Thursday, November 16, 2006

Saya menulis tentang perubahan tren migrasi orang-orang Minangkabau. ada 9 tulisan sebenarnya, tapi 5 tulisan yang lain adalah tulisan teman saya dan kolaborasi kami berdua. ada 4 tulisan yang saya buat sendiri.

Coba kamu baca dan kamu interpretasikan sendiri. Syukur-syukur kalau ada manfaatnya.

Selamat Membaca!


Minang yang dilumpuhkan

Jakarta-Jurnal Nasional

Pada masa lalu, orang-orang Minangkabau terkenal sebagai tokoh-tokoh pelopor. Sebut saja Bung Hatta, Sutan Sjahrir, M. Yamin, Tan Malaka, Hamka, Marah Rusli, Chairil Anwar, dan Agus Salim. Kini, orang-orang Minangkabau lebih dikenal karena kemampuan dagangnya daripada intelektual yang mereka miliki.

Bahkan, Gus Dur, tokoh Nahdatul Ulama yang berasal dari luar Minangkabau pernah menanyakan hal tersebut.

“Ke manakah perginya para pemikir dan dan ulama yang dulu memperkaya alam pemikiran dan keagamaan bangsa? Ke manakah perginya pemikiran politik dan kebudayaan yang segar dari daerah yang masyarakatnya menganut adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah?”

Titik awal kemandulan intelektual orang-orang Minangkabau dapat ditelusuri sejak gagalnya pergerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang pada 1958. Jakarta pun segera bertindak. Dengan pesawat, mereka menjatuhkan bom di atas Painan, Padang, dan Bukit Tinggi.

Menurut Audrey Kahin, seorang peneliti yang menulis tentang sejarah pemberontakan Sumatera Barat, peristiwa ini meninggalkan bekas yang mendalam.

“Tahun-tahun sesudah penyerahan pemberontak PRRI merupakan titik nadir untuk Sumatera Barat,” tulis Audrey dalam buku Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998.

Saat itu semua tokoh puncak pemberontak, baik militer ataupun sipil, ditahan. Pada akhir tahun 1961, semua warga Minang dipaksa bermigrasi ke Jawa karena malu disebut pemberontak (force urbanism).

Bahkan, saat datang ke Sumatera Barat di tahun itu, sejarawan Taufik Abdullah menggambarkan kondisi dirinya sebagai seorang perantau yang singgah di negeri orang. Ia yang sempat bangga karena menjabat sebagai asisten dosen dan wakil ketua senat mahasiswa tiba-tiba merasa kecut.

“Apakah orang Minang telah kehilangan sesuatu yang yang selalu mereka banggakan—kepercayaan diri yang tinggi—di kampung halaman sendiri?” tanyanya saat itu.

Tahun 1965 Orde Baru berkuasa di Indonesia dan menanamkan akar-akarnya. Menurut Taufik, Minangkabau tidak hanya menjadi pengikut setia Orde baru, tidak hanya perintah pusat tapi juga wacana yang ada di dalamnya.

“Bagaimana saya harus menahan senyum kalau sekali-sekali sempat mendengar pejabat daerah berbicara dengan gaya ke-Jawa-Jawa-an?” katanya.

Saat Harun Zain, Gubernur Sumatera Barat yang pertama, diangkat, pemulihan psikologis akibat PRRI dilakukan. Minang ingin mendapat citra sebagai “anak bapak yang baik”. Karenanya lahirlah suatu standar bagi keberhasilan pejabat daerah.

Mereka yang berhasil adalah mereka yang dapat menafsirkan apa yang diinginkan pemerintah pusat.

Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, selama itu pula terjadi perubahan pada masyarakat Minang. Pada akhirnya melahirkan masyarakat dan budaya yang feodalistik, patuh pada pusat, dan sikap nrimo. Elit-elit Sumbar mulai meninggalkan medan tarung politik, dan memasuki medan pembangunan ekonomi.

“Akhirnya Minang melahirkan kelas elit formal kekuasaan,” tulis Audrey.

Hal tersebut dapat terlihat dari anugerah Adipura yang berhasil diraih sebanyak dua kali. Atas keberhasilan tersebut, para mantan Gubernur Sumbar pun naik kelas menjadi menteri Soeharto.

Sayangnya, apa yang mereka capai di masa Orde Baru harus dibayar mahal. Menurut Audrey, masyarakat politik Minang kehilangan harta yang paling berharga, yaitu sikap kritis mereka. Ika Karlina Idris

No comments: