Wednesday, November 29, 2006

Indonesia Krisis Kepemimpinan

Jakarta-Jurnal Nasional

Dengan suara yang tegas dan tatapan yang tajam, lelaki itu berkata,”Negara kita mengalami krisis sistem, lebih-lebih lagi krisis pemimpin.”

Krisis sistem dapat dilihat dengan jelas dalam keseharian kita. Ia mengambil contoh pengerjaan galian jalan. Karena tak ada koordinasi, satu ruas jalan seringkali digali hinga berkali-kali. Suatu waktu penggalian dilakukan untuk memasang kabel listrik. Setelah itu jalan ditutup. Waktu yang lain, digali kembali, kali ini untuk memasang kabel telepon.

”Padahal kan sama-sama saja. Sistem seperti itu cenderung hanya untuk menghabiskan anggaran. Harusnya ada koordinasi di antara para pemimpin lembaga, agar tak terjadi hal ini.” urai lelaki itu

Contoh lainnya, adalah lamanya perizinan untuk membuka usaha di Indonesia. Kalau di Singapura, pembuatan izin usaha hanya tiga minggu. Sedang di negara kita, paling cepat 6 bulan. ”Tidak hanya ribet tapi juga harus melalui banyak meja, mulai dari pengurus RT, RT, kelurahan, Departemen Pariwisata, dan Departemen Lingkungan Hidup.

Karena itulah, masalah kepemimpinan harus dapat perhatian lebih. Kita haruslah melahirkan pemimpin-pemimpin baru, salah satu caranya adalah dengan mengukur kinerja mereka.

Lelaki yang berbicara tentang krisis kepemimpinan tersebut bernama Marsekal Muda Koesnadi Kardi. Saat ini, ia menjabat sebagai Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Pertahanan beberapa kali pula dirinya menghadiri konferensi perencanaan yang diadakan di Hawai, Australia, Filipina, Thailand, dan Singapura.

Untuk mengatasi krisis ini, terlebih lagi agar terwujudnya good government, lembaganya mengadakan kursus kepemimpinan dan menajemen. Ia ingin mengubah anggapan yang ada selama ini bahwa kursus kepemimpinan hanyalah untuk meneruskan kebijakan lama. Makanya kurus tersebut lebih dikenal dengan sebutan ”kursus pengganti”.

Artinya, kursus ini hanya untuk para calon pemimpin yang mempunyai keberanian mengganti kebijakan lama yang sudah tidak relevan lagi ”Hal yang masih diperaktekkan di tempat kita adalah mengartikan loyality sebagai mengikuti keinginan atau selera atasan. Mereka pun tidak berani mengemukakan pendapat yang jujur. Akibatnya, pemikiran-pemikiran yang brilliant sekalipun, asalkan datangnya dari bawah, tidak pernah terakomodasi dengan baik.”

Karenanya, dalam kursus kepemimpinan dan menajemen dimasukkan pula tentang balanced scorecard, yaitu alat untuk mengukur kinerja suatu lembaga.

”Kalau ukurannya kualitatif, ya kita buat kuantitatif. Kalau kinerja bisa diukur, pertanyaan kenapa kantor ini bisa maju dan yang ini tidak, itu bukan dijawab pejabat. Kan tinggal lihat saja ke balanced scorecard.”

Di bagian Diklat Dephan juga dibentuk think tank yang berfungsi mendefinisikan penerapan balanced score card, tentunya yang paling sesuai dengan lembaga tersebut.

Semisal, apakah ukuran keberhasilan bagi seseorang yang dilatihdi Pusat Bahasa Dephan. ”Kita harus tahu dia fasih berbahasa Inggris sejauh apa. Misalnya untuk saat ini, orang tersebut hanya diibaratkan 'hotel bintang tiga' karena bisa bercakap-cakap. Lalu, ukuran 'bintang lima'nya apa? Ya, kalau dia sudah bisa menjadi penerjemah dari orang yang sedang berpidato.”

Sayangnya, belum ada kebijakan lebih lanjut dari Menteri Pertahanan untuk mengaplikasikan alat ukur ini. Malah, menurutnya, harus ada kebijakan dari presiden, agar diterapkan di setiap lembaga negara. (Ika Karlina Idris)

No comments: