tersebut pernah mencoba bunuh diri. Makanya, kelas SBI harus menyertakan psokilog pendamping. Jika tidak, maka anak-anak hanya dipacu untuk menggunakan logika dan melupakan afeksi.

‘’Sebagian besar pendidikan di Singapura, Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan gagal karena siswa di-drill (dilatih) pada mata pelajaran yang membutuhkan kognitif, tapi kurang ke hal-hal yang bersifat intuitif, estetika, dan etika,’’ urainya.

Ika Karlina Idris

No comments: