Showing posts with label tentang teman. Show all posts
Showing posts with label tentang teman. Show all posts

Tuesday, March 08, 2011

Pencapaian-pencapaian

Mungkin sekitar dua tahun terakhir, saya sudah malas berkumpul (istilah kerennya Hang Out) dengan teman-teman lama. Bukan apa-apa, saya malas karena topik pembicaraan tak jauh dari pencapaian-pencapaian.

Si A pindah ke stasiun TV X
Si B jadi redaktur majalah Y
Si C gajinya sekarang dua digit
Si D beli rumah
Si E beli mobil
Si F liburan ke luar negeri
Si G ikut kursus singkat ke luar negeri

Ujung-ujungnya semu topik pembicaraan hanya seputar pencapaian.

Dulu, saya dan teman-teman yang sama berbicara tentang mimpi, cita-cita, dan cinta. Saat yang satu gagal mecapai mimpinya, yang lain menyemangati. Saat yang lain terpuruk karena cinta, yang satu memberi semangat.

Teringat saya pernah menghabiskan sebuah malam di cafe di bilangan Cikini hanya untuk menunjukkan support ke seorang teman yang sedang patah hati. Pernah berpikir keras mencari 1001 kelebihan diri dari seorang teman yang saat itu gagal dalam wawancara kerja.

Ketika saya bertemu teman-teman yang sama, saya masih ingin berbagi mimpi dan cita-cita saya.

Tapi entah kenapa rasanya tak ada lagi yang peduli.
Setelah bertemu pasangan hidup, punya anak, punya pekerjaan dengan gaji yang lebih besar, punya rumah dan punya mobil.

Tak ada lagi yang mau bicara tentang cita-cita dan mimpi. Seolah-olah dua hal itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang belum punya pencapaian.

Saat berkumpul yang dibicarakan melulu hanya prestasi.

Saya ingin kembali berkumpul sebagai seseorang dengan mimpi dan cita-cita yang banyak.

Saya malas berbicara tentang pencapaian. Well, yah.. bukan karena saya tidak mencapai sesuatu. Tapi karena saya merasa pencapaian itu tidak penting untuk diceritakan.

Lagipula, sepertinya hanya segelintir yang sadar bahwa setiap pencapaian tidak bisa dibandingkan dengan pencapaian yang lain.

Kalau seorang teman kerja di media bergengsi, belum tentu lebih baik dibandingkan saya yang hanya seorang guru.

Kalau dapat gaji dua digit, belum tentu saya yang bergaji satu digit ini lebih jelek kualitasnya.

Kalau seorang teman bisa liburan ke sanasini, belum tentu saya yang tak pernah liburan ini lebih hina.

Yah, kadang-kadang sih masih bersyukur kalau yang ngomong pencapaian itu tidak membadingkan dirinya dengan orang lain. Atau, tidak menggurui agar teman-temannya bisa jadi seperti dirinya.

"Ngerawat anak harus blablabla... kayak gue dong"

"Biar hamil harus wasweswos... kayak gue dulu"


Sudah berkorban waktu dan tenaga untuk ketemu makan malam, eh isinya hanya pencapaian. Pamer kerjaan, pamer anak, pamer harta.

Berasa lebih mulia dari yang lain hanya karena pencapaian hidup.

Teman, kita pernah ditempa dalam kondisi yang sama. Entah sekolah di tempat yang sama, kerja di instansi yang sama, pernah saling berbagi dan mendukung satu sama lain.

Ketika seseorang berhasil mencapai sesuatu, ingatlah bahwa dia pernah mendapat dukungan dari banyak teman-temannya. Termasuk dari saya.

Janganlah pencapaian itu membuat kita lupa akan mimpi, cinta, dan cita-cita yang pernah kita miliki.

*Ah, mungkin saya saja yang sedang iri hati*

Thursday, June 17, 2010

Isn't It Ironic

Suatu waktu di 2003:

Seorang mahasiswi tingkat V jurusan Ilmu Jurnalistik, Unpad, mendapat tugas dari dosennya untuk membuat ficer profil tentang orang terkenal (atau orang yang mungkin terkenal). Seminggu sebelum deadline tugas, Puti, nama mahasiswi itu, belum punya janji wawancara dengan siapapun.

Siang hari sepulang kuliah, Ikot-Puti's guardian angel-mendengar di radio bahwa akan ada peluncuran album perdana sebuah band bernama PETERPAN. Ikot menghubungi Puti dan berkata: datang nanti sore ke BSM, siapa tahu kita bisa wawancara mereka buat tugas lo.

Sore hari, keduanya datang ke peluncuran album tersebut. Menikmati musik, vokalisnya yang ganteng, dan Pizza Hut. Setelah Peterpan selesai manggung, Puti mendekati produsernya dan minta waktu untuk wawancara. Puti akan mewawancarai mereka besok sore di tempat kos anak-anak Peterpan di Tubagus Ismail.

Besoknya Puti datang wawancara. Semua datang, kecuali si vokalis-Ariel. Setelah wawancara, Puti berjanji kalau sudah terbit di koran kampus, dia akan mengirimkan artikel itu ke Peterpan.

Enam hari setelah itu, tulisan Puti jadi. Tidak diterbitkan di media kampus, hanya diserahkan ke dosennya Pak Sahala.

Pada mata kuliah itu, Puti mendapat A. Nilai A satu-satunya dari 5 mata kuliah penulisan yang diampu Pak Sahala.

Pertengahan 2010:

Video mesum vokalis Peterpan-Ariel-dengan kekasihnya Luna Maya (multi talented artist) beredar di internet. Dua hari setelahnya, video mesum Ariel beredar lagi, kali ini dengan Cut Tari (artis juga)

Puti, teman saya tadi, entah bagaimana, memiliki video itu. Dia meneruskan video itu ke beberapa teman yang memintanya.

Air susu dibalas es teh manis. Nilai A dibalas distribusi gratis.

**Saat tulisan ini ditulis, belum ada fakta hukum yang memastikan bahwa orang yang ada di video-video mesum itu adalah Ariel, Luna, dan Cut Tari. Ketiganya membantah bahwa itu adalah mereka.

**Tulisan ini dibuat dengan izin penuh dari Puti.

Tuesday, April 01, 2008

Tidak Tahu Terima Kasih

Pernahkah kamu merasa melakukan banyak hal untuk seseorang dan dia bahkan tak berterima kasih untuk itu?

Saya pernah. Baru saja.

Ceritanya begini, seorang teman meminta saya membuat tulisan tentang dia. Saya sudah coba mengelak, saya bilang kalau media tempat saya bekerja oplahnya belum banyak, sirkulasinya masih kacau, dan sebagainya.

Tapi, mungkin teman saya memang sedang butuh publikasi. Sampai-sampai dia bilang begini, “Tapi udah lama nggak dimuat media nih, Koran SBY juga nggak apa-apa lah.”

Well, sebenarnya saya tidak senang mendengar ucapan dia barusan. Tapi, karena dia teman saya (saya punya kepentingan untuk disukai olehnya), akhirnya saya sanggupi juga. Dengan catatan, “Lihat nanti ya. Saya sedang cuti. Lagipula tulisan tentang kamu itu bukan halaman saya.”

Sayangnya, saya tak sampai hati menunda keinginan teman saya dimuat di “Koran SBY”. Saya pikir, apa salahnya? Dia toh sudah sangat baik pada saya. Dia pernah menelepon saya jam 8 pagi, saat saya belum bangun tidur, hanya untuk memberitahu teori-teori yang bisa saya pakai di thesis saya. See? Perhatian, kan? Bahkan, dia menyalinkan saya contoh thesis yang pernah dia buat.

Oke deh. Saya akan buat tulisan tentang dia.

Dan jadilah saya menempuh Bekasi-Kelapa Dua, Depok. Pagi-pagi sekali dari rumah. Mencari-cari rumahnya, wawancara, lalu menyetir lagi ke kantor. Mencari-cari redaktur halaman yang bersangkutan, memberinya coklat sebagai sogokan agar tulisan itu dimuat, menyetor foto ke redaktur foto, dan membuat tulisan. Setelah itu, mengingatkan redakturnya agar memberi kabar kalau tulisannya sudah dimuat.

Lalu, Senin malam, hampir jam 9, teman saya mengirim pesan singkat.

“Baru kali ini kami dimuat di media dan merasa tidak happy. Sy tdk mengerti, apakah wartawan sekarang bisa mencampur fakta dengan ilusi?”

APAA???? Apa-apaan ini?

Saya pun membelokkan mobil ke kantor, mengambil koran, dan membacanya satu per satu. Kata per kata. Ada satu yang kata yang salah ketik, kata “Lewat” jadi “Mewat”. Sisanya, menurut saya benar-benar saja.

Semalaman saya tak bisa tidur. Teringat teman saya yang sudah sakit hatinya. Astaga, apa yang sudah saya perbuat? Apa yang salah ya?

Esok pagi, saya telp istri teman saya, yang saya wawancarai. Saya tanya salah dimana. Dia pun menutup telpon dan bilang kalau suaranya sedang serak. Nanti di-sms.

Setelah sms-nya datang. Saya pun tahu apa yang telah membuat teman saya marah. Saya mengerti dengan kemarahannya.

Hanya saja, saya merasa mendengar setiap kata tersebut. Sementara, istri teman saya merasa tak mengucapkan hal tersebut. Jadi, salah siapa ya? Bahkan, di notes saya pun tercatat kata-kata yang menurut teman saya salah. Apa iya saya berilusi? Sepertinya tidak. Kemungkinan paling besar adalah saya budek. Bisa jadi saat teman saya bilang A, saya dengarnya B. dan saya pun menuliskan apa yang saya dengar.

Tapi sungguh, saya menuliskan apa yang saya dengar. Tak ada niatan untuk menulis sesuatu yang tidak benar, apalagi mengarang. Hei! Ini kan teman saya! Mana mungkin saya sejahat itu!

Memang sih, wawancaranya tidak saya rekam. Ini bisa jadi pelajaran untuk tidak memilih-milih narasumber mana yang harus direkam. Biasanya, saya selektif. Hanya merekam wawancara keroyokan, wawancara eksklusif, ataupun wawancara orang-orang penting. Perlukah merekam wawancara untuk ficer kisah sukses sebanyak 3000 karakter?

Sampai saat ini, belum satupun sms permintaan maaf saya dibalas oleh teman saya tadi. Bahkan, Saat bertemu di kampus, dia tak mau membahasnya. Seolah-olah, semua sudah berlalu. Padahal, saya tahu kalau kejadian itu akan selalu membekas. Selalu diingatnya.

Saya jadi berpikir, seandainya saya tak salah menulis, bagaimana jadinya? Akankah dia senang dengan perhatian yang saya berikan? Bisa jadi, teman saya berterima kasih. Bisa jadi, dia lebih membantu saya. Bisa jadi, dia lebih perhatian. Bisa jadi…

Wednesday, October 24, 2007

Witty’s Time



Kalau kamu punya sahabat, kamu pasti punya kebiasaan atau hal-hal tertentu yang kamu lakukan hanya dengan sahabatmu itu. Yah, sebut saja ngerumpiin kecengan, makan kue enak, buka-bukaan rahasia tentang pacar, jalan-jalan nggak jelas di mall, atau mungkin.. hanya membahas baju yang lucu di majalah.

Saya punya satu hal yang menyenangkan yang biasa saya lakukan dengan Witty, sahabat saya yang sedang menempuh gelar master di benua terkecil. Sebenarnya, apa yang saya lakukan dengan Witty itu juga pernah saya lakukan dengan sahabat ataupun teman yang lain.

Tapi, rasanya hal itu paling menyenangkan jika saya lakukan dengan Witty. Kenapa? Karena dia tak menghakimi saya dengan apa yang saya lakukan. Dia hanya tersenyum dan pada akhirnya akan memeluk saya.

Saya tak akan memberitahu kamu hal itu apa. Yah, anggap saja semacam warisan pemberontakan jaman SMA yang belum bisa dihilangkan (pasti Puti bisa nebak deh.. hehehe..). Kalau saya beritahu di sini, rasanya akan menuai banyak komentar teman-teman.

Pada dasarnya, kami cuma duduk di dalam mobil atau kamar Witty, menghabiskan cemilan, mendengarkan lagu, curhat (apalagi kalau bukan kegiatan ini?), dan melakukan kebiasaan kami. Saat membuat tulisan ini, saya memutuskan untuk menyebut waktu yang menyenangkan itu dengan Witty’s time.

Sore tadi, saya melakukannya sendirian. Sedikit lagi magrib, saya tiba di kampus. Akan ada ujian tengah semester, tapi saya belum belajar atau membaca bahan-bahannya. Sore tadi udaranya lembab karena habis hujan.

Daripada lekas masuk kelas dan membahasa materi ujian, saya memilih melakukan kebiasaan saya dengan Witty. Witty’s time. Biasanya, hal itu membuat saya lebih tenang. Semua pertanyaan seperti: Bagaimana dengan ini? Kalau begitu? Jangan-jangan, nanti, bisa jadi, tapi.. tiba-tiba menjadi tidak penting.

Witty’s time membuat saya calm down (baca: kalem). Membuat saya tak terlalu khawatir dengan ujian, pekerjaan, dan semua hal-hal menyebalkan yang sedang terjadi.

Sore itu, saya kangen Witty. Meski saluran radio yang saya putar adalah siaran berita, ada sebuah lagu menyelinap di kepala saja.

And there's no cure
And no way to be sure
Why everythings turned inside out
Instilling so much doubt
It makes me so tired
I feel so uninspired
My head is battling with my heart
My logic has been torn apart

(Sway, Big Runga)

Dan tiba-tiba saya bersenandung sendiri. Rasanya seperti orang gila saja. Lalu saya terdiam sampai azan maghrib menyadarkan saya. Ah, sudah waktunya masuk kelas untuk ujian.


**
Wit, belajar yang rajin ya. Cepat-cepatlah lulus dan pulang ke sini. Ada yang kangen tuh…

Tuesday, July 03, 2007




Kalau Kencan, Siapa yang Bayar?

Di mana malumu..
Setiap kali..
Kuajak berkencan, aku yang bayar


Suatu kali, teman saya Odit pernah bilang begini,”Cewek bule suka berkencan dengan cowok Indonesia karena selalu dibayarin. Kalau di luar negeri, kencan itu bayar masing-masing. Nah, karena cowok di kita selalu ngebayarin cewek, makanya mereka anggap cowok Indonesia itu gentleman.”

Tapi, itu kata Odit.

Di suatu malam yang menyenangkan, teman saya bercerita sebaliknya. Panggil saja dia P (perempuan). Si P ini sedang dekat dengan beberapa cowok. Belum ada yang jadi pacar resmi. Semuanya masih tahap menjajaki-dengan-penuh-harap. Hihihi…

Nah, di antara lelaki itu, si P menemukan satu yang paling lumayan. Yang paling bagus di antara yang buruk-buruk. Sebut saja L (lelaki) Tampang? 8 (poin 1-10), kerja di BUMN dengan laba terbesar tahun lalu, rumah gede, dan yang paling penting:
Hubungan mereka setahap di atas PDKT.

Sayangnya, si L selalu minta dibayarin. Atau, paling tidak, dia membiarkan P yang membayar semuanya. Padahal, setiap pergi, L selalu berbelanja untuk dirinya sendiri, entah kemeja atau sepatu, apa saja.

Padahal lagi, setiap kali mereka berkencan selalu L yang ngajak. Kebayang nggak sih??? Udah situ yang ngajak, situ pula yang minta dibayarin.

Dengan beberapa pertimbangan, P mau saja. Alasanya, P tak mau dianggap sebagai cewek matrealistis hanya karena secara keuangan tidak seberuntung L.

“Gue mau nunjukin kalau gue nggak matre. Gue mau diajak susah,” kata P membenarkan tindakannya.

Okelah kalau begitu. Tapi, apa yang dilakukan L ini sungguh tak bisa ditolerir. Saya kasih contoh.

Suatu waktu, mereka habis nonton. P yang bayar. Setelah itu, mereka makan. Tadinya, P tak mau keluarkan uang. Tapi, karena pelayan menyodorkan tagihan dan L hanay diam saja, dengan tak enak hati P pun membayar makan malam mereka.

Besarnya? Rp70 ribu rupiah saja.

Setelah pelayan pergi, si L bilang ini,”Oh, jadi elo yang mau ngebayarin. Pantesan mesen minumnya teh tawar aja.”

What????

HAI, BUNG! KAMU KOK TAK TAHU DIRI SEKALI??

Setelah itu, saya pun jadi berpikir, apa iya omongan Odit itu benar?

Lalu, saya pun mengadakan “survey” singkat. Memang tidak ilmiah. Saya hanya bertanya ke teman-teman perempuan saya. Hasilnya:
1. Mereka jarang membayarkan kencan.
2. Mereka sering membayar masing-masing.
3. Pacar mereka membayarkan lebih sering.

Lalu, apa dong yang bikin L tega membuat P membayar kencan mereka? Apa alasannya sama saat L mengirim pesan singkat berisi:
“P, kangen…”
“Kamu lagi apa?”
“Aku lg inget kamu”

Hmm……
Apapun alasannya, rasanya P harus mempertimbangkan kembali matang-matang hubungan dia dengan L.


**
Saya menghargai kalian yang mau membayarkan kencan kalian.
Saya juga pernah membayari kencan saya, tapi ternyata tak ada di antara mereka yang saya pacari.
Saya tak masalah membayari pacar, tapi tidak selalu. Lebih banyak kalau sudah tanggal tua dan saya ngotot makan enak di restoran mahal. (Kamu tahu kan kebiasaan makan saya. Hehehe…)

Tuesday, June 26, 2007

Si Penyemangat

Kemarin, seorang teman saya bernama Sendok uring-uringan. Soalnya, dia merasa gagal dalam menyemangati teman saya bernama Garpu.

Si Sendok tak habis pikir. Sudah setahun lebih Garpu menganggur. Dari fresh graduate menjadi graduate with no experience.

Rupanya, Garpu tak mau melamar kerja di tempat lain karena mengidamkan posisi di sebuah bank lokal. Enam bulan menjalani tes, sampai hasil akhir keluar. Garpu tak diterima.

Sendok merasa inilah kesempatan dia menyemangati Garpu kembali agar mau menerima saran-sarannya.

“Ini buka, lho! Di sana juga! Buruan masukin lamaran lo,” begitu kata Sendok.

“Tapi, kalau di Jakarta, gue tinggal di mana? Trus kalau sakit gue kambuh gimana?” ujar Garpu berkilah.

“Elo ini. Si Pisau aja yang tajir mamu ngekos di Jakarta. Dia itu ke mana-mana naik bis. Lo harus bisa mandiri dong,” balas Sendok lagi.

Hmm… Kalau saya hitung-hitung, Sendok selalu menjadi penyemangat setia Garpu sejak semester 3. Sekarang, sudah lebih setahun kami meninggalkan bangku kuliah.

Dulu, saya pernah jadi si Penyemangat setia. Saya lakukan itu ke teman saya Sutil. Saya absenkan kalau dia ketiduran sampai lupa kuliah, saya salinkan materi kuliah, saya beritahu tugas-tugas, saya pinjamkan buku untuk membuat tugas, saya ajari membuat tugas, saya ingatkan batas waktu pengumpulan tugas.

Hasilnya? Tetap saja dia tak mengumpulkan tugas! Bahkan, Sutil harus mengulang mata kuliah itu.

Apa ada proses yang saya lewatkan? Rasanya tidak.

Hanya saja, mungkin porsinya terlalu banyak. Dan si Penyemangat pun berubah menjadi si Pengawas.

“Kamu harus ini!”

“Jangan lupa itu!”

“Eits, sudah anu?”

Mungkin, yang Garpu dan Sutil butuhkan hanyalah sedikit kepercayaan bahwa mereka bisa melakukannya sendiri. Kalau tak berhasil? Yah, paling tidak itu menjadi pengalaman mereka sendiri.

Jadi, setelah si Sutil gagal di mata kuliah itu, saya berhenti menjadi si Penyemangat. Alasannya sederhana, saya patah hati. Semua harapan-harapan saya musnah. Rasanya tak perlu lagi saya bersemangat.

Tapi, itu sih dulu. Sekarang saya sudah punya sasaran baru untuk saya semangati. Semoga kali ini porsinya tidak terlalu banyak.


**
ps: Ayo, la! Semangaaaaaaaatttt!!

Friday, June 22, 2007

Debat Kusir

Setelah lama tak bersapa di layanan pesan instan. Tapi, apakah perlu kita membicarakan hal ini? Kenapa saya dan kamu tak saling bercerita tentang kuliah, teman-teman, aktivitas, Bandung, fotografi, atau lingkungan baru kita?

Apa saja, asal bukan ini.

ianalfian: eh PDIP gmn perkembangan nya kot
ikot_ucul: eh, emang knp lo tertarik sama mereka2?
ianalfian: ya harapan gw cuma ada di PDIP.... walau kadang mengecewakan jug
ianalfian: juga*
ianalfian: mau pilih siapa lagi kot?
ianalfian: huahuaha....itu udah pilihan paling mending diantara yg konyol dan ga jelas
ikot_ucul: masa?
ikot_ucul: emang knp?
ianalfian: siapa lagi yg lain kot?
ikot_ucul: pks?
ianalfian: lu kata gw support partai berbau agama?
ianalfian: apa hubungannya politik sama agama?
ianalfian: itu dia salah satu ke-konyolan
ikot_ucul: sebenarnya sih,,, ada hubungannya
ianalfian: kagak lah!
ikot_ucul: cuma, gaya kepemimpinan itu yg nggak bagus
ianalfian: siapa yg ngajarrin tuh kot
ikot_ucul: iya lah nai
ikot_ucul: semua aspek dlm hidup itu kan berhubungan
ianalfian: gimana elu mau jadi pemimpin dari partai agama....kalau negara nya sendiri majemuk
ikot_ucul: kehidupan sosail, politik, ekonomi, semuanya nyambung dengan agama
ianalfian: pola pikir golongan kan beda
ikot_ucul: nah,,,,,,
ianalfian: nah politik kan hubungan erat sama pemerintah
ianalfian: pemerintah cuma berhubungan dengan public policy
ianalfian: kalo public policy lebih berat dipengarruhi oleh kepentingan golongan tertentu
ianalfian: gmn bisa maju?
ianalfian: semua hal emang sebenernya berhubungan....namanya juga hidup
ikot_ucul: oke deh
ikot_ucul: nah,,,,, sebenrnya sih,,
ikot_ucul: untuk partai non-agama
ikot_ucul: golkar juga mendingan
ikot_ucul: knp?
ikot_ucul: karena pendidikan politik di golkar lebih jelas
ikot_ucul: dinadingkan PDIP
ianalfian: tp apa pendidikan politik golkar itu bener?
ikot_ucul: pewarisan politiknya, kaderisasi juga lbih bagus
ikot_ucul: paling tidak, di golkar, demokrasi berjalan
ianalfian: kaderisasi nya emang bener tuh?
ikot_ucul: bener
ikot_ucul: kaderisasinya bener
ikot_ucul: at least, prosesmua
ikot_ucul: prosesnya
ikot_ucul: pdip itu sangat orientasi ke pemimpin
ikot_ucul: siapapun tak bs punya jabatan tanpa restu megawati
ikot_ucul: okelah, golkar emang warisan ORBA
ikot_ucul: tapi, sejauh ini, selama pengalaman gue jd wartawan, yg cuma sebentar,,,, Golkar masih lebih baik dr PDIP
ikot_ucul: pertama, kualitas orang per orang
ikot_ucul: sejauh pengamalan gue, orang golkar itu lebih berisi dr org2 PDIP
ikot_ucul: makanya, gue lebih seneng minta pendapat org golkar drpd org PDIP
ikot_ucul: (tp tentu saja nggak semua, hanya org2 yg gue temui)
ianalfian: emang ga bisa dibantah sih.... mrk emang udah lama dalam kancah politik
ikot_ucul: kedua, kaderisasi golkar lebih terstruktur
ianalfian: makanya sistem nya better
ianalfian: tapi
ianalfian: golkar tuh tempat main kalangan elite
ikot_ucul: makanya, PDIP pecah, krn calon tunggalnya cuma mega
ikot_ucul: PDIP juga
ianalfian: makanya gw ga suka
ikot_ucul: lo pikir uang dr mana PDIP biayain partainya?
ikot_ucul: lo tau, buat hanya daftar jd cagub dki lwt PDIP, brp aung yg dimintai?
ianalfian: buset.... kepentingan kalangan atas kan banyak di golkar, khususnya kalangan atas yang ngaco
ikot_ucul: satu pendaftar 300 juta
ianalfian: emang pdip juga pasti ada pendukung nya lah
ikot_ucul: iya
ianalfian: tapi masalah konyol dan ngaco
ianalfian: golkar udah paling gak bener tuh kalangan elite nya
ianalfian: tukang sikut semua
ikot_ucul: pada dasarnya, semua sama aja
ianalfian: ya gitu lah kurang lebih.... tp yg gw liat, Golkar yg alat utk kalangan2 tersebut berkuasa
ikot_ucul: tp, kl dr sistem, golkarm sebagai partai non agama, lebih bener dr pdip
ianalfian: kalangan2 yg udah berkuasas di masa lampau.... dan masih pengen berkuasa
ikot_ucul: lah??? lo pikir PDIP nggak?
ikot_ucul: sama aja nai
ianalfian: berapa banyak emang/
ianalfian: ?
ianalfian: banyakan mana?
ikot_ucul: apanya? org2nya?
ikot_ucul: yah, itu sih gue nggak tau
ianalfian: orang yg ngaco nya?
ianalfian: ya banyakan di Golkar lah
ianalfian: makanya....ga ada lagi harapan di Golkar
ianalfian: orang2 yg mengelilingi nya tuh udah pegang byk aspek hidup di masyarakat
ikot_ucul: lo tau permadi?
ianalfian: cuma denger nama doank.....kenapa emang dia?
ikot_ucul: nah, dia tuh pernah bilang ama gue
ikot_ucul: secara personal
ikot_ucul: dia bilang: orang2 di PDIP itu bangsat semua, nggak ada yg bener
ikot_ucul: bisa jd dia blg itu krn sakit hati
ikot_ucul: Yang jelas gini, kalau debat ttg parpol, menurut gue itu hanya debat kusir
ianalfian: bilang ke dia.... sesama bangsat jangan mencela Pak
ikot_ucul: parpol itu hanya alat buat ngumpulin duit,,,,
ianalfian: emang betul!
ikot_ucul: dan alat seolah2 negara bs berjalan
ikot_ucul: jd, menurut gue
ikot_ucul: nggak ada gunanya kita debat ttg golkar atau pdip
ianalfian: makanya..... tapi untuk harapan di masa depan
ianalfian: gimana kita mau menaruh harapan ke partai yg semua sistemnya udah jadi, udah jelas2 partai yg dipake orang kalangan elite ngaco....ga bakal berkembang lah kita
ianalfian: nah pdip kan masih tahap pengembangan
ianalfian: itu dia yg masih bisa dibangun
ianalfian: masih ada harapan utk membangun ke arah yg lebih baik
ianalfian: well anyway
ianalfian: gue harus cabut kot ianalfian: bukan kali2 aja ada..... emang ada
ianalfian: sipdah.... smpe ketemu bsk2 ya kot
ianalfian: thanks for your time
ikot_ucul: sama-sama
ianalfian: daggggg


***
Rabu, 20 Juni 2007: PDIP dan Golkar berkoalisi membentuk Aliansi Nasionalis Kebangsaan

Tuesday, April 17, 2007

Bekerja untuk Hidup atau Apa?

Minggu lalu, ada awan hitam yang menyelimuti lantai 4 kantor saya. Lantai 4 itu ruangan yang "dihuni" oleh para awak redaksi. Pasalnya, ada 4 orang di antara kami yang diputus kontrak kerjanya. Tanpa Alasan.

Sebenarnya, status karyawan kontrak memang rentan pemecatan. Yang sudah keryawan tetap saja bisa kena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), apalagi yang kontrak.

Dua di antara empat orang itu adalah redaktur. Satu mantan redaktur saya dan satunya lagi redaktur yang sekompleksperumahan dengan saya.

Rasanya sedih mengetahui pemutusan kontrak itu. Salah satu dari kedua redaktur itu umurnya sudah kepala 4. Dengan kata lain sudah tidak produktif untuk ukuran karyawan. Selain itu, dia punya dua orang anak dan sebuah mobil yang masih harus dibayar cicilannya selama 34 bulan. Poor Him.

Tiba-tiba saya teringat, sekitar setahun lalu saya pernah berdebat dengan seorang pelatih manajemen perusahaan.

Dia bilang, hidup itu untuk bekerja. Saya bilang, bekerja itu untuk hidup.

Menurut kamu apa?

Yang jelas, karena tidak bekerja, redaktur berumur kepala 4 itu kini tak lagi ceria seperti dulu. Mungkin karena harus melepaskan mobil barunya, mungkin juga karena pusing memikirkan uang sekolah kedua anaknya, atau mungkin sibuk menenangkan istrinya yang selalu bertanya, "Mas, kamu kok bisa dipecat?"

Sunday, March 18, 2007

Krisis Percaya Diri

Akhir-akhir ini, ada dua orang dekat saya yang sedang krisis percaya diri. Masing-masing dengan alasan yang berbeda. Akibatnya, saya harus berulang-uang meyakinkan mereka.

“Nggak kok rambut lo bagus dan lo udah nggak gendut”
“Mungkin kamu melebihi kualifikasi mereka. Udah, nanti juga ada kerjaan yang lebih baik”

Jujur saja, kadang saya bosan memotivasi mereka. Sebenarnya sih, saya juga sering tidak percaya diri. Tapi, krisis terhebat sudah saya lewati. Kalau tidak lupa ingat, waktu itu saya berumur 17 tahun.

Untung saja, saya membaca sebuah pengantar dalam buku sup ayam tentang psikologi remaja. Kalimat-kalimat itu juga saya tulis dan saya kirimkan seseorang yang sangat spesial (waktu itu).

Lalu, dibalasnya dengan surat cinta, yang tentu saja tak kalah indahnya. Dia meminta saya untuk mengajarinya menggunakan hidup dan membahagiakan orang lain, dengan cara-cara teristimewa untuk mereka.

Inilah kalimat yang saya baca di pengantar buku sup ayam itu:

Hidup ini bukan tentang mengumpukan nilai. Bukan tentang berapa banyak orang yang meneleponmu dan juga bukan tentang siapa pacarmu, bekas pacarmu atau orang yang belum kamu pacari.

Bukan tentang siapa yang telah kamu cium, olahraga apa yang kamu mainkan, atau gadis mana yang menyukaimu.

Bukan tentang sepatumu atau rambutmu atau warna kulitmu atau tempat tinggalmu atau sekolahmu. Bahkan, juga bukan tentang nlai-nilai ujianmu, uang, baju, atau perguruan tinggi yang menerimamu atau yang tidak menerimamu.

Hidup ini bukan tentang apakah kau memiliki banyak teman, atau apakah kau seorang diri, dan bukan tentang apakah kau diterima atau tidak diterima oleh lingkunganmu. Hidup adalah bukan tentang itu.

Namun, hidup ini adalah tentang siapa yang kau cintai dan yang kau sakiti. Tentang bagaimana perasaanmu tentang dirimu sendiri. Tentang kepercayaan, kebahagiaan, dan welas kasih.

Hidup adalah tentang menghindari rasa cemburu, mengatasi rasa tak peduli, dan membina kepercayaan. Tentang apa yang kau katakan dan yang kau maksudkan. Tentang menghargai orang apa adanya dan bukan karena apa yang dimilikinya.

Dan yang terpenting, hidup ini adalah tentang memilih untuk menggunakan hidupmu untuk menyentuh hidup orang lain dengan cara yang tidak bisa digantikan dengan cara lain. Hidup adalah tentang pilihan-pilihan itu.

Cheers!

Ps: Hai kamu yang di sana, kapan balik ke Jakarta?
Seberapa Jauh Kamu Harus Berusaha?

Semalam, seorang teman saya menelepon sambil menangis sesenggukan. Rupanya, dia habis berantem dengan pacarnya.

Penyebab awalnya sepele, hanya karena si pacar tak mau diajak berfoto di fotobox.

“Aku tanya ke dia, kenapa kamu nggak mau fotobox?,” kata teman saya, masih sambil sesenggukan.

Jawab pacarnya (versi teman saya) “Nggak ah, ntar aja.”

“Aku tegesin lagi, jadi kamu nggak mau?,” lanjut teman saya.

“Nggak,” tegas di pacar.

Setelah itu, teman saya melengos pergi dan jadilah mereka jalan berjauhan sejak dari toko donat ke tempat parkir. Di mobil, keduanya bungkam. Hanya sesekali berbicara, itu pun kepada diri sendiri.

Rupanya, pertengkaran itu baru mulai saat keduanya tiba di rumah masing-masing. Berantem dengan mengirim argumen via pesan singkat, hanya Rp 350 sekali kirim. Bisa diedit kalau kurang sreg.

Hmm... Kayaknya boleh juga. Soalnya kalau cekcok saling berhadap-hadapan, sering ada kalimat yang tidak sempat diedit. Saya yakin kalian semua tahu bahwa sekali pesan itu disampaikan, maka tak ada yang bisa mencegah dampaknya bukan?

Jadi, kembali lagi ke teman saya. Dia bilang kalau dirinyalah yang pertama kali mengirim pesan singkat ke pacarnya.

“Sayang, memangnya kamu punya pesugihan yang bakal ilang kalau potobox ya?”

Dibalas sang pacar,”Kamu kalau kemauannya nggak dipenuhi langsung aja marah. Jangan egois dong.”

(Catat: Untuk kalian-kalian para lelaki di luar sana, tolong, jangan gunakan kata egois pada kekasih kalian. O y, jangan juga gunakan kata “mau menang sendiri”. Kamu mau tahu kenapa?
Begini, pada dasarnya, lelaki itu punya ego yang lebih besar. Sebenarnya tidak buruk. Kadang, pria itu butuh dipuji dan diakui kemampuannya. Dan, perempuan biasanya sukarela memuji pacar mereka sehingga si Ego tetap terjaga. Nah, kalau kalian bilang perempuan itu egois, dalam benak mereka pasti, ”Egois? Bisa-bisanya makhluk dengan ego super besar berkata bahwa kami lebih egois?” atau dengan kata lain “Hah? Lo nggak ngaca apa??”)

Lanjut cerita, teman saya pun kembali membalas sms dengan bunyi, “Aku itu cuma mau potobox! Kamu tinggal masuk ke box, senyam-senyum, udah! Cuma itu! Menurutmu itu egois? Menurutku itu cara kamu nyenengin pacar!”

“Kemarin kan udah. Aku nggak suka difoto,” balas si pacar.

(Hei, lelaki! Sekali kamu melontarkan kata egois pada perempuan, itu sama saja tak ada maaf. Makanya jangan heran kalau teman saya pun kembali membalas sms.)

“Ini bukan tentang suka atau tidak suka, juga bukan tentang pernah atau tidak pernah. Ini tentang seberapa ingin kamu nyenengin pacarmu, yang lagi mabuk kepayang ama kamu,” itu kata teman saya tentang isi sms nya.

Si pacar kembali membalas,”Apa yang aku lakuin selama ini nggak cukup ya? Udah aku bilang kalo aku nggak bisa menuhin semua kemauan kamu.”

Diiringin isakan tangis yang mulai pecah, teman saya kembali bercerita bahwa saat itu dirinya langsung membalas dengan dua sms.

Sms pertama: “Sayang, kamu tahu bedanya aku mau kamu belajar nyetir mobil dengan aku mau kamu fotobox? Yang pertama butuh belajar dan usaha. Yang kedua, NGGAK.”

Sms kedua: “Ngomong-ngomong, makasih untuk banyak hal yang udah kamu lakuin buat aku. Maaf nggak sempet aku hitung berapa banyak.”

Well..Wel..Well..

Analisis saya, sms terakhir teman saya pasti langsung menusuk hati, ego, dan harga diri si pacar.
Di sisi lain, sepertinya teman saya merasa bahwa si pacar tidak berkorban sebanyak yang dia pikirkan.

Yang pasti, saya menenangkan teman saya dengan berbagai kalimat standar yang dimiliki teman perempuan.

“Hah? Pacar lo kok itung-itungan banget? Sudahlah, semua pasti akan baik-baik saja. Lagipula, menurut gue, harusnya dia mau berusaha lebih buat elo, masa sih cuma fotobox doang dia nggak mau? Lo masih sayang ama cowok lo?”

“Iya sih... (Ada nada ketidakyakinan). Tapi, gue juga kan udah ngelakuin banyak. Dan NGGAK pernah gue itung! Kok dia tega sih?” Huaaaaa.... Hiks...Hiks...Hiks...,” kata teman saya (Tentu saja sambil menangis).

Saya pun lalu berkata bahwa si pacar harusnya mau berjuang untuk teman saya. Lagipula itu hanya fotobox! Teman saya kan tidak meminta dia pindah agama, pakai narkoba, atau terjun ke jurang!

Tapi, saya baru teringat kalau si pacar bilang bahwa dia tak suka difoto. Hmm... Jangan-jangan, ketidaknyamanannya sewaktu difoto sama saja dengan disuruh terjun ke jurang. Tapi, apa iya fotobox begitu menakutkan???

Cheers!

PS: Women need to be sure that you guys are fighting for them! Otherwise, she’ll find someone who fight for her. Itulah kenapa ada sayembara membunuh singa hanya untuk mempersunting seorang perempuan!

Jomblo-jomblo di Atas 30 tahun

Saya pernah menjomblo dalam waktu cukup lama. Saya tahu betul bagaimana rasanya kamu menginginkan seorang pacar dan bersedia melakukan apa saja untuknya!

Setiap kesendirian yang saya lalui sangat berharga. Kamu tahu, sinar matahari pagi tak hanya nampak indah kalau kamu punya pacar! Sinar matahari pagi juga tampak lebih indah, dan pastinya membawa harapan, kalau kamu sedang menjomblo.


Meski sering didera kecemasan, tapi ada dua hal yang membuat saya tenang, yaitu:

Ada lelaki yang diam-diam selalu menyayangi saya.
Hei, saya kan belum tua-tua amat! Jalan masih panjang kok, mah...

Nah, bagaimana kalau ternyata jalan sudah tak panjang lagi?

Saya akan bercerita tentang para jomblo yang usianya di atas 30 tahun. Mungkin, bagi beberapa orang sudah masuk usia panik.

Lelaki A, 36 tahun, dosen S3 di Leeds University, paras ganteng, incaran para reporter di kantor saya.
“Ka, sekarang kan udah nggak jaman cari pacar. Cari istri saja”
(Aduh mas! Kenapa bukan aku aja? Hehehe...)

Lelaki B, 32 tahun, jago nyanyi, kurus, paras tidak ganteng dan tidak jelek.
“Ka, aku nih nyari cewek yang diajak serius, kamu mau?”
“Aku kan punya pacar mas,” jawabku.
“Emang kamu udah serius ama pacarmu?”
“Serius,” tegasku.
“Serius pacaran atau serius buat nikah?”
“Hmm... Eh mas, ini komunikator bagus amat. Beli berapa? Aku udah lama nih pengen komunikator tapi nggak kesampean... bla...bla..bla..”
(Masalahnya, saya juga ragu harus menjawab apa)

Lelaki C, 34 tahun, kurus, item, paras jelek, pemikir, pendiam. Kalau ini, tidak tembak langsung. Awalnya, dia mengajak saya mengobrol via YM. Setelah itu, berfalsafah tentang hidup, dan sempat mengirimi puisi.

(Catat: Maaf saja buat kamu yang menganggap puisi itu picisan. Buat saya, puisi itu romantis)

Setelah itu, baru deh dia menjurus-jurus ke pertanyaan “itu”. Untungnya, sebelum benar-benar bertanya, saya keburu punya pacar dan rasanya dia tahu hal tersebut.

Lelaki D, 33 tahun, tinggi, badannya keren, paras... Hmm... Well... yang penting hatinya baik sekali. Saya sudah kenal dia sejak masih berseragam. Jujur saja, saya peduli dengannya dan segala yang terjadi dalam hidupnya. Dulu, dia tempat saya berkeluh kesah.


“Ka, gue rencananya mau dapat kerja di Freeport. Semoga dengan kerjaan ini hidup gue lebih baik. Gimana pun gue mau nabung dan punya rumah,” katanya dulu.
“Pasti dong. Gue harap juga kesempatan itu ada,” kataku.
“Iya nih.. Nah, kalau udah punya rumah, gue juga mau punya istri, biar ada tempat untuk berbagi. Lo mau gak jadi istri gue?”
“Lo serius?”
“Serius, ka!”
“Hah?? Hmm... gampang lah itu. (sambil memukul bahunya alias bahasa tubuh untuk berkata “Hei, kita ini teman kan?”) Lo kerja aja yang bener di sana.”

Jadi ya, saya tidak berniat untuk menunjukkan betapa lakunya saya. (Sumpah! Saya tak pernah merasa seperti itu). Saya hanyalah sasaran paling empuk untuk diajak nikah bagi lelaki-lelaki jomblo di atas 30 tahun!

Kenapa? Entah lah... Apa karena saya terlalu baik dan terlalu peduli ama mereka? Atau mungkin juga karena saya meniupkan angin-angin? Ah, rasanya tidak juga.

Yang jelas, lelaki-lelaki jomblo di atas 30 tahun lebih agresif dibanding perempuan-perempuan dalam kondisi yang sama. Meski sebentar lagi mendapat predikat perawan tua, kalau saya coba “jodohin”, perempuan-perempuan itu masih suka bertanya:

“Orangnya gaul gak?”
“SMA nya dulu di mana?”
“Tinggian mana ama gue?”
“Anaknya seneng diving kyk gue nggak?”
“Gajinya dua digit kyk gue nggak?”

See, ternyata perempuan jomblo lebih selektif daripada lelaki jomblo! Haha!

Cheers and Good Luck!

Tuesday, February 13, 2007

Warning!

Saya punya sahabat sejak SMA, namanya Witty Asrini.
Banyak sekali pacar si Witty ini.
Hmm,,, coba saya ceritakan satu per satu.

Witty pernah naksir berat sama senior kami. Yah, saya rasa naksirberatnya itu wajar saja.
Soalnya, senior saya itu memang “ganteng banget!” dan rambutnya gondrong! Pintar merangkai kata atawa puitis.

Dia pernah memanggil witty dengan kata: Dayang witty. (Artinya? Kamu tanya saja sendiri)
Dengan kata lain, dia punya semua kriteria yang bisa bikin seorang remaja tergila-gila.
Tapi, itu tidak berlangsung lama, hanya sekitar 2 tahun (Hah!)

Setelah itu, Witty berpacaran dengan seorang lelaki bermulut besar. Dan tak ada satupun dari kami—sahabat-sahabatnya—yang suka dengan lelaki bermulut besar ini.
Yah, betapapun brengseknya si lelaki bermulut besar ini, tapi sedikit banyak dia mewarnai kehidupan asmara sahabat saya.

Putus dari si mulut besar, beberapa lelaki sempat masuk keluar.

Lalu, sahabat saya yang cantik itu berpacaran dengan seorang lelaki dengan ego yang sangat besar. SUPER BESAR! Hanya saja dia pandai menutupi egonya itu.

Tapi, tentu sepandai-pandainya dia, kami—sahabat-sahabat witty—bisa menciumnya.
Untung saja, hubungan mereka tak berlanjut.


Sebenarnya, sangat gampang bagi Witty untuk memikat lawan jenis.
Dia cantik, pintar, baik hati, dan tahu betul bagaimana caranya menggoda mereka! Hihihi..

14 Pebruari, yang katanya hari kasih sayang sedjagat, Witty akan meninggalkan kami—sahabat-sahabatnya. Dia akan menempuh sekolah pasca sarjana di Sidney, Australia.
Yang jelas, dia akan menjalani hari-hari baru, bertemu orang-orang baru, dan tentu saja lelaki-lelaki baru.

Saya tak tahu dan belum bisa menebak lelaki seperti apa yang nanti akan jadi kekasihnya. Yang jelas, kalau dia bermulut besar sebesar egonya, kami—sahabat-sahabatnya—pasti bisa tahu dengan cepat.

Jadi, kami bisa mengendus dan memutuskan dengan cepat apakah dia cukup baik atau tidak! Haha!

Ps: Witty, Kami cinta padamu dan hatimu yang besar itu

Wednesday, January 10, 2007

Setiap Orang adalah Pahlawan dari Dirinya Sendiri

Sudah seminggu ini saya dipindah ke desk ekonomi. Utamanya, yang berhubungan dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Di alaman Jurnal BUMN, harus ada pelaporan mendalam tentang BUMN. Minimalnya, tiga tulisan dengan tema yang sama.

Lalu, pada suatu hari, saya disuruh meliput konfrensi pers awal tahun yang diadakan Perum pegadaian. Karena sebelumnya sudah pernah meliput konfrensi pers akhir tahun, saya pikir nanti kondisinya tak jauh berbeda.

Dan ternyata saya benar. Kedua liputan itu serupa. Ada rilis tertulis yang dibagikan ke wartawan dan Direktur Utamanya mau diwawancarai.

Sesudah itu, saya memutuskan untuk kembali ke kantor dan mengetik apa-apa saja yang sudah saya dapat di lapangan. (Sebenarnya sih, di aula ber-AC dengan hidangan Buffet yang melimpah. hehehe)

Pikir saya, ”Hari ini saya bisa pulang lebih sore, lalu bertemu pacar saya, lalu pulang ke rumah, lalu menyempatkan membaca sebelum tidur.”

Tepat saat mobil saya masuk ke halaman kantor, redaktur saya menelepon.

”Halo ika, sudah dapat apa saja?,” kata redaktur saya yang tambun.
”Ini mas, dapat bla...bla..bla...,” jawab saya sambil menyetir dengan satu tangan.
”Bagus. Bikin tulisan panjang ya,” tambah redaktur saya.

Hah?? Tulisan panjang? Memangnya bahan yang saya dapat cukup untuk 3 tulisan dengan karakter minimal 2500???

”Oke mas, nanti kita omongin di atas. Saya udah di parkiran nih,” kata saya sambil mengerem mendadak.

Sampai di atas, saya memutar otak secepat mungkin. Angle-nya apa aja ya? Sayang, redaktur saya keburu datang.

”Ka, gimana?” tanyanya.

Dan kami pun berdiskusi panjang. Hasilnya, angle berita saya tentang: program pinjaman dana tanpa agunan, perubahan status Pegadaian, dan Pendapat pakar (Hehehe... STD!)

Sore itu kawan, adalah sore terberat selama tiga bulan terakhir. Kenapa?
Karena:
1. Bahan yang saya dapatkan kurang untuk tiga tulisan.
2. Saya harus beradaptasi secepat kilat dengan istilah ekonomi.
3. Saya harus mewawancarai pakar yang sangat pintar (dan kritis) sehingga bertanya kembali setiap pertanyaan yang saya ajukan.
(Asal kamu tahu saja, saya paling sebel dengan nara sumber seperti ini. Hihih!)

Sore itu kawan, dengan segenap usaha dan kemampuan analisa yang saya miliki, akhirnya saya pun membuat tiga tulisan panjang tentang pegadaian.

Meski beberapa kali redaktur saya harus mengingatkan deadline.

”Ka, ditunggu lho tulisannya.”
”Ka, udah belum? Kalau bingung, tulis apa adanya saja, nanti saya yang tambah-tambahin.”

Well, tepat pukul 19:17 WIB tulisan saya selesai. Alih-alih, lega, saya malah merasa eneg, mual, kecapaian, dan kelaparan. Ketiga tulisan itu benar-benar menguras energi saya.

Saya pun lalu menelepon pacar saya, kami janjian makan di satu tempat, dan saya makan dengan lahap. Tidak pernah selahap ini, selama sebulan terakhir. Tak ada diet-dietan malam ini. Kalau mau tahu, saya makan sepiring nasi goreng, salad, dan segigit burger pesanan pacar saya.

Keesokan malamnya, saya bercerita tentang apa yang saya alami ke teman saya, Devi. Dan ternyata dia baru saja mengalami hal yang sama.

Devi harus menulis untuk halaman Jurnal Inspirasi. Sebelumnya, tulisan itu diisi oleh wartwan lain. Satunya sejarawan dan satunya lagi penggemar filsafat.

Yang pasti, Devi harus bertempur habis-habisan melawan ketidaktahuannya. Dia membaca banyak artikel dan menyarikan semuanya ke dalam satu tulisan. Dan, tulisan dia terpilih sebagai headline halaman edisi mingguan.

[Yey! We really did it, Dev!]

Malam itu, sehabis menulis begitu banyak, saya makan begitu banyak juga. Saya kekenyangan dan bahagia. Saya tiak tahu apa Devi juga makan banyak setelah itu, yang jelas dia juga merasa senang.

Masing-masing kami memenangkan pertempuran kami. Kami adalah pahlawan untuk diri kami sendiri. Saya yakin, kamu juga pernah menjadi pahlawan untuk diri kamu sendiri.

Cheers!

Ps: Kata teman saya Cindy, bukan happy worker, work harder. Tapi sebaliknya..

Monday, October 16, 2006

Seorang Redaktur Tewas Dibunuh!

Jakarta-Jurnal Nasional

Seorang redaktur harian nasional berinisial DN, umur cukup tua tapi belum menikah, ditemukan tewas, kemarin malam, dalam kondisi yang mengenaskan.

Seluruh tubuhnya penuh luka tusuk dan kedua bola matanya hilang. Polisi menduga, DN dibunuh oleh preman yang ada di daerah lokalisasi Kramat Tunggak, Cilincing, Jakarta Utara.

Mayat DN ditemukan oleh seorang pemulung bernama Asep, 35 tahun, saat sedang membawa anjingnya mencari makan di tong sampah.

”Waktu itu anjing saya nyari makan. Saya kira dia nemu tulang, taunya lagi ngorek-ngorek mayat. Saya serem banget pas ngeliat mayat itu, orang matanya aja hilang,” ujar Asep polos.

Salah seorang penjual nasi goreng yang biasa berjualan di daerah tersebut, Panjul, 23 tahun, mengaku melihat DN sekitar pukul 22.00 WIB. Menurutnya, DN baru saja keluar dari sebuah hotel murahan.

”Gaya jalannya seperti lagi mabok. Trus saya liat ada dua orang laki-laki berpakaian hitam yang mengikuti dia dari belakang,” cerita Panjul.

Menurut Kepala Satuan Kejahatan Jalanan dan Kekerasan Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Ajun Komisaris Besar Polisi M. Fadil, pihaknya sudah memeriksa 5 orang saksi. Dua di antaranya sudah ditetapkan sebagai tersangka.

”Memang DN ini langganan PSK di sana. Waktu itu dia lagi mabok dan mungkin tidak bawa uang banyak. Makanya lalu dihajar sama dua preman,” terang Fadil.

Polisi menduga kuat motifnya adalah masalah keuangan. Salah seorang reporter DN mendukung hal tersebut.

”Yah, memang orangnya banyak yang nyebelin, wajar aja kalau ada yg bunuh. Saya sih senang ada yang mewakili saya. Kalau masalah dia suka nyewa PSK sih, semua orang di kantor sudah tahu,” ujar Ika, 23 tahun, datar dan tak sedikit pun merasa kehilangan.

Hingga saat ini, kelima saksi, termasuk kedua tersangka belum dapat ditemui dan diterima wartawan. Mayat DN hingga saat ini masih berada di RSCM untuk diotopsi. Namun belum ada keluarga yang mau datang mengambil.

”Biarin aja, terserah polisi mau diapain,” ujar Sari, kakak korban. (IKA)

Ps: Saya benci redaktur saya!!!
tapi kan nggak mungkin marah-marah ke dia!
makanya saya berimajinasi saja =P

Sunday, October 15, 2006

Untuk Shinta

Jumat siang, 13 Oktober, saya dapat sms dari teman saya Shinta. kurang lebih begini:
Gulrz, nyokap gue tadi pagi masuk rumah sakit islam. ada pendarahan lagi otaknya. mohon doanya ya!

Setelah membaca sms itu saya kaget. sempat diam sejenak, seperti adegan slow motion di film-film. kalau saya tidak salah hitung, ini sudah kali ketiga mamahnya shinta masuk rumah sakit karena pendarahan di otak alias stroke.

sebenarnya, hari itu saya masih ada dua liputan, pembuat beduk di pramuka dan tekstil impor di tanah abang. tapi, saya juga ingin ke rumah sakit. saya mau bertemu sahabat saya itu. mungkin tidak ada yang bisa yang saya lakukan. toh, kata shinta mamahnya belum sadar.

meski harus bohong ke redaktur dan korlip (hehehe.. maap mas..) akhirnya saya berangkat juga ke rumah sakit islam.

di mobil, saya jadi berpikir hal yang sebenarnya sudah sering saya pikirkan. bagaimana kalau saya berada di posisinya?

kami sama-sama anak sulung dari tiga bersaudara. masih ada dua cecunguk yang harus kami jaga.

tapi shinta, papahnya baru saja kena stroke dam ke mana-mana harus pakai kursi roda. mamahnya, masuk rumah sakit lagi.

saya takut ketemu dia. saya takut menjadi terlalu sedih dan memberikan reaksi yang salah. dan hanya akan membuatnya tambah sedih.

karena pikiran-pikiran itu, saya membelokkan mobil dan mampir ke carefour. cukup lama saya berputar-putar di koridor buah dan roti.

lalu, saya tiba di rak makanan dan minuman instan. ada jus instan, susu instan, mie instan, bihun instan, sup instan, dan nasi instan.

saya pun terpkir,"kenapa sih tidak ada yang isntan-instan untuk perasaan manusia? shinta, seandainya ada obat instan biar kamu tidak sedih, pasti sudah saya belikan."

dan kau tahu apa yang saya beli? saya beli pocari sweat dan ayam panggang. saya harap dua-duanya bisa mengganti energi kamu setelah bersedih.

(ayamnya enak kan? =p)

singkat cerita, saya tiba di rumah sakit dan mendapati sahabat saya itu. seperti biasa, dia pakai kaos pink! (bahkan di saat panik pun kamu masih memakai kaos pink! hihihihi)

sebenarnya dia tidak terlihat sedih, bahkan dia bercerita hal-hal lucu. tentang betapa paniknya dia tadi pagi sampai-sapai lupa memakai BH saat ke rumah sakit.

tapi, saya tahu, itu cuma akal-akalan dia saja. akal-akalan biar dia tidak menangis.

saya pun duduk di sampingnya, di bangku ruang tunggu rumah sakit. saya berkomentar seperlunya saja dan (seperti biasa) hanya merutuki segala hal yang terjadi hari itu.
kamu tahu, itu juga cuma akal-akalan saja. biar saya tidak memelukmu dan menangis.

apa jadinya kalau kita berdua menangis?

Damn! saat ini lebih mebuat saya sedih daripada mendengar ceritamu tentang pacar-pacar yang jahat atau saat kamu gagal tes interview kerjaan.


ps: harusnya, saya bilang agar kamu tegar atau apa. tapi, kadang-kadang kita butuh untuk menangis.

ngomong-ngomong, kamu hebat sekali deh shin!

Thursday, July 13, 2006




KOMUNITAS SAYA

Ada yang bilang, kalau kamu mau tahu seseorang, maka lihatlah bagaimana teman-temannya. Hmm. Saya punya banyak teman. Entah jika dibandingkan kamu, tapi rasanya saya punya cukup banyak. Bahkan, saya sering bingung harus membagi diri saya kalau akhir pekan tiba. Seringnya sih, saya punya dua acara dalam satu malam.

Bukan karena saya “gaul banget” atau apa, tapi karena saya selalu menjaga hubungan saya dengan teman-teman saya. Bahkan, kata pengantar skripsi saya butuh 4 halaman, hanya agar semua teman-teman saya tersebut. Saya sayang sama semua mereka.

1. Cindy, Witty, Dea, Vina

Sahabat-sahabat saya sejak SMU hingga sekarang. Terkadang ada yang kagum dengan persahabatan kami, soalnya jarang sekali ada hubungan yang langgeng seperti persahabatan yang kami miliki.
Angky, Adjie, Marwan, Sna, dan Dito berlalu. Toh kami masih saja tertawa dan menangis bersama. Oh iya, sekarang sudah ada Aviv! Ponakan kami, sekaligus lelaki yang paling kami sayang… (Haha!)




2. Ngarai Bentang
(Pendidikan Dasar Gunung Hutan tahun 1999)
Sekelompok murid-murid SMU 70 ikut pelantikan Organisasi Penjelajah Alam Sisgahana dengan bermacam motivasi. Ada yang karena dipaksa senior, ada yang mau “aman”, ada yang naksir sama ketuanya, ada yang suka jalan-jalan, dan ada yang ikut karena jaketnya warna merah (biar sesuai sama sepatu yang dia pake).

Sandy, Danar, Alfian, Wicak, Rismanda, Adit “dudut”, Eva, Ika, Arti, Arin, Rima, Obo, Dian, Chessy.

Sewaktu PDGH:
Ada yang bivaknya runtuh dan membuat satu kelompok terkubur dedaunan, ada yang jatuh dari pohon waktu praktek tidur kalong, ada yang makannya rakus, ada yang bibirnya kering sampai pecah-pecah, ada yang disuruh pulang sama senior, ada yang kena gampar, ada yang berguling dari ketinggian 50 meter sewaktu rapeling, ada yang tidak hapal lagu pancasila, ada yang baru ketahuan kalau asalnya dari madura, ada yang curhat, ada yang lihat kunang-kunang, ada yang jatuh cinta, ada yang menyanyi “leavin on a jet plane”, dan kami saling menggandeng tangan dan berpelukan sewaktu disebutkan nama ‘Nagarai Bentang’.

Setahun setelah PDGH:
ada yang pindah ke Bandung, ada yang cuma jadi penggembira, ada yang jadi anggota sismak (dibaca: Kamsis, dibaca: Keamanan Siswa, dibaca: tukang berantemnya SMU 70), ada yang kabur lewat genteng karena tidak boleh bertualang, ada yang sampai ke Rinjani, ada yang ke Semeru, ada yang disusul kepala sekolah ke gunung Batu karena ternyata tidak ijin ke orang tua, ada yang cinta lokasi dan jadian, ada yang jadian di belakang papan panjat sisgahana, ada yang diam-diam saling menyintai.

Sampai saat ini, semuanya masih ada. Meski kami berbeda tempat dan aktivitas, alam selalu mengumpulkan semua kami secara alamiah.
3. Geng-70 plus
Entah siapa yang memberikan nama ini. Dulu, sewaktu pertama kali berkuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, teman SMU saya ada beberapa orang. Sehingga itu, terbentuklah kelompok bermain yang didalamnya ada beberapa non-70.

Kety, Nuning, Dina, Mira, Galuh, Tussie, Ika, Isti, Shinta, Anda, Lucky.

4. Geng-Pek..pek...

Sahabat-sahabat saya di masa kuliah.

Kau mau tau persamaan kami? Masing-masing kami punya seseorang yang sangat kami sukai, sekaligus seseorang yang sangat menyukai kami. Anehnya, kami lebih memilih seseorang yang kami sukai, padahal sangat sulit untuk “dimiliki”. Oh iya, masing-masing kami, pernah menjalin hubungan dengan lebih dari satu orang! (kecuali saya lho! Hehehe…) Tapi, rekor masih dipegang Shinta kok! (Pun, saya memberitahumu rekor Shinta, kamu pasti tak akan pecaya. She’s the best player!)


5. Geng-Teman nebeng

Karena rumah saya di Bandung, sedang kampus saya nun jauh di ujung Bandung, makanya saya sering nebeng. Sempat pula dijuluki “ratu nebeng”. Rasanya, jika teman kampus saya mengucapkan kata ‘nebeng’ bisa dipastikan itu merujuk ke saya.

Aul:
Dia bukan hanya teman nebeng. Dia sahabat cowok terbaik yang saya punya. Persahabatan saya dengannya meruntuhkan ketidakpercayaan saya terhadap “pertemanan tulus antara lelaki dan perempuan”

Tussie:
Satu SMU, satu kampus, satu ikatan Beswan Djarum, dan sekarang satu kantor.
[ps: dia sempat dipromosikan untuk masuk ke Geng-Pek..pek.., tapi waktu itu dia masih naïf. Masih terbuai indahnya cinta. Haha! Sekarang sih dia sudah handal, lihai, dan licin. Pokoknya bermain cantik!]