Jurnal Nasional, Rabu, 03 Oktober 2007
Program sertifikasi guru tak memiliki perencanaan yang matang. Tak heran jika pelaksanaannya pun terkesan asal-asalan. Kepala Penelitian dan Pengembangan Manajemen Pendidikan Indonesia (LMPI) Muhammad Hidayat Rahz, Rabu (3/10), di Jakarta, mengatakan, ada baiknya, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) melihat penerapan yang ad di negara lain.
Misalnya saja Amerika, pemerintahnya memerlukan waktu selama lima tahun (1987-1992) hanya untuk penelitian, pengembangan, dan pembuatan model sertifikasi. Lima tahun setelahnya, mereka lakukan assessment (diagnosis) dan evaluasi. Barulah pada 1996, standar prosedur dilaksanakan.
Pada dasarnya, kata Hidayat, ada tiga poin yang ditekankan. Pertama, standar kemampuan mengajar dan pembelajaran. "Guru tak hanya menguasasi materi tapi juga bisa manajemen kelas. Salah satu ukuran poin ini adalah pencapaian prestasi murid," katanya.
Kedua, proses terbuka secara sukarela. Proses tidak dipaksakan sehingga hanya guru yang betul-betul siaplah yang mengikutinya. Ketiga, sertifikasi semata-mata untuk reformasi pendidikan.
Hingga saat ini, sudah ada sekitar 5.500 guru yang sudah disertifikasi. Dan pemerintah Amerika pun kembali melakukan evaluasi atas guru-guru tersebut.
"Di kita mana ada evalusi? Semuanya jalan sendiri-sendiri. Kurikulum baru, siswa harus lulus UN, anggaran belum 20 persen, lalu ada lagi sertifikasi guru. Semunya mau dipaksakan tapi belum siap," tegas Hidayat yang pencetus ide program Kitab Guru.
Maka itu, sertifikasi harus dihentikan dulu dan dievaluasi. Bahkan harus ada riset mengenai sistem yang tepat. Jika masih memakai sistem sekarang, banyak sekali ketidakefektifan dan ketidakefisienan.
Sebagai contoh adalah biaya untuk assessor. Ia mengatakan bahwa setiap berkas dinilai oleh dua orang assessor. Setiap orang dibayar Rp150 ribu. Jika harus ada diklat dan penilaian ulang, tentunya biaya yang dibutuhkan sangat besar.
Ia pun mengusulkan adanya konsep desentralisasi untuk sertfikasi guru. Bagaimanapun, semua guru PNS statusnya PNS daerah. Jadi, untuk riset, pengambangan, dan evaluasi harus diserahkan ke daerah.
Selain itu, yang paling mengerti kondisi pendidikan di suatu dearah adalah pemerintah daerah. Bagaimana kebutuhan forum ilmiah atau pendidikan dan pelatihan, tentulah daerah yang paling mengerti. "Kalau tes berdasarkan portofolio, tak boleh disamakan antara guru di kota dan daerah." katanya. (ika karlina idris)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment