Thursday, November 16, 2006

Misi Perantau: Membangun Alam Minangkabau

Jakarta-Jurnal Nasional

Sebagian besar pendapat mengatakan bahwa penyebab utama orang Minang merantau adalah adanya ketidaknyamanan akibat sistem matilineal. Ketidaknyamanan tersebut karena adanya penarikan garis keturunan dan pewarisan harta yang ditarik dari pihak perempuan.

Usman Pelly, Guru Besar Antropologi di Universitas Negeri Medan membantah pernyataan tersebut. Walau mungkin benar pada sebagian orang, namun pada umumnya tujuan dari migrasi Minangkabau adalah untuk memperkaya dan memperkuat Alam Minangkabau.

Seperti apa perwujudan misi tersebut saat ini? Berikut petikan wawancara Jurnal Nasional dengan lelaki yang mengambil gelar doktornya di University of Illinois, USA.

Dalam buku Anda yang berjudul Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangakabu dan Mandailing, tertulis bahwa Orang Minangkabau punya misi untuk memajukan Alam Minangkabau. Masihkah hal tersebut menjadi tujuan mereka merantau?

Meski sudah ada perubahan-perubahan, tapi misi mereka tetap seperti itu. Dulu, para perantau membangun Minang dengan cara tradisional, maksudnya melakukan pembangunan secara fisik.

Sekarang, para perantau membangun kampung dengan membawa pemikiran baru. Hal ini nantinya membuat mereka lebih dihargai di kampung halaman.

Kalau masih membangun fisik, tentunya butuh modal yang besar. Sebagai contoh, membangun potensi dana maninjau tidak lagi dengan membangun hotel-hotel. Bisa saja dengan memberikan rumah untuk dipinjamkan.

“Rumah yang ditinggal penghuninya merantau, bisa dikelola oleh pengurus nagari untuk dijadikan tempat menginap para turis. Mereka senang karena biayanya murah. Orang kampung juga mendapat penghasilan,” urainya.

Hal tersebut juga membangun kampung, meski tidak secara langsung.
Lainnya, para perantau bisa juga mendirikan Bank Perkreditan Rakyat untuk mengumpulkan keuntungan mereka. Nantinya keuntungan tersebut disalurkan lagi sebagai modal usaha penduduk kampung.

Apakah Gerakan Ekonomi dan Kebudayaan Minang (Gebu Minang) termasuk perwujudan misi tersebut?

Tentu saja. Gerakan ini sebenarnya Gerakan orang rantau dalam membangun kampungnya di Sumatera Barat. Pertama kali, diwujudkan dalam pembentukan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) oleh Gerakan Seribu Minang. Dimana setiap perantau mengumpulkan uang seribu untuk pembangunan kampung.

Kemudian, gerakan ini berganti menjadi gerakan Ekonomi dan Kebudayaan Minang (Gebu Minang). Paguyuban itu diharapkan dapat menjadi wadah bagi para perantau yang telah menimba pengalaman di tempat lain untuk menerapkan di daerah asalnya.

Para perantau diminta ikut merencanakan serta terlibat langsung dalam pembangunan di daerahnya.

Dalam hal budaya, mereka punya kegiatan yang disebit Baliak Basamo (pulang bersama). Biasanya dilakukan bagi mereka yang akan merayakan Idul Fitri di kampung.

”Sebagai contoh, orang rantau asal maninjau yang ada di Medan biasanya terlibat kegiatan ini. Ada sekitar 3-4 bus yang mau pulang ke kampung. Biasanya, kami mampir dulu ke Bukit Tinggi untuk beli semen dan bahan-bahan bangunan.

Barang-barang tersebut nantinya kami gunakan untuk meperbaiki masjid atau madrasah yang rusak,” ujar Usman.

Akibat besarnya jumlah urbanisasi dari Minang, Ada keluhan dari para tokoh masyarakat bahwa mereka kekurangan SDM untuk membangun kampung. Hal tersebut rasanya bertentangan dengan tujuan membangun Alam Minangkabau tadi.

Memang benar ada hal seperti itu. Bahkan, pertumbuhan penduduk di Sumatera Barat itu kan selalu minus setiap tahunnya.

Ini karena orang-orang keluar dari kampung. Sebenarnya, hal ini tidak hanya terjadi di Minang, tapi di seluruh perkampungan yang punya tradisi merantau, misalnya saja Tapanuli.

Sebenarnya, mereka yang merantau diharapkan untuk kembali lagi. Tapi, karena berbagai alasan, mungkin karena sudah nyaman di rantau, mereka tak kembali lagi.

Karena itu, pembangunan yang ada di Sumatera Barat haruslah bisa mencipatakan lapangan kerja. Ini agar orang-orang tak lari mencari kerja ke luar.

Selain itu, harus pula dibangun lembaga pendidikan modern yang bertaraf internasional. Ini untuk pemuda-pemuda Minang, agar mereka tak perlu belajar ke Jawa atau luar negeri.

Terakhir, haruslah ada semacam pelatihan bagi para perantau. Tidak hanya bekal keahlian, tapi juga ditanamkan semangat untuk membangun kampung. Ika Karlina Idris

No comments: