Friday, December 07, 2007

Menyatukan Anak Aceh Lewat Kesenian

japan foundation | Kamis, 06 Des 2007

Di hadapan puluhan anak-anak, seorang bocah perempuan berjalan dan menduduki bocah perempuan lainnya, seolah yang ia duduki itu kursi. Di depannya, seorang anak lelaki tengkurap, seakan sedang menjadi meja. Si anak perempuan mengambil minum yang ada di atas punggung si meja.

Setelah minum, si anak peremupuan memencet remote control dan mengarahkannya ke dua anak laki-laki yang berperan sebagai televisi. Saat itu, salah seorang dari mereka bernyanyi, seolah tayangan di televisi sedang menampilkan video musik.

Rupanya, anak-anak tersebut sedang terlibat dalam pelatihan teater partisipatif, sebuah aliran teater yang pemain dan penonton bermain bersama. Makanya ada anak yang berperan menjadi bangku meja, televisi, dan sebagainya.

Pada April lalu, sekitar 30 anak dari Aceh Tengah, Aceh Utara dan Pidie, berkumpul untuk mengikuti pelatihan teater yang diadakan the Japan Foundation dan Komunitas Tikar Pandan. Selama seminggu mereka diajak berlatih teater dan berbagi pengalaman. Maklumlah, anak-anak tersebut berasal dari tiga wilayah konflik di Aceh yang memiliki kultur dan bahasa yang berbeda.

Menurut Direktur Eksekutif Komunitas Tikar Pandan Azhari Aiyub, selama ini semua pihak, baik pemerintah maupun organisasi nonpemerintah (NGO), selalu mengarahkan bantuannya ke daerah yang terkena dampak tsunami. Bahkan, anak-anak yang ada di wilayah tersebut dibuat sibuk dengan berbagai kegiatan yang diadakan aktivis NGO. Dari pagi hingga malam, anak-anak menghadiri kegiatan bermain bersama, mengaji, hingga belajar.

"Anak jadi tak punya waktu luang, saking sibuknya. Padahal kegiatan itu harusnya membuat anak punya waktu luang. Sayangnya, anak-anak di daerah konflik jadi terlupakan," kata Azhari.

Rekonsiliasi Aceh, melalui kesepahaman bersama yang ditandatangani di Helsinki pada 2005 lalu, hanya dalam tataran politik. Artinya, hanya golongan elit yang berekonsiliasi. Sedang di level bawah, yakni masyarakat, rekonsiliasi belum terjadi.

"Saat the Japan Foundation ingin memberi bantuan ke daerah yang terkena tsunami, kami usulkan agar jangan di sana karena sudah terlalu banyak NGO yang berperan di sana. Kami mengusulkan anak-anak di daerah konflik," ujarnya.

Konflik yang terjadi di Aceh, disadari atau tidak, masih tertanam di ingatan anak-anak Aceh. Pasalnya, konflik tersebut terjadi sangat dekat dengan mereka. Bahkan, ada seorang anak yang keluarga intinya terpecah pada dua kubu, Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Azahari mengamati, selama ini anak yang orangtuanya dibunuh GAM, selalu ingin membalaskan dendam dengan membunuh si pembunuh. Begitupun dengan anak yang orang tuanya dibunuh oleh tentara.

Mengumpulkan anak untuk pelatihan teater adalah bagian tersulit. Masalahnya ada di izin orang tua. Yulfan Marpi, Direktur Pelatihan Teater tersebut, mengatakan bahwa orang-orang Aceh selalu merasa curiga jika ada orang asing yang ingin masuk ke daerah mereka.

"Pengalaman mengajarkan mereka tak mudah percaya dengan orang asing. Saat kami hendak mengajak anak-anak, kami temui orang tuanya dulu. Mereka ingin tahu kami siapa, apa maksud kami, dan apa yang bisa kami berikan ke mereka," cerita Yulfan.

Ia melajutkan, kompensasi sudah menjadi keharusan. "Semua yang menyangkut kepentingan publik harus diberi kompensasi. Padahal dulu orang-orang sukarela membersihkan meunasah, sekarang kalau tak ada bayarannya, mereka tak mau."

Anak-anak yang ikut pun akhirnya diberi beasiswa pendidikan yang tak bisa disalurkan untuk keperluan lain. Tak sampai di sana, orang tua juga bersikeras ingin melihat kegiatan anak-anak mereka. Makanya, pada dua hari terakhir orang tua juga hadir di tempat tersebut.

"Pokoknya, kami berusaha agar anak-anak ini bisa ikut pelatihan. Anak-anak ini harus dipertemukan agar terjadi sebuah kesepakatan di antara mereka. Garis kekerasan yang ada di antara mereka harus diputus," jelas Yulfan.

Agus Nur Amal, pelatih teater dan juga pendongeng, mengatakan bahwa dari 30 anak yang dikumpulkan, semuanya memiliki latar belakang yang berbeda. Sebanyak tujuh orang anak yang berasal dari Aceh tengah mempunyai pola pikir Indonesia dan tiga sisanya berpikir seperti GAM. Anak-anak dari Pidie, semuanya punya pandangan GAM, dan hanya tiga dari 10 anak Aceh Utara yang memiliki paham Indonesia.

Pertama kali bertemu, tak ada kesepahaman di antara mereka. "Yang GAM menyanyikan mars GAM dan yang Indonesia menyanyi lagu sumpah pemuda dan lagu-lagu nasional lainnya," ujar Agus. Jika dilihat sepintas, tambahnya, seolah tak ada masalah.

Anak-anak ini diajarkan teater partisipatoris yang dikembangkan oleh Augusto Boal, dimana pemain dan penonton bermain bersama. Pada hari pertama dan kedua, Agus dan relawan dari the Japan Foundation fokus pada cara-cara untuk membuat anak terbuka atau bisa saling berbicara.

Tekniknya cukup sederhana, anak-anak diminta mendengarkan suara-suara yang ada di sekeliling mereka, menggambarkan sumber suara tersebut, dan menempelkannya di kertas. "Ada suara motor, mobil, jangkrik, atau sapai. Intinya, anak-anak kami ajak membuat partitur suara," jelas Agus.

Setelah itu, ia mengajak anak-anak untuk menceritakan suara-suara yang mereka akrabi. "Mereka bahkan bisa membedakan senjata berdasarkan bunyinya, karena suara itulah yang sering mereka dengar." Dalam proses ini, anak-anak diajak membuak panca indera mereka dan mengatakan apa yang ada dalam ingatan mereka.

Jika sudah menyadarinya, anak-anak harus disadarkan bahwa suara-suara di masa lalu tak bisa dihilangkan. Makanya, mereka harus bisa berdamai dengan pengalaman saat suara tersebut ada. Lalu, mereka diajak bermain peran, baik peran yang realistis (tokoh) ataupun peran yang tidak realistis (meja, kursi, televisi, dll).

Kemudian, kalau anak sudah bisa berbaur, mereka diajak berpikir tentang Aceh. Apa pentingnya Aceh bagi warga Aceh? Apa pentingnya Aceh bagi dunia? Dan di mana peran anak-anak Aceh?

Pada pertunjukan terakhir, mereka diberi tugas mementaskan teater bertema Aceh 2025. Hal ini semata-mata untuk menggambarkan cita-cita mereka terhadap Aceh. "Saat pertunjukan berlangsung, semua orang menangis. Saya, kawan-kawan relawan, orang tua, dan anak-anak," katanya.

Jika tahu tadinya mereka punya pemahaman politik yang berbeda, tentulah ada rasa haru. Semoga mereka tak hanya satu di panggung tapi juga satu membangun Aceh seperti apa yang mereka angankan pada 2025 nanti.
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

No comments: