Mengusung Stupa Masuk Mal
Pemandangan ini bukan di Candi
Pada 3 - 10 Juni lalu, di mal itu berlangsung pameran arkeologi
Karmawibhangga adalah relief-relief yang berada di kaki
Menurut kurator pameran dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Arkenas), Kriswandhono, relief-relief tersebut terpaksa ditutup demi keutuhan candi. Sebab, relief-relief itu merupakan bagian dari penopang
''Kalau hujan tanahnya lembek dan kalau panas akan pecah. Biar tak runtuh, jadi ditutup saja,'' kata Kris.
Selain pameran, juga disajikan demo memahat relief dari batu dan membuat stupika. Stupika adalah stupa kecil terbuat dari tanah liat yang dikeringkan. Dalam acara ini pengunjung diajak membuat stupika berbahan gips. Hasilnya bisa mereka bawa pulang.
Wakil Koordinator Pameran, Lenny Hidayat, mengatakan, sedikitnya sekitar 24 ribu stupika berbentuk Buddha Sakyamuni tercetak. ''Kami harap jumlah tersebut bisa memenangkan rekor Muri (Museum Rekor
Hadir juga pemutaran film. Empat televisi layar datar 29 inci menayangkan video kehidupan masyarakat di sekitar Borobudur, ekspedisi situs Muara Jambi, dan pelestarian
Lantas, mengapa harus ''repot-repot'' mengusung arkeologi ke mal?
Menurut Kris, pameran arkeologi di mal ini merupakan sarana penjelasan terbaik untuk mempelajari sejarah. Arkeologi meliputi sejarah dan segala macam kelengkapannya, baik artefak, prasasti, ataupun bangunan semisal candi.
''Kami juga ingin memberi tahu masyarakat bahwa arkeologi bukan sesuatu yang eksklusif, melainkan sangat dekat dengan kita," tuturnya.
Sedangkan Lenny berpendapat, pameran ini sengaja diadakan di mal karena sebagian besar anak muda lebih banyak menghabiskan waktu di
Pameran ini diselenggarakan Arkenas bekerja sama dengan Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI). Mereka berusaha mengemas materi-materi berat sesuai keinginan pengunjung.
"Mereka bisa melihat sejarah di tempat yang biasa mereka datangi. Beberapa bahkan sambil makan. Yang penting mereka enjoy saja dulu," ujar Kris.
Ia mengakui bahwa konsep pameran di mal ini mula-mula membuatnya terpana. Jumlah pengunjung ternyata lebih dari yang mereka perkirakan. Bahkan selama pameran, tiap hari selalu dikunjungi rombongan anak-anak sekolah. Jelas sebuah gejala membanggakan.
Alhasil, baik Kris maupun Lenny berharap pameran seperti ini bukan yang pertama sekaligus terakhir. Mereka menginginkan pameran seperti ini bisa berlangsung tiap tahun di tempat yang beragam. Tentu, tak hanya tentang relief
"Sejauh ini saya lihat kurangnya kepedulian terhadap hal ini. Padahal, sumberdaya, baik manusia maupun materi, sangat banyak. Moga-moga dengan pameran kali ini departemen yang bersangkutan bisa tersentuh," ujar Kris berharap.
Persiapan pameran ini membutuhkan waktu sekitar dua bulan. Yang paling rumit adalah proses perizinan. Namun, panitia memakluminya mengingat ada banyak pihak yang terlibat untuk mengamankan aset-aset warisan budaya nasional yang dipamerkan. Keamanan harus nomor satu.
Ika Karlina Idris
No comments:
Post a Comment