Tuesday, December 26, 2006

Membangun Manusia Indonesia Seutuhnya

Jakarta-Jurnal Nasional

Manusia Indonesia seutuhnya mampu mengembangkan dan memaksimalkan potensi yang ada di dalam dirinya.

Manusia seperti ini sangat fleksibel. Mereka mampu mencari banyak alternatif jawaban dari satu masalah, sehingga bisa memecahkannya. Sayangnya, kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah masih diabakan di sistem pendidikan Indonesia. Banyaknya, murid-murid hanya diajarkan untuk mengfahal pelajaran.

“Bahkan dari soal 2X2=4 bisa kita manipulasikan utnuk mendapat opsi lain. Seorang guru dapat bertanya alternatif soal yang juga menghasilkan 4. Kan bisa 4=1+3 atau 4=6-2,” kata pakar pendidikan Conny Semiawan.

Untuk mengukur apakah pembangunan pendidikan sudah tercapai, menurutnya, dapat dilihat dari kebebasan berpendapat dalam proses belajar. Jawaban yang ada tidak terpaku hanya satu hal. Bahkan, jawaban yang tercantum di buku pun boleh didiskusikan, dikaji, dipertanyatakan, dan diperdebatakan.

Dalam mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan pula evaluasi sistem pendidikan di setiap daerah. Pada dasarnya, dari Sabang sampai Marauke, profil pendidikan di Indonesia memperlihatkan adanya perbedaan. Karena itu, standar pendidikan di setiap daerah pasti berbeda.

“Kita harus menyadarai bahwa nilai 8 untuk pelajaran mate-matika di daerah Kalimantan bisa jadi sama dengan nilai 6 untuk daerah Jakarta. Jangan pakai standar nasional,” urai Conny yang aktif mengajar di Universitas Negeri Jakarta dan Universitas Indonesia.

Sekolah-sekolah yang ada di luar pulau Jawa tentu tidak semapan dengan sekolah yang ada di Jakarta, misalnya. Jika profil pendidikan sudah lebih homogen, barulah ditentukan adanya standar nasional. Sementara itu, tetapkan saja standar lokal.

Setelah itu, setiap daerah harus tahu kekurangannya masing-masing. Lalu diperbaiki dan sediakan juga dana yang mereka butuhkan.

“Yang tidak kalah penting adalah komitmen dalam menggunakan dana tersebut. Ini yang paling susah,” imbuhnya.

Mengenai pembangunan manusia, perempuan yang aktif menulis buku ini juga menekankan adanya prinsip equity dan equality. Equity terkait dengan rasa keadilan. Sedang equality terkait dengan persamaan hak dalam mengenyam pendidikan.

Dengan tegas Conny berkata bawha hal inilah yang tidak disadari oleh pemerintah kita. “Harus ada keadilan dalam memberikan kesempatan pendidikan yang sama bagi setiap anak didik. Tak perduli dia cacat atau dia warga keturunan sekalipun.”

Ia menyontohkan adanya sekolah nasional plus dan sekolah internasional yang hanya menerima “kaum elit”. Sekolah dengan biaya yang sangat tinggi seperti ini, menurutnya, telah mengabaikan equity dan equality.

“Saya tidak melarang jika saja mereka menerima anak-anak tukang sapu, misalnya. Selama mereka mampu mengikuti pelajaran, harusnya sekolah tetap membuka kesempatan mereka untuk bersekolah di sana. Caranya, bisa dengan subsidi silang. ” paparnya.
(Ika Karlina Idris)

No comments: