Tuesday, December 26, 2006

Pemenuhan Kebutuhan dengan Swadaya Masyarakat
Jakarta-Jurnal Nasional


Kemiskinan adalah pergulatan yang panjang dan terus-menerus. Kemiskinan seperti ini mengarah ke lost generation.

Pasangan suami istri Budi dan Wati terlahir dalam keluarga miskin. Mereka tak mampu mencukupi kebutuhan mereka yang paling mendasar, yaitu 2400 kalori atau setara dengan satu kali makan nasi lengkap dengan lauk-pauknya. Padahal, itulah jumlah kalori minimal untuk berkegiatan sehari-hari.

Setelah memiliki anak, hal yang sama kembali berulang. Jangankan untuk menyekolahkan anak, memberi gizi yang cukup pun tak mampu dilakukan Budi dan Wati.

“Mereka bertambah miskin. Mereka inilah yang berpotensi menjadi the lost generation (generasi yang hilang). Dan jumlahnya ada 18 persen di seluruh Indonesia atau sekitar 39,5 juta jiwa,” kata ekonom dari Institut Pertanian Bogor, Iman Sugema.

Sedang menurut Sosiolog Paulus Wirutomo, hal itulah yang dinamakan kemiskinan struktural. Orang-orang sepert Budi dan Wati tetap miskin karena struktur atau sistem yang ada telah menghambat mereka untuk keluar dari kemiskinan.

“Sebenarnya mereka telah berusaha untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Tapi, mereka rentan untuk kembali miskin. Bagi mereka, kemiskinan adalah pergulatan yang panjang dan terus-menerus,” kata Paulus dalam suatu sesi perkuliahan mengenai Pembangunan Manusia beberapa waktu lalu.

Keduanya pun sepakat perlunya ada pemberdayaan masyarakat. Bukan dengan jalan pintas seperti pemberian Bantuan Langsung Tunai karena setelah uang yang diberikan habis, maka mereka akan kembali miskin.

Pemberdayaan masyarakat, menurut Iman, sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Sayangnya, beberapa program sudah tak jalan lagi saat ini. Salah satu program yang dapat menyejahterakan masyaraakat, menurutnya, adalah Keluarga Berencana (KB). Dengan pembatasan jumlah anak, maka beban gizi dan beban pendidikan yang ditanggung semakin berkurang.

“Meningkatkan kesejahteraan juga dapat dilakukan dengan swadaya rumah tangga. Misalnya saja apotek dan dapur hidup,” kata Iman yang juga Direktur Indef.

Orang miskin tentu tak mampu membeli daging atau sumber protein lainnya. Dengan adaya dapur hidup, mereka dapat menanam tomat, kentang, atau sayur-sayuran. Pemenuhan gizi dapat mereka lakukan sendiri.

Begitu juga dengan pemenuhan obat-obatan. Adanya apotek hidup paling tidak menjadi salah satu alternatif memenuhi obat-obatan herbal.

“Sekarang malah dibuatkan asuransi kesehatan bagi penduduk miskin. Padahal, untuk pergi ke Puskesmas saja mereka tidak mampu. Selain jauh, kan butuh ongkos transportasi,” tegas Iman.

Selain itu, pemerintah juga perlu memberdayakan kembali kelompok-kelompok yang ada di masyarakat, seperti kelompok tani atau kelompok ternak. Hal ini tidak hanya memudahkan pembinaan tapi juga memperbesar skala usaha mereka.

Dengan adanya kelompok, maka kegiatan di dalamnya akan lebih efisien bagi petani atau peternak skala kecil. Mereka tak harus membeli pupuk sendiri-sendiri, tapi bisa secara kolektif. Bahkan pengerjaannya pun dilakukan bersama. Tentu menjadi lebih cepat.

Peminjaman modal pun lebih gampang karena ditanggung bersama. “Gotong-royong dalam produktifitas seolah-olah dilupakan pemerintah kita. Kalau ingin membangun sektor ekonomi, mulailah dengan perubahan nyata yang menyentuh sektor ekonomi mikro.”

Pemberdayaan pun punya banyak rumus. Iman yang juga Direktur Inter CAFE IPB (International Centre for Applied Finance & Economics) berkata,”Banyak macam rumus untuk pemberdayaan orang miskin, tergantung keterampilan dan situasi di lingkungannya.”

Setelah pemberdayaan, barulah pendanaan. Seperti kita ketahui, anggaran pemerintah habis untuk bayar utang, APBD, belanja rutin, dan belanja modal. Untuk yang terakhir, menurut Iman sangat kurang.

“Tidak mungkin mengorbankan APBD dan belanja rutin. Harusnya, kita melakukan negosiasi pembayaran utang. Bisa diperlambat atau dikurangi jumlahnya. Sisa dari situ, kita gunakan untuk belanja modal. Tapi, saya ragu pemerintah kita berani melakukan hal ini,” tegasnya. (Ika Karlina Idris)

No comments: