Wednesday, November 29, 2006

Laporan-laporan yang "Tidak Penting"

Jakarta-Jurnal Nasional

Buku-buku setebal Kamus Besar Bahasa Indonesia memenuhi lemari penyimpanan di sebuah ruangan di Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara (PAN). Saking banyaknya, lemari penyimpanan tak muat lagi. Buku-buku itu pun tertumpuk di lantai.

Buku-buku setebal kamus tersebut sebenarnya adalah laporan pertanggung jawaban dari lembaga-lebaga negara. Istilahnya, laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah atau disingkat Akip.

“Laporan Akip biasanya nggak hanya satu buku lho. Mereka bikin Akip tebal-tebal. Tapi kalau dilihat, banyak detil nggak penting yang ada di situ,” kata Ronald A. Annas, penilai dari Deputi Akuntabilitas, Kementerian PAN.

Yang ia maksud tidak penting adalah ukuran-ukuran yang digunakan Si pembuat laporan. Seorang pejabat, misalnya, bisa saja bilang bahwa ia ingin menyejahterakan rakyat. Setelah masa kepemimpinannya ia lalu berkata bahwa kesejahteraan meningkat 100%.

Menurut lelaki jebolan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) ini, tidak ada indikator yang jelas untuk prosentase tersebut. “Sayangnya, ini sudah kebiasaan dari jaman dulu.”

Apa yang ditampilkan dalam laporan-laporan setebal kamus itu menurut Ronald belum cukup untuk melihat kinerja suatu lembaga. Sebagai contoh, sebuah lembaga menuliskan pemasukan (input) sebesar Rp.860 juta. Sedang pengeluaran (output) sebesar Rp.820 juta. Dan muncullah angka 95% sebagai ukuran keberhasilan dijalankannya program tersebut.

Selain itu, ia juga mengatakan bahwa selama ini kinerja lembaga negara selalu diukur dari penggunaan anggaran belanja. Habis atau tidak. Padahal, belum tentu belanja tersebut menghasilkan manfaat untuk masyarakat.

Misalnya, ada lembaga yang menganggarkan Rp.10 juta untuk membuat 10 buah buku. Jika anggaran tersebut abis dan 10 buku sudah dibuat, maka dinilai bahwa lembaga tersebut berhasil. Padahal, belum tentu buku tersebut dibutuhkan masyarakat, apalagi untuk memberi nilai tambah.

“Mereka berangkat dari tujuannya, yaitu membuat buku. Harusnya, mereka berangkat dari alasan kenapa buku tersebut harus dibuat. Mereka sudah terbiasa melakukan kerja, bukan kinerja,” kata Ronald yang tahun ini sempat ke Singapura, mengikuti pelatihan tentang Manajemen Performa untuk Sektor Publik.

Yang masih menjadi kendala hingga kini adalah kemampuan pejabat pemerintah untuk menentukan nilai ukur. Bisa jadi karena otak mereka tidak mampu, bisa juga karena karekter setiap instansi dan deerah selalu berbeda.

Adanya laporan Akip sebenarnya untuk mengukur apakah suatu lembaga pemerintah berjalan dengan efektif, efisien, dan responsif. Ukuran yang tadinya kualitatif harus bisa dijadikan kuantitatif.

Adapun ukuran kinerja yang digunakan dalam laporan tersebut adalah pemasukan, pengeluaran, outcome, keuntungandan dampak. Sesuai dengan tujuan Kemneterian PAN, yaitu reformasi birokrasi.

Pembuatan laporan ini berdasarkan Instruksi Presiden No.7 tahun 1999. Sebelumnya, tak ada sama sekali laporan seperti ini. Maklumlah, masih pemerintahan Orde Baru.

Di tahun 2002, hanya 40% lembaga negara yang membuatnya. Saat ini, jumlahnya mencapai sekitar 70-80%. Tapi menurut Ronald, “Sebagian besar membuatnya hanya untuk formalitas.” (Ika Karlina Idris)

No comments: