Thursday, November 16, 2006

Kalau Tidak Galiah, Bukan Minang

Jakarta-Jurnal Nasional

Orang-orang Minangkabau, di manapun mereka berada, terkenal sebagai pedagang ulung. Cobalah mampir ke sebuah pasar tradisional, pasti Anda akan menjumpai pedagang asal Minang di sana.

Kalaupun tidak mendominasi, jumlah mereka biasanya cukup banyak.
Bahkan, ada anekdot dalam masyarakat bahwa di setiap perempatan jalan ada orang Minang.

Maksudnya, hampir di setiap perempatan jalan dapat kita temui pedagang Minang yang berjualan di kaki lima ataupun membuka usaha rumah makan Padang.

Rupanya, ada satu kepribadian khas yang dimiliki suku ini. Dan itu menjadi kunci sukses mereka di perantauan.

Menurut Atropolog dari Universitas Indonesia Amri Marzali, keplibadian itu adalah galiah, yang berarti gelisah. Meski belum dapat dibuktikan secara ilmiah, namun kepribadian galiah berasal dari makanan yang mereka santap.

“Pola makan orang Minang yang gemar makanan pedas dan bersantan telah membentuk tempramen seperti ini,” katanya.

Makanan bersantan yang terlalu banyak dapat membuat perut seseorang mual. Sedang makanan yang pedas dapat membuat perut seseorang “gelisah” karena kepanasan.

“Ilmu kedokteran telah membuktikan bahwa jika seseorang mengonsumsi terlalu banyak suatu zat, maka akan mempengaruhi tempramennya. Pada akhirnya, santan dan cabe akan membentuk mereka menjadi orang-orang yang gelisah dan enerjetik,” ujar Amri.

Namun, tidak hanya faktor makanan yang membentuk sifat tersebut. Hal lain adalah pertentangan yang ada dalam masyarakatnya sebagai akibat dari sistem matrilineal yang mereka anut. Sistem matrilineal adalah cara menarik keturunan melalui garis perempuan.

Di sistem ini, harta dan gelar politik juga diwariskan pada perempuan.
Amri menyebut pertentangan tersebut dengan istilah “kontroversi minang”.

Kontroversi pertama adalah menyelaraskan sistem matrilineal dengan prinsip perkawinan eksogami kelompok atau kawin dengan orang di luar kelompok.

Seorang laki-laki yang sudah menikah bertanggung jawab atas saudara perempuan dan ibunya. Sementara itu, istrinya menjadi tanggung jawab mamak atau laki-laki dari keluarga istri yang dituakan.

“Jadi, pada siang hari ia harus berada di rumah keluarganya, tapi pada malam hari ia harus berkumpul dengan istri dan anak-anaknya,” jelas Amri yang juga putera asli Minangkabau.
Hal tersebut bisa dilakukan jika jarak antar rumah berdekatan. Akan tetapi, prinsip perkawinan dengan orang di luar kelompok menyulitkan hal tersebut. Karena otomatis jarak antar rumah berjauhan sehingga sulit untuk pulang balik.

Kedua, adanya perebutan kesetiaan dan tanggung jawab seorang laki-laki. Haruskah ia bertanggung jawab atas ibu dan saudara perempuannya? Ataukah kepada istri dan anak-anaknya?

Ketiga, setiap anak di Minangkabau punya dua orang ayah, yaitu ayah biologis dan ayah sosial, yaitu mamak.

“Dengan adanya dua orang ayah, betapa gelisahnya jiwa mereka saat dewasa,” tegas Amri.

Semua pertentangan-pertentangan tersebut membuat orang Minang gelisah untuk mencari bentuk-betuk struktur yang stabil. Hanya para perantau yang berpotensi untuk memperolehnya. Sedang mereka yang ada di kampung, tetap hidup dalam kondisi ketidaknyamanan itu.

Cara menemukan struktur yang stabil pun bermacam-macam. Misalnya dengan memperistri perempuan yang bukan Minang, berhasil sebagai pedagang di perantauan, ataupun menjadi profesor di perguruan tinggi.

“Jika dihadapkan pada suatu permasalahan, orang Minang pasti galiah. Mereka pun menjadi cerdik, licik, dan tidak mudah kena tipu orang. Sifat-sifat seperti ini tentu dibutuhkan untuk sukses dalam berdagang,” urainya. Ika Karlina Idris

No comments: