Wednesday, June 20, 2007

Belum Kiamat bila Tak Lulus UN Formal

Depdiknas menjamin tidak ada diskriminasi bagi lulusan UN Kesetaraan.

Jakarta | Jurnal Nasional

UJIAN Nasional (UN) Pendidikan Formal masih menjadi perdebatan. Semuanya tidak lepas dari kontroversi seputar dampak UN. Satu misal, beberapa siswa di beberapa daerah yang sebenarnya berprestasi di sekolah, ternyata malah tidak lulus UN. Orangtua siswa geram. Apalagi guru yang merasa paham betul kemampuan siswanya.

Padahal dunia belum kiamat. Jika siswa tak lulus UN Formal, mereka toh bisa menempuh UN Kesetaraan. Oleh karena itu, untuk memberi peluang kepada siswa yang tidak lulus UN Formal, beberapa kali pelaksanaan UN Kesetaraan diundur.

Sesuai aturan, UN Kesetaraan dilakukan dua kali setiap tahun. Periode pertama dilakukan pada April dan Mei dan kedua pada Oktober. Dilakukan penyesuaian jika pada bulan-bulan tersebut bertepatan dengan bulan Ramadan.

Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Ace Suryadi, UN Kesetaraan dilakukan dua kali karena memang pendidikan Kesetaraan tak diatur oleh waktu yang tetap.

‘’Kalau sekolah biasa ada waktunya, kalau ini setiap saat bisa masuk. Tetapi mereka baru bisa ujian setelah jumlah kredit yang diambil cukup. Kalau cuma sekali, kasihan harus menunggu lama,” ujar Ace di kantornya kepada Jurnal Nasional.

Tahun ini UN Kesetaraan Paket C untuk SLTA seharusnya dilakukan pada 28-31 Mei 2007 lalu, tetapi diundur hingga 19 - 22 Juni 2007 mendatang. Sedangkan UN Kesetaraan Paket A (setingkat SD) dan Paket B (SLTP) yang sebelumnya diagendakan 4 – 6 Juni 2007 diundur hingga 26-28 Juni 2007.

Tampaknya pengunduran jadwal tersebut dilakukan untuk menunggu hasil UN Formal paling lambat 16 Juni. Karena itu, hingga kini belum diketahui pasti jumlah peserta yang akan ikut UN Kesetaraan Paket A, B, dan C.

Namun Ace memastikan jumlah peserta tahun ini akan meningkat. Tahun lalu peserta UN Kesetaraan meningkat hingga 230 persen atau 744.207. Rinciannya, Paket A diikuti 46.018 peserta, Paket B 387.577 peserta, dan 310.612 untuk Paket C.

Menurut Ace, standar ujian yang digunakan UN Formal dan UN Kesetaraan sebenarnya tidak jauh berbeda sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

“Sudah menggunakan standar kompetensi yang sama, alat uji yang sama, dan tingkat kesulitan soal yang sama. Jadi, kualitas peserta yang lulus UN Formal ataupun UN Kesetaraan adalah sama. Tak boleh lagi ada anggapan bahwa Ujian kesetaraan tak lebih baik dari UN (Formal),” kata Ace.

Sebelumnya, nilai minimal dari seluruh mata pelajaran yang diujikan sebesar 22,5 untuk Paket A, sebesar 28,5 untuk Paket B, dan Paket C IPS, serta 33,25 untuk Paket C IPA. Tak boleh ada satu pun mata pelajaran dengan nilai di bawah 3. Tapi tahun lalu nilai untuk UN Kesetaraan ditingkatkan dengan nilai minimal 5,00 untuk tiap mata pelajaran atau memiliki nilai rata-rata 5,33 jika salah satu mata pelajaran mendapatkan nilai minimal 4,00.

Tentang ‘’produk’’ UN Kesetaraan, Ace menyatakan, adalah sebuah pelanggaran aturan jika ada perguruan tinggi atau sekolah yang tak mau menerima ijazah kesetaraan. Untuk itu Ace menjamin tidak akan ada lembaga pendidikan yang bersikap seperti itu.

‘’Tak ada yang tak menerima karena meraka tak ada yang mau melanggar aturan dan hak asasi manusia. Kalau memang ada yang seperti itu, bisa diadukan,” ujarnya.

Dalam kasus ini, Ace menekankan semua pihak melihat pendidikan dalam arti sebenarnya. Jangan sebatas pada bangunan sekolah, status sosial siswa, laboratorium, buku, ataupun fasilitas lainnya. Yang paling penting adalah jumlah pelajaran yang sudah ditempuh seseorang.

‘’Pendidikan itu kan bagaimana murid belajar. Tanpa guru, tanpa bangunan, manusia tetap bisa belajar. Kalau belajarnya lebih banyak dan hasilnya lebih baik, kan harusnya lebih bermutu,” kata Ace.

Yang jelas ujian kesetaraan tak hanya disediakan bagi siswa yang tak lulus UN Formal. UN Kesetaraan merupakan pilihan siswa bersangkutan. Depdiknas, kata Ace, hanya memberikan kesempatan. Hal serupa seharusnya juga diberikan oleh sekolah maupun perguruan tinggi.

‘’Yang penting bukan menerima atau tidak lulusan UN Kesetaraan, tapi memberikan kesempatan bagi lulusan UN Kesetaraan untuk ikut ujian. Diterima atau tidak, tentu sesuai dengan kemampuan yang menjalani.’’

Ika Karlina Idris

No comments: