Friday, December 07, 2007

Membuat Gampang Jadi Profesor

Selasa, 06 Nov 2007

Dulu seseorang yang ingin menjadi profesor atau guru besar harus memiliki golongan IV/E. Secara kelakar sering dicitrakan, seorang profesor mudah lupa justru untuk hal yang sederhana.

Maklum, dul;u profesor pasti sudah berusia lanjut. Seorang staf pengajar yang umumnya bergelar sarjana atau master saat mulai mengajar, biasanya masuk golongan III/a.

Saat ini, untuk menjadi profesor, golongan seorang pengajar cukup IV/d, sehingga setidaknya butuh waktu sekitar 10-12 tahun. Apakah syarat ini lantas memudahkan seseorang menjadi profesor?
Perguruan tinggi mengenal jenjang jabatan dan pangkat dosen yang terdiri dari Asisten Ahli (Gol. III/A-III/b), Lektor (III/c-III/d), Lektor Kepala (IV/a-IV/c) dan Guru Besar/Profesor (IV/d-IV/e). Bagi dosen yang berpendidikan Doktor (S3), berprestasi dan memiliki angka kredit yang cukup, dapat "loncat" jabatan dari lektor ke profesor, meski pangkatnya tetap mengikuti aturan. Adanya aturan terakhir ini, termasuk adanya tabungan angka kredit yang belum dipakai, tentu memungkinkan doktor-doktor muda dapat meraih jabatan Profesor, meski usia mereka belum mencapai 40 tahun. Dulu, seorang dosen hanya disyaratkan berpendidikan sarjana saja. Dan sebagian besar meraih gelar profesor setelah cukup lama mengabdi sebagai akademisi.

Mantan Menteri Pendidikan Wardiman Djojonegro justru mengatakan sebaliknya. "Sekarang malah sering dipersulit, meski seseorang sudah memenuhi syarat menjadi guru besar dan mengajukan pengangkatannya," tegas Wardiman.

Bisa sampai setahun belum diangkat juga, padahal pengangkatan sangat mendesak. "Jika dibandingkan degan negara tetangga, jumlah profesor di Indonesia sangat kurang," katanya.
Eko Prasodjo, dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, adalah profesor termuda di kampusnya. Saat berusia 35 tahun, gelar Guru Besar Tetap Adminitrasi Pemerintahan sudah menempel padanya.

"Sebenarnya menjadi guru besar di UI itu gampang-gampang susah," kata Eko.

Jadi profesor terbilang gampang jika seseorang konsisten menjalankan fungsi sebagai dosen. Fungsi-fungsi tersebut yaitu mengajar dan membimbing siswa, meneliti, dan menulis. Ketiganya mempunyai nilai minimal jika ingin dipromosikan menjadi guru besar.

"Sayangnya, selama ini dosen hanya konsentrasi untuk mengajar. Padahal bukan hanya itu yang diperhitungkan tapi keseimbangan ketiga fungsi tadi," jelas Eko.

Selama ini, lanjutnya, minat menulis di kalangan dosen sangat kurang, padahal fungsi itu yang bobotnya paling besar. Fungsi penelitian berbobot 30 persen, mengajar 30 persen, menulis dan fungsi penunjang lainnya sebesar 40 persen. Semua bobot tersebut harus dibuktikan dengan catatan administratif.

"Meski sering mengajar atau jadi pembicara di seminar, kadang-kadang orang malas mengurus sertifikat dan lain-lain. Jadi problemnya ada di masalah administratif," kata Eko.
Kualifikasi Doktor Berdasarkan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), universitas, institut, atau sekolah tinggi dapat mengangkat guru besar atau profesor. Seorang dapat diangkat dalam jabatan akademik profesor adalah dosen yang memiliki kualifikasi doktor (UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen). Profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi.

"Jadi yang bisa jadi profesor hanyalah mereka yang mengajar. Kata profesor berasal dari bahasa Prancis yang berarti guru," tegas Mohamad Soerjani dari Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan Jakarta.

Sekitar tahun 1975, ia pernah mengajar di salah satu universitas di Filipina. Saat itu ia dipromosikan menjadi associate professor (asisten pofesor) sebagai gelar kehormatan. "Karena itu jabatan fungsional, maka tak digaji. Mereka hanya membiayai saja ongkos jika mengajar ke sana," ujarnya.

Selain itu, Soerjani juga menegaskan agar seorang profesor menjaga gelar yang sudah disandangnya. "Guru besar jangan sampai bodoh, itu memalukan," kata Soerjani yang masih aktif membimbing calon doktor di Universitas Nasional Jakarta (UNJ).
Menurut UU Sisdiknas, profesor berkewajiban membimbing calon doktor. Profesor mempunyai kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebar luaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat.

Sayangnya, menurut Eko, belum ada peraturan yang mengatur evaluasi gelar profesor yang sudah dipegang seseorang. Mestinya, ketika seseorang sudah diangkat menjadi guru besar, publik harus melakukan evaluasi. "Selama ini belum pernah ada masyarakat yang menggugat ketakpantasan seseorang menjadi guru besar," tambahnya.

Seorang profeor dituntut lebih banyak melakukan penelitian. Sayangnya, Eko menilai tunjangan kesejahteraan untuk itu sangat minim. Padahal, ada begitu tawaran menarik untuk berkiprah di luar kampus. "Sementara tunjangan untuk penelitian sendiri tidak ada," tegasnya.

Soerjani menilai justru orang-orang dari luar sekarang ingin menjadi profesor dan berebut untuk mengajar di kampus. "Dulu orang-orang pintar yang jadi menteri, sekarang malah kebalik menteri mau jadi profesor."

Menurut Eko, seseorang yang sudah terbiasa dengan jabatan struktural belum tentu mampu melakukan jabatan fungsional. "Tidak semua orang bisa mengajar," ucapnya. Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

No comments: