Thursday, November 01, 2007

Sertifikasi Cepat, Guru Tak Siap

Jurnal Nasional, Rabu, 03 Oktober 2007

Guru kebanyakalan lemah dalam prestasi akademik, forum ilmiah, pengalaman organisasi, dan penghargaan pendidikan.


Sejak dua minggu lalu, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mengumumkan hasil sertifikasi guru. Hanya sebagian guru yang lolos sertifikasi. Bahkan ada daerah yang presentase tidak lulusnya jauh lebih besar dari yang lulus.
Program sertifikasi guru tercantum dalam Undang-Undang Guru dan Dosen No. 14/2005 dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 18/2007. Dalam Permendiknas disebutkan bahwa sertifikasi bagi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji kompetensi untuk memperoleh sertifikat pendidik.

Sertifikasi guru dalam jabatan dilakukan dalam bentuk portofolio, yang penilaiannya dipilah menjadi tiga unsur.

Unsur A meliputi kualifikasi akademik, pengalaman mengajar, serta perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Unsur B meliputi pendidikan dan pelatihan, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, dan karya pengembangan profesi. Unsur C meliputi keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, serta penghargaan yang releven dengan bidang pendidikan.

Setiap unsur dinilai berdasarkan portofolio yang dimiliki para guru, seperti ijazah, sertifikat, ataupun piagam. Masing-masing unsur memiliki total poin 300 dan nilai minimal kelulusan sebesar 850. Namun, tak boleh ada satu pun kualifikasi yang nilainya nol. Jadi, dengan kata lain, seberapa besar pun nilai si guru, jika ada satu kualifikasi yang tak dimiliki, maka ia tak akan lulus.

Menurut pengajar dari Sampoerna Foundation Teacher Institute Tatang Suratno, kebanyakan guru tak meliki catatan di prestasi akademik, forum ilmiah, pengalaman di organisasi pendidikan, karya pengembangan profesi, dan penghargaan di bidang pendidikan. Hasil itu dia peroleh dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung yang merupakan assessor (penilai) untuk wilayah Jawa Barat.

Untuk menerapkan persayaratan seperti itu, kata Tatang, harusnya pemerintah mewadahi terlebih dulu semuanya. "Dengan sistem sekarang, sertifikasi ini terlalu cepat," katanya kepada Jurnal Nasional, Selasa, 2/10.

Sebagai contoh, untuk mendapatkan pengalaman di organisasi pendidikan, wadah yang ada hanyalah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Untuk membuka kesempatan berorganisasi, harusnya pemerintah mengembangkan forum lain, seperti Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP).

Selain itu, pemerintah juga harus mewadahi forum-forum ilmiah. "Paling tidak hingga ke tingkat kecamatan," tegas Tatang. Lalu, untuk mewadahi prestasi akademik, harusnya ada insentif yang relevan dengan tugas mengajar.

"Umpamanya dengan mengadakan master teacher atau instruktur untuk menghadapi sertifikasi," kata Tatang yang juga pengajar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam mengembangkan profesi, harus ada jurnal-jurnal ilmiah dan konvesi guru yang sampai ke daerah. "Ini bukan hanya tugas Depdiknas tapi juga Dinas Pendidikan."

Tak Cukup Diklat

Bagi guru yang belum memenuhi batas minimal kelulusan, pemerintah merencanakanakan sebuah pendidikan dan pelatihan kembali. Maksudnya agar guru menguasai persoalan tentang kompetensi.

Di Bali, Diklat ini akan dilakukan selama enam hari, sedang di Medan selama sembilan hari. Tapi apakah cukup dengan diklat?

Menurut Kepala Penelitian dan Pengembangan Manajemen Pendidikan Indonesia (LMPI) Muhammad Hidayat Rahz, mustahil mengejar ketertinggalan penguasaan bidang ajar atau kualifikasi lainnya dalam waktu singkat.

Lagi pula, Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) sebagai pelaksana diklat belum memiliki silabus yang jelas mengenai diklat tersebut. "Dalam situs sertifikasi guru saja belum ada konten mengenai pendidikan profesi. Lalu bagaimana mereka bisa menyiapkan materi diklat ini," ujar Hidayat.

Selama ini, Depdiknas selalu terburu-buru dalam membuat kebijakan. Hidayat menegaskan apa yang terjadi pada distribusi bantuan sekolah. "Saking sulitnya mendata sekolah, pemerintah akhirnya membuat voucher pendidikan. Itu saja mereka sudah tak mampu mengatur, bagaimana dengan sertifikasi yang harus menilai kemampuan banyak orang?"

Sedari awal, sertifikasi dengan konsep portofolio sudah salah. Pasalnya, seorang guru bisa mengajarkan mata pelajaran bukan karena dia mampu tapi karena keterbatasan SDM. "Harus ada tes. Kalau pengalaman mengajar ada tapi tak sesuai dengan kualifikasi akademik, bagaimana?" tanyanya.

Menurtu Tatang, selama ini 50 persen diklat untuk guru selalu bermasalah. Sebagian besar karena tidak memenuhi kriteria distribusi dan kebaruan materi diklat. "Materinya sudah tua-tua, itu pun tak pernah sampai ke daerah-daerah," katanya. (ika karlina idris)

1 comment:

Anonymous said...

Saat ini saya sedang mengambil program master pendidikan di Belanda dan thesis saya tentang sertifikasi guru. Saya pernah mendengar rencana awal dulu bahwa uji sertifikasi guru sebenarnya bukan melalui portofolio spt skrg ini melainkan uji kinerja. Mungkin Mas bisa membantu saya menemukan sumber yang menyebutkan rencana awal pelaksanaan sertifikasi guru tersebut. Terimakasih