Thursday, May 07, 2009

UN Hancurkan Moral Anak Bangsa

”Guys, jangan lupa besok datang ke rumah Pak Guru.” Begitu tulis status seorang kawan di Facebook. Usut punya usut, ternyata si kawan akan diberi “pengarahan khusus” oleh Pak Guru untuk berbagi jawaban dalam Ujian Nasional (UN). Pegang pensil di tangan kanan, berarti A, di kiri berarti B, pegang alis berarti C, pegang hidung D, dan menggeleng berarti E.

Rupanya, tak cukup hanya ”pengarahan khusus”. Si kawan mengaku kalau ternyata kepala sekolahnya sudah bekerja sama dengan para pengawas, agar soal bisa dibuka sebelum waktunya. Beberapa guru ditugaskan khusus menjawab soal dan mengedarkan jawabannya ke siswa.

Alhasil, si kawan pun melewati hari-hari ujian dengan tenang. Padahal, ia sudah mempersiapkan diri setahun sebelumnya, dengan pelajaran tambahan di sekolah dan bimbingan belajar.

Melihat berita yang ada di media massa, ternyata banyak kepala sekolah yang melakukan kecurangan saat proses UN berlangsung. Di Kabupaten Bengkulu Selatan ada 16 kepala sekolah diperiksa polisi terkait dengan dugaan kebocoran soal UN (Kompas, 23 April 2009). Mereka diduga bersepakat untuk membocorkan soal-soal kepada siswa.

Di satu sisi, perbuatan para kepala sekolah tersebut tentulah mencemari dunia pendidikan kita. Betapa tidak, guru yang harusnya digugu dan ditiru, malah memberi contoh yang buruk bagi muridnya.

Akan tetapi, kepala sekolah juga tak bisa sepenuhnya disalahkan. Departemen Pendidikan Nasional dan Pemerintah Daerah mengultimatum: siswa yang lulus UN harus 100 persen. Jika tidak, kepala sekolah dan pejabat di dinas pendidikan akan dimutasi. Lihatlah ancaman yang dilakukan Walikota Bekasi Mochtar Mohamad (Kompas, 23 April 2009) pada kepala sekolah di wilayahnya.

Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo tahun lalu mengatakan bahwa UN tak semata ujian materi pelajaran, namun juga ujian kejujuran. Angka kelulusan, tegasnya, tak menjadi prioritas. Sayang, para pejabat terkait mengacuhkan ucapan Mendiknas. Bagi 16 kepala sekolah dan juga Walikota Bekasi, kelulusan adalah yang utama.

Sebagai pemegang kebijakan, Mendiknas harusnya bisa mengevaluasi secara menyeluruh pelaksanaan UN yang sudah berlangsung tujuh kali. Sejauh ini, Mendiknas terus meningkatkan standar kelulusan peserta didik ataupun menambah jumlah mata pelajaran. Tak sekalipun Mendiknas merenungkan apakah para siswa, guru, kepala sekolah, dan pejabat terkait siap menghadapi UN.

Ketidaksiapan tersebut juga sudah ditegaskan secara hukum oleh Pengadilan Nengeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan memenangkan gugatan warga negara terhadap UN. Para tergugat, yakni Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) lalai dalam meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana pendidikan, serta informasi, khususnya di daerah pedesaan.

Namun, lagi-lagi pemerintah bersikukuh dengan kebijakannya dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. UN pun tetap berjalan tahun ini dan kecurangan-kecurangan kembali terjadi.

Guru sebagai Penjaga Moral

Dari kasus UN ini terlihat jelas bahwa pemerintah masih mengedepankan hasil tanpa melihat proses. Para guru dan kepala sekolah pun hanya mendidik, tak lagi mengajar. Selama setahun siswa digembleng dengan latihan soal-soal UN. Namun rasa tak percaya terhadap kemampuan siswa (dan juga kemampuan sendiri) akhirnya membuat mereka melakukan segala cara, termasuk memberi bocoran jawaban.

Pendidikan moral yang diberikan pada siswa selama tiga tahunpun sia-sia dalam satu minggu ujian nasional. Bayangkan bagaimana para kepala sekolah yang menjadi penjaga citra pendidikan malah memberi contekan pada siswa-siswanya.

Sejatinya, seorang guru mempunyai tiga tugas pokok: tugas profesional, tugas kemasyarakatan, dan tugas manusiawi. Tugas pertama berkaitan dengar logika dan estetika, tugas kedua dan ketiga berkaitan dengan etika.

Tugas profesional seorang guru adalah menyampaikan ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai lain yang belum diketahui anak. Tugas kemasyarakatan adalah mengemban dan melaksanakan UUD 1945 dan GBHN. Sedang tugas manusiawi adalah membantu anak didik agar dapat memenuhi tugas-tugas utama dan manusia kelak dengan sebaik-baiknya.

Salah satu tugas manusiawi guru adalah mengajarkan budi pekerti. Artinya, guru harus bisa memanusiakan manusia, menumbuhkembangkan nilai-nilai kemanusiaan, dan membangun budi pekerti.

Dijadikannya hasil UN sebagai satu-satunya patokan kelulusan siswa telah membuat para guru dan kepala sekolah melupakan tugas manusiawinya. Guru dan kepala sekolah di satu sisi menjadi penjaga moral, tapi di sisi lain juga turut menghancurkannya.

Memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun ini, ada baiknya kita merenungkan kembali salah satu ajaran Ki Hajar Dewantara: tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).

Sebagai penjaga moral anak bangsa, guru dan kepala sekolah harus harus mampu berdiri di depan memberi teladan kepada murid-murid, di tengah untuk menyemangati, dan berdiri di belakang membuka peluang siswa untuk berkarya.

No comments: