Friday, September 15, 2006

Badu si Anak Jalanan

Orangtuanya tinggal di gerobak. Usia 7 tahun, Badu kabur dan hidup sendiri di jalan. Kini, ia terkena penyakit menular seksual.

Jakarta-Jurnal Nasional

Berkaos hitam dengan gambar bintang ukuran besar di punggung, Badu (16) menghisap rokok kreteknya dalam-dalam. Asap rokok dihembuskannya dengan kuat, seolah membuang segala beban hidup yang ada.

Perawakan Badu sama dengan anak-anak lain yang sering dijumpai mengamen di bus-bus kota ataupun perempatan jalan. Kulitnya hitam terbakar matahari dan rambutnya memerah di beberapa bagian.

Saat saya bertanya lebih jauh tentang dirinya, dengan nada sinis ia berkata,”Memangnya penting ya?.”

Rasanya ucapan anak lelaki bertahi lalat di dahi ini dilontarkan karena ia tidak ingin mengingat kisah hidupnya.

Sekitar 17 tahun yang lalu, orang tuanya datang merantau dari Surabaya ke Jakarta. Seperti kaum urban lainnya, mereka datang untuk mengharapkan mutu hidup yang lebih baik. Apalah daya, mimpi tak kesampaian.

Selama setahun bekerja sebagai pemulung, mereka luntang-lantung di Ibukota dan menjadikan gerobak sampah sebagai rumah mereka. Sewaktu Natal tiba, Badu pun lahir. Tentu bukan di gerobak, dan tak mungkin di rumah sakit. Ia lahir di sebuah gereja atas pertolongan beberapa jemaat.

Beberapa tahun kemudian, ibu Badu kembali melahirkan anak-anaknya. “Saya punya enam adik, tapi sekarang tinggal dua. Semuanya lahir di gerobak,” katanya.

Jangankan pendidikan, rumah tempat berlindung pun tak pernah ia rasakan. Badu kecil sering dipukuli ayahnya, bahkan diikat di pohon. Sewaktu berumur 7 tahun, ia lari dari mereka.

Pada usia dimana anak-anak lain sedang belajar membaca dan menulis di bangku sekolah, dirinya belajar bertahan hidup. Dengan mengamen, mengemis, bahkan mencuri. Apapun asalkan bisa makan.

Sewaktu berumur 13 tahun, penggemar video game ini pun berkenalan dengan Andri. Saat itu mereka mengamen di sekitar daerah Kuningan, Jakarta Selatan. Dari Andrilah Badu dikenalkan dengan Peter W Smith.

“Andri bilang, lo mau duit nggak?,” ujar Badu.

Lalu dirinya pun diberitahu bahwa Peter akan memberikan sejumlah uang, biasanya 50 ribu rupiah, agar Badu mau dijadikan objek pemuasan seksual.

Selama kurang lebih tiga tahun, tepatnya sejak 2003, Badu pun menjadi “langganan” Peter. Seringkali, ia juga mencarikan “anak baru” untuk Peter.

Dalam aksinya, Peter, yang berkewarganegaraan ganda Australia dan Inggris ini, menyuruh korbannya beronani ataupun melakukan oral seks. Disamping itu, lelaki usia akhir 40 ini juga merekam kegiatan tersebut melalui sebuah handycam.

Terbukti dari ditemukannya beberapa kaset video dan keping dvd hasil rekaman pornografi anak. Ada juga beberapa album foto porno yang disita polisi di rumah kontrakannya di jalan Tebet Timur Dalam, jakarta Selatan.

Setelah ditangkap dan diperiksa oleh Satuan Remaja Anak, dan Wanita (Renakta) Kepolisian Daerah Metro Jaya, ternyata sudah sekitar 50 anak yang jadi korban.

“Selain di Indonesia, tersangka juga melakukan perbuatan tersebut di India dan Vietnam,” kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi I Ketut Untung Yoga.

Hal ini pun sudah dilakukannya sejak 6 tahun lalu. Beberapa kali pula dilakukannya di Bali, Lombok, Sumba, dan Padang.

Untung menambahkan,”Dari pengakuan tersangka, jumlah korban yang ada di Indonesia sekitar 50 orang, di Vietnam 5 orang dan di India 7 orang.”

Aksi Peter diketahui berkat laporan dua orang anak dari rumah singgah Jakarta Center for Street Children (JCSC).

Mereka semula akan dijadikan korban baru oleh Peter. Keduanya ditawari kerja dengan upah Rp 50 ribu per hari. Sesampai di sana, mereka disuruh mandi. Kecurigaan muncul sewaktu mereka disuruh masuk ke kamar Peter.

Belum sempat Peter menjalankan aksinya, mereka minta izin ke kamar kecil. Saat itulah keduanya langsung kabur.

”Setelah mereka cerita ke kami, barulah Badu dan enam orang anak lainnya mengaku,” kata Andri Cahyadi, salah seorang dewan pendiri JCSC.

Dua diantara mereka, yaitu Badu dan Budi (16) akhirnya sering mendatangi Peter, yang berprofesi sebagai guru bahasa Inggris di sebuah lembaga bahasa hasil kerja sama Indonesia dan Australia.

”Uangnya saya pakai buat beli rokok sama jajan. 50 ribu itu kan dikit,” cerita Badu.
Setelah diberi pemahaman oleh Andri, barulah ia mengerti. Badu dan pihak kepolisian pun merancang sebuah aksi untuk menangkap peter.

Pada Sabtu (6/8), Badu menelepon Peter dan barkata bahwa ia punya ”anak baru”. Peter berkata bahwa ia ada di rumah dan menyuruh Badu membawa ”anak baru” tersebut.
Petugas pun mendatangi kediaman tersangka dan langsung menahannya. Sayangnya, Andri yang biasanya membantu Peter melarikan diri.

Dalam rangka penyidikan, polisi meminta anak-anak tersebut divisum. Hasil yang mengejutkan didapat. Ternyata Badu menderita penyakit menular seksual (pms).

Ia lalu dirujuk ke bagian kulit dan kelamin Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo (RSCM) untuk pemeriksaan lebih lanjut. Belum ada hasil yang diperoleh tentang penyakitnya tersebut.

Nampaknya, Badu juga tak ingin berbicara lebih lanjut tentang penyakitnya.

”Saya nggak ngerti. Biar saja. Yang penting saya sekarang cari duit saja dan baik-baik sama anak-anak,” ujarnya.

Menurut Andri, karena keterbatasan intelektual, anak-anak jalan tidak mengerti akan nasib mereka. Termasuk juga kekerasan seks yang menimpa mereka. Ada beberapa di antara mereka yang menjadi terlalu liar sehingga tak sungkan-sungkan mencuri, bahkan uang temannya sendiri.

Karenanya, di rumah singgah yang dikelolanya bersama sang istri, Natalie, anak-anak diberikan pendidikan dasar dan juga diajarkan bertanggung jawab.

”Kalau ada yang mencuri, asalkan mau mengaku dan minta maaf pasti kami maafkan. Kalau ada yang bermasalah, biasnya kami ajak ngobrol dan pecahkan bersama. Tentang penyakit Badu, tentu akan kami pikirkan bersama juga,” ujar Andri. (Ika Karlina Idris)

No comments: