Friday, September 15, 2006

Polisi Gadungan dan Fenomena Uniformity


Jakarta-Jurnal Nasional

Modus kejahatan seringkali berulang. Salah satunya adalah kejahatan berkedok polisi. Bahkan, cara ini banyak dimanfaatkan penjahat.

Setiap minggunya, petugas di kantor Humas Kepolisian Daerah Metro Jaya selalu menerima telepon dari masyarakat yang menjadi korban. Sebagian besar telepon dari Direktur sebuah perusahaan atau masyarakat umum.

Ceritanya, mereka menerima pesan singkat yang mengatasnamakan Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi I Ketut Untung Yoga Ana. Di pesan tersebut tertulis bahwa Humas Polda meminta sejumlah uang untuk ditransfer ke sebuah rekenening.

”Karena tidak percaya begitu saja, mereka pun mengecek nomor si pengirim sms ke sini,” ujar Santi, salah satu petugas Humas.

Tentu saja, nomor yang diberikan bukanlah kepunyaan Untung. Sayangnya, tak sedikit dari mereka termakan tipu dan sudah telanjur mengirim uang dalam jumlah yang besar.

Mengenai hal ini, Untung menyayangkan masih mudahnya masyarakat termakan penipuan berkedok polisi. Akan tetapi, ia juga mengaku bahwa untuk mengusut pesan singkat tersebut bukanlah hal yang mudah.

”Melacak sebuah pesan singkat itu kan prosesnya rumit. Harus berhubungan dengan provider segala,” kata Untung.

Selain penipuan semacam itu, modus yang sering ditemui adalah penjahat yang memakai seragam polisi. Mereka biasanya menilang pengendara motor di jalan atau bahkan merampok kendaraan mereka.

Lihatlah kejadian yang menimpa Tom, 30 tahun, warga Perumahan Taman Palem Lestari, Jakarta Barat. Sekitar pertengahan Agustus, ia dicegat lima orang perampok yang mengaku polisi saat melintas di Jalan Tol Bandara. Tepatnya di sekitar Penjaringan, Jakarta Utara.

Baru melaju sekitar 500 meter, sebuah mobil Mitsubishi Kuda menghadang mobil Tom. Seorang pria turun dari mobil bercat merah itu dan menghampiri Tom. Dia mengaku sebagai polisi dan memeriksa surat-surat kendaraan.

Pria itu menuduh Tom terlibat kasus narkoba dan memaksa Tom masuk ke Mitsubishi Kuda. Seorang pria lainnya segera mengambil alih mobil Tom. Kedua mobil itu pun melesat ke Jalan Tol Jakarta-Cikampek.

Mereka memaksanya menyerahkan kartu ATM beserta nomor PIN. Setelah itu, Tom dibuang di pinggir Jalan Tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang. Ia pun ditemukan warga dengan kondisi tangan terikat serta tubuh penuh luka bacokan.

Berkaitan dengan hal tersebut, Kriminolog Erlangga Masdiana mengatakan adanya fenomena uniformity dalam masyarakat kita. Maksudnya, masyarakat seringkali lebih takut kepada seragam atau organisasi yang ada di belakang seseorang ketimbang substansinya.

”Hal ini tidak hanya terjadi pada kejahatan dengan modus polisi gadungan. Sebenarnya, ada banyak fenomena kejahatan yang mengatasnamakan seragam. Tarulah aksi penipuan dengan modus mengaku-ngaku sebagai anggota TNI ataupun pemungut pajak, ujarnya.

Ketua Program Pasca Sarjana Kriminologi Universtias Indonesia ini menyontohkan sebuah kasus sederhana. Yaitu keberadaan pelacur yang mengenakan seragam sekolah. Kenapa mereka berseragam? Karena dengan seragamlah maka seolah-olah mereka masih virgin. Padahal, kerja sehari-hari adalah melacur.

Ia juga menambahkan adanya tiga penyebab terjadinya fenomena uniformity. Pertama, hal ini terjadi karena masyarakat mengira adanya kekuasaan di balik seragam tertentu atau mungkin organisasi yang diwakilinya.

Untung berkata, ”Polisi itu kan memang punya nilai jual. Yang saya bingungkan, kenapa masyarakat takut sama polisi? Padahal, kami sendiri sebagai polisi biasa-biasa saja.”

Kedua, fenomena ini terjadi karena masyarakat kita tidak memiliki informasi yang jelas mengenai suatu prosedur. Di jalan, saat kendaraannya disetop polisi, anggota masyarakat menurut saja. Berhenti. Diperiksa dan baru sadar harta bendanya raib saat polisi sudah pergi.

"Masyarakat itu tahunya kan disetop polisi. Mereka tak pernah menanyakan surat tugas atau tanda pengenal polisi itu. Masyarakat juga tak menanyakan apa kesalahannya sehingga polisi menyetop," kata Erlangga yang menganggap modus polisi gadungan ataupun tentara gadungan sama saja.

Ia juga memberi contoh lain. Misalnya ada penipuan atas nama televisi swata. Modusnya seringkali dengan meminta sejumlah uang untuk ditransfer. Karena tidak tahu prosedur yang jelas, maka masyarakat mudah percaya dan langusng mengirimkan sejumlah uang.

Ketiga, fenomena ini disebabkan karena masyarakat kita adalah masyarakat yang inferior. Dengan kata lain, masyarakat kita memiliki rasa percaya diri yang rendah.

Jika melihat seseorang yang terkenal, powerful, atau mungkin pintar, mereka jadi mudah terpengaruh. Karenanya, mereka menjadi lebih mudah ditipu.

Hal yang sama terjadi jika ada seseorang yang kena tilang polisi di jalan. Karena sudah takut duluan, mereka jadi mengikuti saja, bahkan jika dimintai uang sekalipun.


Erlangga menegaskan bahwa harusnya masyarakat kita lebih memperhatikan aspek hukum dari suatu hal. Kalau tidak sesuai dengan penalaran, segeralah mengambil tindakan.

”Modus polisi gadungan terus-menerus dimanfaatkan penjahat. Selama masyarakat tidak waspada, modus ini akan selalu berulang,” imbuh Erlangga. (Ika Karlina Idris)

No comments: