Tuesday, December 26, 2006

Pembangunan Infrastruktur untuk Manusia

Jakarta-Jurnal Nasional

Nurhikmah, 25 tahun, adalah contoh penglaju. Ia tinggal di Bekasi dan bekerja di Muara Angke, Jakarta Utara. Sehari-hari, ia pergi ke kantor menggunakan kereta api ekonomi. Di awal bulan, sesekali perempuan yang bekerja di Bank swasta ini menggunakan kereta ekspress.

“Kadang-kadang juga saya naik bus. Tapi ribet. Harus ke terminal Pulo Gadung dulu, turun di Grogol, dan menyambung dengan angkot,” ceritanya suatu malam saat sedang menunggu kereta di stasiun Kota, Jakarta Pusat.

Berapa waktu yang dihabiskan Nurhikmah di jalan? Cukup 5 jam saja, pergi pulang. Jika ada lima hari kerja dalam satu minggu, berarti perempuan dengan perawakan kecil dan berkulit putih ini menghabiskan 25 jam dalam satu minggu. Hanya untuk berada di jalan!

Tentu saja waktu itu bisa bertambah di musim penghujan. Jalanan yang banjir membuat macet di mana-mana.

“Padahal waktu yang terbuang bisa kita gunakan untuk menghasilkan sesuatu,” ujar Sosiolog Paulus Wirutomo dalam suatu sesi perkuliahan tentang Pembangunan Manusia beberapa waktu lalu.

Tentu saja Nurhikmah tidak sendiri. Ada ribuan orang yang menjadi tidak produktif karena waktu mereka dihabiskan di jalan. Semuanya gara-gara menggunakan angkutan umum. Sedang yang menggunakan angkutan pribadi, bisa dibilang setali tiga uang.

“Infrastruktur kita memang masih kurang. Selain itu, tidak sesuai dengan fungsinya,” urai Paulus.

Sosiolog dari Universitas Indonesia ini menegaskan bahwa jalan haruslah diutamakan untuk kendaraan publik dari pada kendaraan pribadi. Tapi sayang, hal yang sebaliknya terjadi di Jakarta.

“Saat ini, tidak hanya mobil yang ‘menyerang’ Jakarta. ‘Orang bawah’ pun ‘menyerang’ dengan motor-motor mereka. Lagi-lagi karena kurangnya angkutan umum.”

Meski terlambat, diakuinya, pemerintah sudah berbenah dengan adanya busway dan konsep angkutan umum lain. Akan tetapi, masih banyak ketidaknyamanan, baik dari segi kuantitas ataupun kualitas.

“Mau tidak mau, orang-orang masih lebih memilih naik motor. Apalagi kita semua tahu bagaimana ugal-ugalannya perilaku pengendara motor di Jakarta. Pembangunan Infrastruktur tidak hanya menyangkut fisiknya saja, tapi juga membentuk budaya pengguna jalan sopan dan disiplin lalu lintas . Kalau melihat perilaku pengendara motor kita, rasanya pembangunan ke arah sana masih panjang, ” urainya.

Hal yang sama berlaku untuk pembangunan infrastruktur yang lain, misalnya pendidikan. Yang penting adalah “software”, bukan “hardware”. Maksudnya, jangan hanya membangun gedung sekolah, tapi matangkan juga kurikulumnya.

Sekolah, menurut Paulus Wirutomo, haruslah bisa menghasilkan manusia yang mandiri. Semakin tinggi tingkat sekolah seseorang, semakin ia butuh lapangan pekerjaan. Harusnya, ia bisa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.

Ia menjelaskan,”Setelah lulus kuliah, banyak orang kita melanjutkan sekolahnya karena mereka tidak siap bekerja. Sekolah kita cenderung menghasilkan orang-orang yang tidak mampu berpikir kreatif karena yang dijarkan hanya hafalan saja. Harusnya, anak-anak juga dinilai dari kreatifitas dan kemandirian mereka.”

Selain sistem pendidikan, sistem keuangan juga harus mendukung kemandirian seseorang. Kemandirian tidak hanya ditentukan oleh individu, tapi juga ada fasilitas permodalan yang membuat mereka mampu untuk itu. (Ika Karlina Idris)

No comments: