Wednesday, June 20, 2007

Kursus Membatik, Yuk!

Jakarta | Jurnal Nasional

RATIH (38) meniup lilin cair dalam canting. Ia lalu menimpa pola yang ada di atas kain putih dengan lilin tersebut. Baru saja beberapa goresan, perempuan itu berhenti. Dengan panik, ia memanggil instruktur yang ada tak jauh darinya. “Mas, mas, meluber lagi nih. Cantingnya nggak enak sih, apa lilinnya terlalu cair ya?”

Si instruktur menghampiri dan berkata bahwa lilin yang meluber tak usah dipikirkan dan tak usah diteruskan dulu. ‘’Coba selesaikan yang lain saja,” kata sang instruktur sambil menunjuk gambar-gambar di kain.

Ratih adalah peserta kursus membatik oleh Museum Tekstil, Dinas Pariwisata DKI Jakarta. Kursus ini dibuka sejak delapan tahun lalu. Awalnya, kursus dibuka karena pengunjung yang datang ke museum tekstil sangat sedikit.

‘’Kadang sehari tak ada pengunjung sama sekali,” kata Sukrismini (45), koordinator instruktur membatik.

Dulu, ia hanya sebatas menunjukkan cara membatik ke pengunjung ataupun menghadiri undanga-undangan. Setelah beberapa kali mengajukan ide kursus ini ke kepala museum, barulah disetujui. Selain membatik, ada juga kursus silk painting (melukis sutra), hand print (melukis dengan tangan).

Untuk kursus singkat, peserta diberi kain putih selebar sapu tangan. Biayanya Rp30 ribu bagi peserta lokal dan Rp60 ribu bagi warga negara asing. Sedang kursus intensif, peserta diberi kain putih 1 x1,5 meter.Biayanya Rp175 ribu bagi peserta lokal dan Rp275 ribu bagi warga asing.

Bisanya, kursus singkat selesai sekitar 2-4 jam. Sedang kursus intensif sekitar dua minggu. Tapi, tentunya tergantung seberapa niat seorang peserta menyelesaikan sebuah kan.

“Kursus selesai kalau batik mereka sudah selesai. Datangnya boleh kapan saja, selama waktu buka museum,” kata Sukrismini, yang akrab di sapa Kris oleh para peserta kursus.

Museum tekstil buka setiap Selasa-Minggu, pukul 09.00-15.00 WIB dan libur setiap Senin serta buka hanya setengah hari pada Sabtu. Jika sudah selesai kursus, biasanya peserta mendapat sertifikat. Kris mengaku sudah mengeluarkan ribuan sertifikat. Jika pesertanya rombongan, Kris bisa mengajar hingga 200 orang. Peserta seperti biasanya mengambil kursus singkat.

Siang itu, ada rombongan anak-anak TK yang datang ke sana. Selain melihat-lihat museum, mereka juga mengikuti kursus membatik. Awalnya, anak-anak itu diajarkan menggambar pola di atas kain mereka. Setelah itu, gambar ditimpa dengan lilin, diberi warna, lalu direbus agar lilinnya hilang.

Gambar mereka macam-macam, mulai dari karakter komik sampai binatang.“Ngajarin anak-anak ini paling repot. Soalnya, nggak bisa diem. Ada yang lilinya tumpahlah atau nggak sabaran sampai menuangkan seluruh lilin ke kain mereka,” kata Mat Nasir, yang pernah belajar membatik di sana.

Jika peserta kursus sedang banyak, Nasir sering diminta bantuan untuk mengawasi mereka. Lelaki asli Betawi yang enggan menyebutka umurnya ini bercerita tentang perilaku peserta yang bermacam-macam.

Ada peserta yang ingin hasil batikannya sempurna dan langsung berhenti jika ada yang salah. Ada juga peserta yang belum ingin berhenti meski museum sudah tutup. Ada juga yang datangnya jarang-jarang.

“Bahkan, ada tiga orang peserta asal Semarang yang jauh-jauh datang ke sini. Memang di Semarang itu, banyak pembatik, tapi mereka hanya bisa melakukannya dan tak tahu bagaimana cara mengajar,” terang Nasir.

Yang jelas, Nasir dan Kris mengakui bahwa peserta kursus lebi didominasi warga negara asing. Warga Jepang yang paling banyak. Menurut Kris, seringkali tujuan mereka belajar untuk mebuat kursus serupa dan negaranya atau di tempat lain.

''Rata-rata mereka sangat serius belajar,” ujar Kris, lulusan sekolah batik di Yogyakarta dan sudah bekerja di museum sejak 1987.

Nasir menilai, orang Indonesia tak banyak yang belajar membatik karena mereka lebih baik membeli daripada harus belajar.Sri, peserta kursus asal Pamulang, Tangerang, mengaku sebenarnya sudah setahun ingin belajar membatik. Hanya saja, tempatnya cukup jauh dan baru ada kesempatan sekarang. Saat itu, Sri dan salah seorang temannya terlihat serius menggambar pola di atas kain mereka.

“Hanya sekadar hobi, tapi lihat nanti. Kalau bagus mungkin mau diseriusin,” ujarnya.

Setelah menggambar pola, ia masih harus menimpanya dengan lilin, mencelupnya untuk memberi warna pada kain, merebus kain hingga lilinnya hilang. Selanjutnya, kalau ingin meneruskan kursus, kain bisa diberi dua warna dengan menggunakan kuas dan, terakhir, dengan pewarna kimia.

Ika Karlina Idris

No comments: