Friday, September 15, 2006

Karena Tersengat Listrik, Sandi harus Cacat Seumur Hidup

Jakarta-Jurnal Nasional

Seorang bocah lelaki yang duduk di belakang meja tak henti-henti menggesekkan kedua kakinya. Ia menjawab pertanyaan yang diajukan beberapa wartawan dengan suara pelan, hampir tak terdengar. Beberapa kali, jawabannya hanya anggukan atau sekedar gelengan kepala.

Rasanya wajar saja jika Sandi, nama bocah tersebut, bereaksi seperti itu. Ia harus menceritakan kejadian sekitar satu setengah tahun lalu yang merenggut lengan kanannya dan membuat alat kelaminnya tidak berfungsi.

Pada awal November 2004, saat mencari belut dan memburu jangkrik di sawah, Sandi dan kelima orang temannya tiba-tiba dikejar oleh seekor Musang. Mereka pun lari tunggang langgang.

Dalam keadaan panik, bocah bernama lengkap Astria Ari Sandi ini pun memanjati salah satu menara listrik PLN yang ada di sawah.

Saat itu juga ia terkena setrum dan berada di atas menara selama kurang lebih setengah jam. Untunglah datang warga yang segera menolong.

Namun sayang, tegangan listrik sebesar 30 KV menghanguskan lengan kanan dan alat kelaminnya. Belum lagi luka bakar yang membekas di kedua paha dan tangannya. Orang tua bocah yang duduk di kelas VI SD Arcawinangun Purwokerto ini pun harus menjual harta benda mereka untuk biaya pengobatan.

“Karena tidak punya uang, saya menjual kompor dan tabung gasnya, serta perhiasan yang dimiliki istri saya,” kata ayah Sandi, Suharno (42).

Lelaki yang sehari-harinya memulung sampah ini pun sempat beberapa kali mendatangi PLN Unit Pelayanan Transmisi Purwokerto untuk minta pertanggung jawaban. Pihak PLN memang memberikan bantuan, tapi bukan atas nama institusi melainkan atas nama Amil Zakat PLN.

Total bantuan yang mereka berikan sejak kejadian tersebut sejumlah 8,5 juta rupiah. Sedang biaya pengobatan Sandi sebesar 8 juta rupiah.

“Uang itu saya dapat setelah beberapa kali dating ke sana. Itu saja saya seperti mengemis ke mereka. Bulan lalu, saya terakhir datang ke sana. Saya minta bantuan untuk membayar uang ujian 85 ribu rupiah dan uang untuk beli sepatu. Tapi hanya diberi 150 ribu. Padahal, anak saya tidak jelas masa depannya,” kata Suharno.

Lelaki yang sempat menangis sewaktu menyeritakan tentang nasib anaknya ini ingin agar PLN memerhatikan anaknya tidak hanya dari sisi medis, tapi juga kondisi psikologisnya.

Ia ingin ada jaminan masa depan untuk pendidikan anaknya, mengingat kecacatan yang sudah dialami. Ia terutama sangat prihatin atas ketidakberfungsian alat kelamin Sandi.

“Anak saya kan laki-laki. Bagaimana mungkin ia bisa berkeluarga dengan kondisi seperti ini?,” katanya sambil menangis.

Selain itu, ayah dari dua orang anak ini juga berkata bawa perbahan drastis terjadi di dirinya anaknya. Tidak hanya fisik yang semakin kurus, tapi juga perangainya berubah. Dulu, bocah yang hobi bermain bola ini selalu patuh pada orang tua. Tapi, kini ia sering membantah.

“Mungkin ia marah karena kecacatannya. Tapi marah itu dipendam, hanya keluar saat-saat tertentu saja,” ujarnya.

Karena Suharno menilai tidak ada itikad baik dari PLN, ia pun minta bantuan LBH Kesehatan dan Perumahsakitan Purwkerto. Sebenarnya, kasus ini sudah sering diangkat oleh media massa setempat. Tapi, setiap kali ada pemberitaan, pihak PLN selalu memberi uang.

Kata Suharno, “Sebenarnya mereka sudah dua kali menawarkan untuk membuat surat perjanjian, pada 2005 dan bulan yang lalu. Tapi saya tidak mau. Kalau perjanjian seperti itu, saya takut berubah setiap kali pimpinannya ganti. Saya ingin jaminan yang pasti,” paparnya.

Untuk itulah, pada Selasa (06/06) Ia dan Sandi datang bersama pengacara dan tokoh masyarakat setempat ke Komnas Perlindungan Anak di Jakarta. Dengan langkah ini, mereka berharap adanya simpati dari pemerintah dalam hal ini pihak PLN pusat.

Menurut Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, pihaknya akan membantu dialog dengan PLN. BUMN yang direkturnya sedang ditahan karena korupsi tersebut jelas-jelas telah melanggar hukum, tidak hanya karena lalai dalam pemagaran menara listriknya.

Arist juga menilai, ketidakpedulian PLN sudah melanggar pasal 59 dan 60 UU Perlindungan Anak. Akan tetapi, hal yang paling dibutuhkan Sandi adalah terapi psikologis.

“Anak ini harus diberikan keyakinan bahwa meski kondisnya seperti ini, ia masih bisa mencapai cita-cita dan keinginannya,” ujarnya.

Ucapan Arist bukanlah sesuatu yang muluk-muluk. Layaknya seorang bocah usia 11 tahun, Sandi memiliki banyak keinginan. Ia ingin sekolah hingga perguruan tinggi, ia ingin bertemu dengan bintang idolanya Ariel ‘Peterpan’, ia ingin bermain bola sepiawai idolanya Boaz Salossa.

Dengan adanya perhatian dari berbagai pihak, orang tua Sandi berharap cita-cita dan keinginan anaknya dapat tercapai. Paling tidak, rasa percaya diri dan semangatnya kembali seperti dulu. (Ika Karlina Idris)

No comments: