Wednesday, June 20, 2007

Mengusung Stupa Masuk Mal

Terobosan baru sebagai sarana penjelasan sejarah budaya di tengah konsentrasi kaum muda.

Jakarta | Jurnal Nasional

STUPA Unfinished Buddha atau patung Buddha yang belum selesai pengerjaannya dikelilingi puluhan anak sekolah. Seorang pemandu menjelaskan kepada mereka seputar stupa tersebut.

Beberapa peralatan yang biasa digunakan dalam upacara keagamaan—seperti kendi, genta pendeta, dan tempat membakar dupa—diletakkan dalam kaca, namun tidak menghalangi para siswa itu menikmatinya secara jelas. Sesekali celotehan kagum mereka meluncur.

Pemandangan ini bukan di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, tempat stupa Unfinished Buddha seharusnya berada. Bukan pula di museum atau di pusat penelitian, tetapi di lantai dasar Mangga Dua Square.

Pada 3 - 10 Juni lalu, di mal itu berlangsung pameran arkeologi Indonesia bertajuk Archeology Goes to Mall. Selain stupa dan peralatan untuk upacara keagamaan, dipamerkan juga miniatur Borobudur dan foto-foto Maha Karmawibhangga.

Karmawibhangga adalah relief-relief yang berada di kaki Borobudur. Terdapat tidak kurang 160 foto relief dengan lebar sekitar 35 x 15 cm. Saat ini tinggal lima relief yang bisa dilihat karena sisanya sudah ditutup.

Menurut kurator pameran dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Arkenas), Kriswandhono, relief-relief tersebut terpaksa ditutup demi keutuhan candi. Sebab, relief-relief itu merupakan bagian dari penopang Borobudur yang dibangun di puncak bukit.

''Kalau hujan tanahnya lembek dan kalau panas akan pecah. Biar tak runtuh, jadi ditutup saja,'' kata Kris.

Selain pameran, juga disajikan demo memahat relief dari batu dan membuat stupika. Stupika adalah stupa kecil terbuat dari tanah liat yang dikeringkan. Dalam acara ini pengunjung diajak membuat stupika berbahan gips. Hasilnya bisa mereka bawa pulang.

Wakil Koordinator Pameran, Lenny Hidayat, mengatakan, sedikitnya sekitar 24 ribu stupika berbentuk Buddha Sakyamuni tercetak. ''Kami harap jumlah tersebut bisa memenangkan rekor Muri (Museum Rekor Indonesia)," ujarnya.

Hadir juga pemutaran film. Empat televisi layar datar 29 inci menayangkan video kehidupan masyarakat di sekitar Borobudur, ekspedisi situs Muara Jambi, dan pelestarian Borobudur. Pelbagai atraksi seperti seni tari, barongsai, tambur lodan dan jepang, dongeng anak, wayang potehi, diskusi kebudayaan, lomba lukis, dan kuis ikut memarakkan suasana.

Di Mangga Dua Square, areal pameran dibagi tiga. Pada zona pertama terdapat panel bertuliskan sejarah peradaban Nusantara pada Abad 9-13 Masehi. Zona selanjutnya terdiri 32 buah panel berisi foto-foto Maha Karmawibhangga. Pada zona terahir itulah terdapat segala macam artefak yang berkaitan dengan Borobudur.
Lantas, mengapa harus ''repot-repot'' mengusung arkeologi ke mal?

Menurut Kris, pameran arkeologi di mal ini merupakan sarana penjelasan terbaik untuk mempelajari sejarah. Arkeologi meliputi sejarah dan segala macam kelengkapannya, baik artefak, prasasti, ataupun bangunan semisal candi.

''Kami juga ingin memberi tahu masyarakat bahwa arkeologi bukan sesuatu yang eksklusif, melainkan sangat dekat dengan kita," tuturnya.

Sedangkan Lenny berpendapat, pameran ini sengaja diadakan di mal karena sebagian besar anak muda lebih banyak menghabiskan waktu di sana. Ibaratnya, ujar Lenny, ''Kami ingin menjemput bola.''

Pameran ini diselenggarakan Arkenas bekerja sama dengan Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI). Mereka berusaha mengemas materi-materi berat sesuai keinginan pengunjung.

"Mereka bisa melihat sejarah di tempat yang biasa mereka datangi. Beberapa bahkan sambil makan. Yang penting mereka enjoy saja dulu," ujar Kris.

Ia mengakui bahwa konsep pameran di mal ini mula-mula membuatnya terpana. Jumlah pengunjung ternyata lebih dari yang mereka perkirakan. Bahkan selama pameran, tiap hari selalu dikunjungi rombongan anak-anak sekolah. Jelas sebuah gejala membanggakan.

Alhasil, baik Kris maupun Lenny berharap pameran seperti ini bukan yang pertama sekaligus terakhir. Mereka menginginkan pameran seperti ini bisa berlangsung tiap tahun di tempat yang beragam. Tentu, tak hanya tentang relief Borobudur, tetapi juga yang lainnya.

"Sejauh ini saya lihat kurangnya kepedulian terhadap hal ini. Padahal, sumberdaya, baik manusia maupun materi, sangat banyak. Moga-moga dengan pameran kali ini departemen yang bersangkutan bisa tersentuh," ujar Kris berharap.

Persiapan pameran ini membutuhkan waktu sekitar dua bulan. Yang paling rumit adalah proses perizinan. Namun, panitia memakluminya mengingat ada banyak pihak yang terlibat untuk mengamankan aset-aset warisan budaya nasional yang dipamerkan. Keamanan harus nomor satu.

Ika Karlina Idris

No comments: