Showing posts with label tentang apa saja. Show all posts
Showing posts with label tentang apa saja. Show all posts

Thursday, May 07, 2009

UN Hancurkan Moral Anak Bangsa

”Guys, jangan lupa besok datang ke rumah Pak Guru.” Begitu tulis status seorang kawan di Facebook. Usut punya usut, ternyata si kawan akan diberi “pengarahan khusus” oleh Pak Guru untuk berbagi jawaban dalam Ujian Nasional (UN). Pegang pensil di tangan kanan, berarti A, di kiri berarti B, pegang alis berarti C, pegang hidung D, dan menggeleng berarti E.

Rupanya, tak cukup hanya ”pengarahan khusus”. Si kawan mengaku kalau ternyata kepala sekolahnya sudah bekerja sama dengan para pengawas, agar soal bisa dibuka sebelum waktunya. Beberapa guru ditugaskan khusus menjawab soal dan mengedarkan jawabannya ke siswa.

Alhasil, si kawan pun melewati hari-hari ujian dengan tenang. Padahal, ia sudah mempersiapkan diri setahun sebelumnya, dengan pelajaran tambahan di sekolah dan bimbingan belajar.

Melihat berita yang ada di media massa, ternyata banyak kepala sekolah yang melakukan kecurangan saat proses UN berlangsung. Di Kabupaten Bengkulu Selatan ada 16 kepala sekolah diperiksa polisi terkait dengan dugaan kebocoran soal UN (Kompas, 23 April 2009). Mereka diduga bersepakat untuk membocorkan soal-soal kepada siswa.

Di satu sisi, perbuatan para kepala sekolah tersebut tentulah mencemari dunia pendidikan kita. Betapa tidak, guru yang harusnya digugu dan ditiru, malah memberi contoh yang buruk bagi muridnya.

Akan tetapi, kepala sekolah juga tak bisa sepenuhnya disalahkan. Departemen Pendidikan Nasional dan Pemerintah Daerah mengultimatum: siswa yang lulus UN harus 100 persen. Jika tidak, kepala sekolah dan pejabat di dinas pendidikan akan dimutasi. Lihatlah ancaman yang dilakukan Walikota Bekasi Mochtar Mohamad (Kompas, 23 April 2009) pada kepala sekolah di wilayahnya.

Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo tahun lalu mengatakan bahwa UN tak semata ujian materi pelajaran, namun juga ujian kejujuran. Angka kelulusan, tegasnya, tak menjadi prioritas. Sayang, para pejabat terkait mengacuhkan ucapan Mendiknas. Bagi 16 kepala sekolah dan juga Walikota Bekasi, kelulusan adalah yang utama.

Sebagai pemegang kebijakan, Mendiknas harusnya bisa mengevaluasi secara menyeluruh pelaksanaan UN yang sudah berlangsung tujuh kali. Sejauh ini, Mendiknas terus meningkatkan standar kelulusan peserta didik ataupun menambah jumlah mata pelajaran. Tak sekalipun Mendiknas merenungkan apakah para siswa, guru, kepala sekolah, dan pejabat terkait siap menghadapi UN.

Ketidaksiapan tersebut juga sudah ditegaskan secara hukum oleh Pengadilan Nengeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan memenangkan gugatan warga negara terhadap UN. Para tergugat, yakni Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) lalai dalam meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana pendidikan, serta informasi, khususnya di daerah pedesaan.

Namun, lagi-lagi pemerintah bersikukuh dengan kebijakannya dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. UN pun tetap berjalan tahun ini dan kecurangan-kecurangan kembali terjadi.

Guru sebagai Penjaga Moral

Dari kasus UN ini terlihat jelas bahwa pemerintah masih mengedepankan hasil tanpa melihat proses. Para guru dan kepala sekolah pun hanya mendidik, tak lagi mengajar. Selama setahun siswa digembleng dengan latihan soal-soal UN. Namun rasa tak percaya terhadap kemampuan siswa (dan juga kemampuan sendiri) akhirnya membuat mereka melakukan segala cara, termasuk memberi bocoran jawaban.

Pendidikan moral yang diberikan pada siswa selama tiga tahunpun sia-sia dalam satu minggu ujian nasional. Bayangkan bagaimana para kepala sekolah yang menjadi penjaga citra pendidikan malah memberi contekan pada siswa-siswanya.

Sejatinya, seorang guru mempunyai tiga tugas pokok: tugas profesional, tugas kemasyarakatan, dan tugas manusiawi. Tugas pertama berkaitan dengar logika dan estetika, tugas kedua dan ketiga berkaitan dengan etika.

Tugas profesional seorang guru adalah menyampaikan ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai lain yang belum diketahui anak. Tugas kemasyarakatan adalah mengemban dan melaksanakan UUD 1945 dan GBHN. Sedang tugas manusiawi adalah membantu anak didik agar dapat memenuhi tugas-tugas utama dan manusia kelak dengan sebaik-baiknya.

Salah satu tugas manusiawi guru adalah mengajarkan budi pekerti. Artinya, guru harus bisa memanusiakan manusia, menumbuhkembangkan nilai-nilai kemanusiaan, dan membangun budi pekerti.

Dijadikannya hasil UN sebagai satu-satunya patokan kelulusan siswa telah membuat para guru dan kepala sekolah melupakan tugas manusiawinya. Guru dan kepala sekolah di satu sisi menjadi penjaga moral, tapi di sisi lain juga turut menghancurkannya.

Memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun ini, ada baiknya kita merenungkan kembali salah satu ajaran Ki Hajar Dewantara: tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).

Sebagai penjaga moral anak bangsa, guru dan kepala sekolah harus harus mampu berdiri di depan memberi teladan kepada murid-murid, di tengah untuk menyemangati, dan berdiri di belakang membuka peluang siswa untuk berkarya.

Kartini, Plato, dan Dunia Penelitian Kita

Buku Habis Gelap, Terbitlah Terang berisi kumpulan surat R.A.Kartini yang menunjukkan keinginannya untuk bebas menuntut ilmu dan belajar. Cita-cita Kartini bisa jadi sudah terwujud jika kita membandingkan kondisi pendidikan di eranya dan era kini. Namun cukupkah hanya sekedar menjadi terang?

Keinginan menuju terangnya Kartini sebenarnya bisa dijelaskan lebih jauh dengan Mitos Gua Plato (The Allegory of the Cave). Dalam alegori tersebut, Plato menggambarkan adanya sekelompok orang yang selama hidupnya tinggal di dalam gua. Mereka hanya makan tumbuhan dan serangga yang ada di gua. Dan mereka selalu takut jika melihat bayangan hewan yang melintas di depan gua.

Suatu hari, para manusia gua kehabisan makanan. Salah seorang dari merekapun memutuskan untuk keluar gua. Manusia gua yang lain mengganggapnya gila dan membiarkannya pergi sendiri.

Benar saja, saat tiba di luar gua, ia pingsan dan terpana melihat hal-hal baru yang selama ini tak pernah ditemuinya. Bahkan, ia terpukau dengan betapa terangnya sinar matahari. Setelah bisa beradaptasi, ia pun kembali ke gua untuk meyakinkan teman temannya betapa dunia di luar gua sangatlah luas.

Menurut Plato, kita semua ini seperti manusia gua, yang mengira bahwa dunia yang kita lihat tersebut sebagai realitas, padahal dunia ini tak lain dari pada bayang-bayang dan bukan realitas yang sesungguhnya.

Kartini, tentulah sudah lebih dulu tahu bahwa ada dunia yang sangat luas dibanding dunianya dulu. Maka itu, ia ingin para perempuan mengecap pendidikan yang ditabukan (sama seperti manusia gua mengganggap tabu untuk melangkah ke luar gua).

Saat ini, baik perempuan maupun laki-laki sudah bisa mengecap dunia pendidikan. Dibandingkan era Kartini, tentu saja kuantitas dan kualitas pendidikan kini lebih baik.

Namun, yang perlu diperhatikan adalah setelah keluar dari gua dan mendapat pencerahan, harusnya kita tak boleh berpuas hati. Kita harus menyadari bahwa dunia di luar gua sebenarnya menjadi gua yang baru. Untuk itu, kita harus terus melakukan perubahan dengan eksplorasi dan penelitian.

Sayangnya, dunia pendidikan kita sangat minim dengan penelitian. Padahal dunia pendidikanlah yang bertugas untuk mencerahkan manusia, dengan menemukan pintu gua yang lain dan mengantar kita beranjak keluar dari gua yang baru.

Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departmen Pendidikan Nasional Fasli Jalal produktivitas penelitian di Indonesia masih rendah (Kompas, 15 April 2009). Hal itu terlihat dari rendahnya kemampuan ilmuwan untuk menyumbang penelitian ke jurnal ilmiah. Hanya ada 0,8 artikel per 1 juta penduduk, bandingkan dengan India yang artikel ilmiahnya mencapai 12 artikel per satu juta penduduk.

Jumlah penelitian juga sangat tak imbang dengan jumlah peneliti kita. Ada 7.900 peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan lembaga penelitian di departemen.

Di perguruan tinggi, baru sekitar 12.000 dari 155.000 dosen yang terdata melakukan penelitian (Kompas, 10 Desember 2008). Padahal, meneliti menjadi bagian dari Tri Dharma perguruan tinggi, selain mengajar dan mengabdi pada masyarakat.

Jika dunia penelitian kita saja miskin karya, bagaimana caranya kita membawa bangsa ini untuk menemukan dunia yang baru?

Dalam Mitos Gua Plato, harusnya para manusia gua sudah bisa keluar jauh-jauh hari sebelum makanan mereka habis. Tak beda jauh dengan dunia penelitian kita. Harusnya, para peneliti di perguruan tinggi bisa memberi pembaruan, sebelum ilmu pengetahuan menjadi usang.

Peringatan hari Kartini pada 21 April harusnya bisa menggungah para peneliti dan dosen untuk meningkatkan produktivitasnya. Hanya penelitianlah yang mampu membawa manusia menemukan pintu gua yang baru, membawa manusia keluar dari pintu gua, untuk melihat terang-benderangnya dunia.

Monday, January 01, 2007

Lie, Lier, and Statistic

*Katanya, ada tiga orang yang pertama kali masuk neraka. Mereka adalah pelacur, homoseksual, dan wartawan.

Ada tiga macam kebohongan. Pertama, lie atawa bohong itu sendiri. Kedua, lier atau pembohong. Dan ketiga adalah statistik atau kebohongan dalam memanipulasi angka-angka penelitian, dengan kata lain menampilkan hasil penelitian yang tidak ilmiah.

Saya melakukan kebohongan jenis ketiga hari ini. Hanya saja, saya tidak sendiri. Media massa yang lain ramai-ramai berbohong. Atau mungkin, kalau mereka bodoh, mereka dibohongi, lalu mereka ikut menyebarkan kebohongan.

Ceritanya begini, sebuah lembaga survei bernama Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengeluarkan hasil survei mereka tentang kinerja SBY-JK. Dalam rilis yang mereka sampaikan ke wartawan, dikatakan bahwa 65 persen responden mereka puas terhadap kinerja SBY-JK.

Kepuasan kinerja itu diukur dari tiga faktor, yaitu kondisi politik, keamanan nasional, dan penegakan hukum. Anehnya, responden mereka—yang berjumlah 1.227 orang di 33 provinsi—memberi nilai B untuk kemanan nasional dan C untuk dua faktor lainnya.

Pikir saya,”Kenapa masyarakat bisa berkata puas kalau nilai yang mereka berikan adalah C?”

Karena “*ditugaskan” untuk menulis tentang hasil riset itu, saya pun menelepon penelitinya dan bertanya tentang keanehan tersebut.

Anis Baswedan, nama peneliti itu, berkata bahwa kekuatan politik utama SBY adalah popularitasnya. Publik senang dengan figur SBY. Jadi, kalau ditanya tentang kondisi secara keseluruhan, mereka akan bilang bagus.

“Tapi, kalau diturunkan jadi detil mereka ternyata tidak puas. Sebagai contoh, kalau ditanya tentang kondisi ekonomi sekarang, mereka akan bilang terjadi perbaikan dan mereka optimis perbaikan ini terus terjadi.

TAPI, waktu ditanya kemampuan mencukupi kebutuhan pokok dan energi, seperti minyak tanah, mereka semua berkata bahwa beban mereka bertambah. Sembako makin mahal, minyak tanah semakin jarang. Maka itu, ada nilai C,” kata Anis.

Setelah mewawancarai Anis, lewat telepon, saya pun kembali ke meja saya. Untuk berpikir tentang angle yang akan saya gunakan di tulisan saya nantinya.

Sambil membaca rilis dari LSI, iseng-iseng saya melihat ke penjelasan tentang penelitian tersebut. Dan...Gotcha! Di situlah saya menemukan kejanganggalan-kejanggalan.

[Thanks to my lecturers. Meski sering megantuk dan bosan, sehingga kurang menangkap kuliah anda-anda, tapi sedikit-banyak adalah Metodologi Penelitian Komunikasi Terapan yang menempel di sisa-sisa otak saya.]

Kejanggalan pertama, sample yang LSI ambil ternyata tidak representatif. Dalam hal ini, berkaitan dengan tingkat pendidikan responden. Dari 1.227 responden, hanya 7,2 persen yang pendidikannya perguruan tinggi dan di atasnya. Sedangkan 52 persen responden hanya lulusan SD atau di bawahnya.

Ya ampyun! Pantas saja mereka menjawab puas. Tingkat pendidikan yang mereka tempuh tidak bisa dijadikan bekal untuk menilai kinerja seorang presiden. Dengan kata lain, lulus SD geetoo loh! Bisa baca-tulis aja udah untung!

Kejanggalan kedua, adalah pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan responden. Misalnya seperti ini:

Kemampuan SBY dalam menjaga keaman nasional anda nilai baik atau sangat baik?

Penegakan hukum yang dilakukan SBY selama ini anda nilai baik atau sangat baik?

Eits! Tunggu sebentar Tuan peneliti! Jadi pilihannya cuma baik atau sangat baik? Bagaimana dengan sangat tidak baik dan tidak baik?

Kejanggalan ketiga, masih seputar pertanyaan-pertanyaan itu. Ditanyakan tentang kemampuan SBY menjaga keamanan nasional, tapi Ke-A-Ma-Nan Na-Sio-Nal yang mana ya? Di Aceh? Poso?

Lalu, Pe-Ne-Ga-Kan Hu-Kum yang mana ya? Menjerujikan koruptor atau pencuri jemuran?

Dan, hei! Apakah lulusan SD itu mendapat cukup informasi tentang kondisi keamanan dan penegakan hukum di tanah air?

Jadi, kesimpulannya, dengan sangat mudah dan tanpa pikir-pikir saya menyatakan bahwa hasil survei itu mengandung banyak kesalahan. Alias, tidak ilmiah.

Dengan bersemangat, saya katakan hal itu ke redaktur pelaksana saya. [Oh iya, kalau-kalau kamu tidak tahu, redaktur pelaksana itu jabatannya ada di atas redaktur, tapi masih di bawah pemimpin redaksi. Setiap media massa punya struktur yang berbeda satu dan lainnya]

Dia bilang begini,”Wah bagus itu. Tapi Ika, itu untuk bahan diskusi di kampus saja. Untuk tulisan kamu, coba bikin dengan angle koran kita saja. Tentang metodologi survei ini, bisa jadi bahan diskusi kita di lain waktu.”

Hmm... Saya juga sebenarnya tidak berharap banyak.

Lalu, saya kembali ke meja saya dan mengetik 3000 karakter. Tapi, meski harus dipoles habis-habisan, kejanggalan penelitian itu tetap saya masukkan. Selain itu, saya juga masukkan pernyataan responden bahwa beban mereka bertambah, terutama untuk memenuhi kebutuhan pokok dan energi.

Yah... Memang sih, sesuai dengan struktur penulisan berita—piramida terbalik—ketidakilmiahan penelitian itu saya taruh di bawah. Dengan kata lain, dapat dipotong kalau jumlah karakternya kelebihan. Hmm... sebenarnya sih bisa dipotong dengan alasan apapun, misalnya tidak sesuai dengan kebijakan media. Hehehe...

Yah... Paling tidak kan saya sudah mencoba. Hehehe...

Cheers!

Ps: Saya janji besok-besok akan lebih menyimak kuliah dosen, sebosan apapun materi yang dia berikan. Yakini saja bahwa akan ada gunanya suatu saat.

*
Kalau tidak lupa ingat, saya membaca tulisan itu tembok kamar kos Dimas, mantan ketua himpunan mahasiswa Jurnalistik Unpad.

[Sebenarnya sih, ini bukan hasil liputan saya. Kebetulan saja tempat dipublikasikannya hasil penelitian ini berada satu gedung dengan tempat liputan saya, Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta. Waktu itu, saya kebetulan lewat dan lihat ada ramai-ramai, ternyata acaranya sudah selesai. Jadi, saya cuma mengambil rilisnya dan pulang. Sampai di kantor, ternyata beberapa orang redaktur membicarakan hasil penelitian itu yang mereka lihat di Detik.com. Saya bilang ke mereka kalau saya dapat rilisnya. Dan jadilah saya yang “ditugaskan” menulis beritanya]

Thursday, December 21, 2006

Alkisah, ada seorang perempuan yang mengajak pacar barunya datang ke rumah. Di rumah sang pacar, si lelaki melihat ada foto keluarga. Ada foto Ayah, Ibu, sang pacar, dan kakak lelaki sang pacar.

Lalu bertanyalah si lelaki, "Neng, itu kakakmu?"
"Iya," jawab si perempuan.
"Sekarang ada di mana?" tanya si lelaki lagi.
"Meninggal, kegencet orang waktu nonton konser Ungu," jawab si perempuan dengan sedih.
"Ooooh....," komentar si lelaki.

Dalam hati si lelaki berkata,"Ya ampun, cupu banget sih kakaknya cewek gue. masa meninggal karena nonton konser, Ungu lagi!"

Setelah itu, mereka berangkat untuk menghabiskan malam, menonton Radja di Alun-alun kota.

Ditulis untuk mereka yang meregang nyawa untuk "sekelompok anak muda yang pandai bermain alat musik"

Monday, November 20, 2006

Harga untuk Bush!

Seorang teman saya akan meliput kedatangan presiden AS, George W Bush, ke Indonesia. Dan inilah harga yang harus dia bayar:

1. Kemeja batik lengan pendek (Rp.166.000)
2. Kemeja lengan panjang diskonan (Rp. 107.500)

Kantor teman saya tidak memberi informasi yang cukup untuk wartawannya. Jadi, seperti liputan kepresidenan yang sudah-sudah, wartawan laki-laki biasanya WAJIB memakai kemeja lengan panjang atau batik (lengan pendek atau panjang tidak masalah).

Awalnya saya menyarankan dia beli kemeja lengan panjang saja, tapi dia lebih memilih batik.

Ternyata, setelah bertanya ke wartawan presiden yang ada di kantor saya, untuk meliput Bush, khususnya wartawan yang diperbolehkan masuk ke ring I, harus memakai kemeja atau batik lengan panjang.

[Saya juga tidak tahu berapa jarak yang dimaksud untuk Ring I ini. Pastinya, tidak cukup dekat untuk mengetahui apakah Bush ubanan atau tidak! Haha!]

Jadi, mau tidak mau, teman saya harus membeli lagi kemeja lengan panjang. Total pengeluaran sejauh ini: Rp. 273.500!

Sehabis beli baju, dia juga harus menraktir saya:
1. Mie ayam (Rp.10.500)
2. Aqua botol (Rp.2000)
3. Bayar Parkir (Rp.2000)

Total pengeluaran sejauh ini: Rp. 288.000!

Dia juga masih harus meminjam dasi dan tape recorder. Untuk yang terakhir, sebenarnya dia punya, tapi rusak.

Untuk kedua barang tadi, dia harus membayar:
1. Ongkos bensin dari rumah dia ke rumah saya (Rp.5.000)
2. Traktir saya makan malam (Rp.13.500)
3. Traktir saya Martabak manis (Rp.18.000)

Total pengeluaran sejauh ini: Rp.324.500!

Belum lagi, dia harus bangun pagi-pagi, keliling di sekitar Bandara Halim Perdana Kusuma untuk melaporkan keadaan di sekitar situ.

Saat saya meneleponnya, dia bilang tadi baru saja makan siang di KFC, mungkin sekitar RP.20.000. Total pengeluaran sejauh inu: Rp.344.500!

Dan sampai pukul 13.32 WIB, yang ditunggu-tunggu belum juga nampak! Bahkan bayangan AF-1 juga belum kelihatan.

Bayangkan! Seorang teman saya saja bisa keluar uang RP.344.500 yang juga setara dengan 68 kilo gram cabai merah keriting atau 137 kilo gram bawang merah atau 689 cup air mineral! Atau... 14 kali makan siang di restoran Padang Sederhana!

Ck..ck..ck... kalau seorang wartawan saja bisa menghabiskan uang sebanyak itu untuk Bush, apalagi Pemerintah Daerah Bogor! Apalagi Indonesia!

Selamat datang Mr. Bush! Di Indonesia, Tamu memang Raja! Haha!


Ps: Sayang, kamu ganteng sekali dengan kemeja baru dan dasi marun itu! Fiwiiiiit....fiwiiiiit!

Thursday, November 16, 2006

SALAH SAMBUNG

Kriiiing.... kriiiing....

Penelepon: Halo, selamat sore.

Penerima telepon: Iya, selamat sore. cari siapa?

Penelepon: Apa ini idealisme? halo apa kabar?

Penerima telepon: Bukan. Idealisme sudah pindah rumah. Sudah lama Sekali.

Penelepon: Apa ada nomor atau alamat yang bisa saya hubungi?

Penerima telepon: Tidak. Tidak ada. Tidak ada yang tahu dia pindah ke mana. Mungkin juga sudah mati.

Penelepon: Kasihan sekali. Kenapa Sampai begitu?

Penerima telepon: Tidak tahu. batang hidungnya pun saya tidak tahu. Saya juga baru enam bulan tinggal di sini. Memang sering ada yang menelepon dan mencari idealisme.

Penelepon: Masa sih kamu tidak tahu sama sekali tentang dia?

Penerima telepon: Kan sudah saya bilang kalau saya tidak tahu.

Penelepon: Apa dia tidak pernah datang? Mengecek surat-surat yang dikirim buat dia?

Penerima Telepon: Tidak tahu.

Penelepon: Masa sih kamu tidak tahu?

Penerima Telepon: kan sudah saya bilang tidak tahu!

Tuuut... tuuuuut....

Telepon ditutup. Percakapan selesai. Tapi si penerima telepon yakin besok masih akan ada penelepon salah sambung, yang mencari idealisme.

"Heran! Populer sekali si idealisme itu!," ujar penerima telepon dalam hati.

Tuesday, October 31, 2006

Upacara Kehidupan

Kau tahu apa itu upacara kehidupan? Segala hal yang kamu jalani selama hidup, yang juga dijalani orang lain. Sebenarnya sih, ada upacara yang tidak harus kamu jalani.

Tapi, kalau tidak kamu jalani, kamu akan dianggap aneh, atau terkena sanksi sosial lainnya (digosipin, dirumpiin, dicela, atau dironrong).

Gampang saja kalau mau tahu upacara kehidupan itu apa. Sesekali, coba dengarkan topik pembicaraan ibumu saat sedang arisan dengan teman-temannya.

Atau kalau belum tahu juga, coba ingat lagi hal-hal apa saja yang selalu ditanyakan sama om, tante, sepupu, ipar, kakek, nenek, tetangga, atau bahkan teman yang basa-basi saat reuni.

”Eh, bu, bu, anaknya kuliah di mana? Unpad? Kalau anak saya mah di ITB. Anaknya jeng Anu kuliah di UI lho, program khusus lagi!,” kata seorang teman ibu saya.

”Bagaimana skripsinya? Kapan lulus?,” tanya Om saya sekitar setahun lampau.

”Mana dong pacarnya? Kapan dikenalin ke tante?” kata tante saya di salah satu arian keluarga.

”Oh sekarang kerja di situ? Perusahaan apa itu? Punya siapa? Gajinya berapa?” kata seorang teman yang mengajak berbasa-basi.

”Gila! Kerjaan lo di sana enak banget! Gajinya gede lagi!” komentar salah seorang teman akrab saya.

”Alhamdulillah, teteh sudah menikah. Kamu kapan nyusul?” ujar seorang teman.

”Ya ampun! Kok kawin nggak bilang-bilang? Kapan nih punya anak?” kata-kata yang pastinya sering kamu dengar atau bahkan kamu tanyakan.

Jadi, sejauh ini, upacara kehidupan itu menurut saya adalah sekolah, lulus sekolah, bekerja, bekerja di tempat yang bagus dengan gaji paling tidak 5 kali UMR buruh di Jakarta, menikah, lalu punya anak.

Kemarin, seorang teman saya bercerita. Saat lebaran dia sampai kesal karena terus dironrong pertanyaan yang sama., yaitu kapan menikah.

Padahal, teman saya umurnya baru 22 tahun! Well, memang sih, kalau di kampung umur segitu biasanya sudah punya anak dua.. Tapi, come on! She’s not that old!

Anehnya, ada beberapa pengeculian untuk perempuan. Kamu boleh tidak lulus kuliah ataupun tidak punya pekerjaan, asalkan ada seseorang yang mau mengawinimu, memberimu uang, dan memberimu anak! Haha!

Hmm.. kalau upacara di sekolah, biasanya saya suka membolos, bersembunyi di sekretariat sisgahana atau makan di kantin. Bahkan kalau perlu, ngumpet di WC! Memang sih, kalau sedang apes, biasanya suka ketahuan guru.

Kadang, saya ikut upacara tapi tak mengikutinya dengan khidmat. Biasanya saya sibuk bergosip dengan teman-teman. Atau, kalaupun ikut, saya biasanya baris di belakang. Alias, barisan tempat orang-orang yang dihukum karena terlambat, tidak pakai topi, tidak pakai dasi, atau karena tidak pakai rok putih.

Saya jadi berpikir, apa boleh saya ikut upacara kehidupan dengan kasus-kasus seperti upacara di sekolah?

Apa boleh ngabur ke kantin? Apa boleh baris di belakang karena seragam yang tidak lengkap? Atau, apa boleh tidak mengikuti upacara dengan khidmat?

Atau...Apa boleh tidak ikut upacara? Pura-pura pusing saja, biar disuruh istirahat di ruang PMR! Hehehe..

Ps: Tenang saja mamahku sayang.. Saya sedang latihan baris-berbaris, biar nanti kalau upacara bisa jadi pengibar bendera! Haha!

Thursday, October 12, 2006

Mahalnya Mendaftar Calon Pegawai Negeri Sipil

Jakarta-Jurnal Nasional

Puluhan orang memadati ruang Sentra Pelayanan Masyarakat di Kepolisian Resor Bekasi. Hampir semua datang dengan tujuan yang sama, membuat Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).

Maklum saja, Departemen Luar Negeri sedang membuka lowongan. Meski tak mendaftar ke sana , sebagian besar pembuat SKCK mengaku menyiapkannya jika sewaktu-waktu ada departemen lain yang buka.

“Saya mau bikin dua SKCK, satu untuk persyaratan CPNS, satu lagi untuk keperluan mencari kerja,” ujar Dalva Rachmawati, 22 tahun.

Dan berapa biaya untuk membuatnya?

Pertama kali masuk ke ruangan tersebut, ada meja kecil tempat mendaftar. Di sana, tertulis syarat pembuatan SKCK, yaitu membawa pengantar dari Kecamatan, foto kopi KTP, pas foto berwarna ukuran 4x6 sebanyak 3 lembar, sidik jari, dan telah mengisi lembar biodata.

Tapi, setelah itu semua, pemohon harus membayar Rp.15.000 setiap jenis SKCK. Karena membuat untuk dua kepentingan, maka Dalva harus membayar Rp.30.000. Setelah itu, ia masih harus membayar Rp.10.000 saat mengisi surat sidik jari.

Tak ada satupun biaya tersebut yang memakai tanda terima alias masuk ke kantong petugas!

Lain lagi dengan Retno Rita Sari, 21 tahun. Karena tak membawa Surat Pengantar dari Kecamatan, petugas tak mau memproses pembuatannya. Tapi, karena Retno butuh SKCK dan tak ada waktu lagi untuk kembali keesokan harinya, ia pun memberi “uang pelicin”.

“Ngomongnya pas lagi sepi. Kalau banyak orang, bapaknya jaim (jaga image). Saya sempat dimarahin dulu, tapi langusng mau pas saya nawarin goban (Rp.50.000),” ujarnya.

Saat Jurnal Nasional berada di sana , jumlah pemohon begitu banyak. Saking banyaknya, pemohon harus berdiri mengantri ataupun menunggu di luar ruangan karena tak ada tempat di dalam.

Tanpa malu-malu, petugas di meja pendaftaran langsung meminta Rp.15.000 jika ingin berkasnya diproses. Sepengamatan Jurnal Nasional, tak ada satupun pemohon yang berani menanyakan tentang pungutan tersebut.

“Nggak nanya aja bapaknya sudah ketus, gimana kalau kita nanya! Bisa-bisa nggak dibuatin,” ujar Izkandar Sulkarnaen, 27 tahun, yang akrab disapa Izul.

SKCK berfungsi untuk menyatakan bahwa seseorang tidak sedang dalam proses tindak pidana atau kejahatan lainnya. Yang mengherankan, kenapa harus dibedakan natara keperluan melamar CPNS dan keperluan melamar kerja? Bukankah keduanya sama saja.

“Begini ya, itu bukan kami yang tentukan, tapi pihak di sana (perusahaan),” ujar petugas di meja pendaftaran dengan nada ketus.

Saat mencari konfirmasi tentang pungutan tersebut, Brigadir Kepala Jajat Sudrajat dari Satuan Bina Mitra Polres Bekasi mengatakan bahwa seharusnya uang tersebut jangan dilihat sebagai pungutan.

“Mereka yang di sana (SPK) itu kan harus bekerja cepat. Malah kadang ada yang mau selesai buru-buru. Jangan dilihat sebagai pungutan, anggap saja karena mereka telah melayani,” katanya.

Namun, ia tetap enggan menegaskan apakah pungutan tersebut resmi atau tidak. Saat mencoba bertanya ke Kepala Satuan Intelejen dan Keamanan, petugas yang ada di sana berkata bahwa Kasat sedang berada di Bangkok .

“Belum tahu sammapi kapan. Memangnya anda keberatan kalau dimintai uang?” ujarnya dengan nada sinis.

Sayangnya, hingga saat ini, belum ada konfirmasi dari Kepala Polres Bekasi. Beberapa kali Jurnal Nasional menghubungi nomor telpon selulernya tapi tidak diangkat.

Untuk mebuat SKCK, pemohon diharuskan membawa surat pengatar dari Kecamatan. Prosesnya, harus membuat pengantar dari Kelurahan, lalu membawanya ke Kecamatan.

“Di kelurahan, saya dimintai Rp.5.000, plus satu kupon PMI (Palang Merah Indoensia) sebesar Rp.1.000. Di Kecamatan, saya dimintai RP.3.000. Semuanya nggak pake tanda terima,” kata Izul.

Selain SKCK, pendaftaran CPNS juga mensyaratkan adanya Kartu Tanda Pencari Kerja atau yang dikenal dengan Kartu Kuning. Kartu tersebut dibuat di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Dan biayanya? Cukup Rp.5.000 saja setiap orang. Lagi-lagi tanpa tanda terima!

“Saya sebenarnya memperpanjang aja. Dua bulan lalu, pas bikin pertama kali, saya disuruh bayar Rp.3.000. Eh ternyata sekarang udah naik,” ujar Usella, 25 tahun.

Total kedua persyaratan tersebut Rp.39.000. Belum lagi biaya foto kopi dan cuci cetak foto. Bahkan untuk persyaratan mendaftar kerja pun ternyata mahal. (IKA KARLINA IDRIS)

Friday, May 05, 2006

2 Maret 2006

Belum pernah saya melihat petir seperti kemarin malam.
Saat itu sudah jam 21, saya baru saja pulang, masih di atas angkutan umum.
Lalu turun hujan deras sekali dan membuat kaca mobil buram dan udara tiba-tiba dingin dan perut saya melilit karena lapar, mungkin juga karena perasaan takut.
Seturun dari angkutan umum, saya lalu naik becak.
Saat itulah petir, kilat, guntur, thunder, gledek, atau apapun namanya mengagetkan saya.
Cahaya terang sekali, seperti lampu jauh mobil truk.
Suaranya menggetarkan tanah. Menggetarkan becak yang saya naiki dan membuat abang becaknya terus berkata "astagfirullah" dan membuat jantung saya berdetak lebih cepat dan perut saya melilit dan rasanya seperti sedang jatuh cinta.

Sumpah! belum pernah saya melihat dan merasakan kehadiran petir seperti tadi malam.
Kutipan

"Selamat menjadi buruh harian lepas."