Thursday, November 01, 2007

Ilmiah tapi juga Gembira

Jurnal Nasional, 8 Oktober 2007

Awalnya, lomba KIR oleh LIPI, diikuti sekitar 10 ribu peserta. Jumlah ini terus menurun setiap tahunnya.

Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) selama ini selalu kalah pamor dengan kegiatan ekstra kurikuler lain, seperti basket, cheerleaders, ataupun band. Maklumlah, kata "ilmiah" rupanya identik dengan mata pelajaran sains, serupa matematika, fisika, kimia, ataupun biologi yang serba mengernyitkan dahi. Bisa jadi, anggapan seperti ini yang menyebabkan KIR kurang diminati siswa.

KIR sudah ada sejak 1968 dan didirikan sebagai wadah kegiatan ilmiah siswa. Hingga saat ini, banyak sekali peserta lomba KIR yang sukses menjadi profesional ataupun ilmuan. Sebut saja fisikawan Yohannes Surya, ahli robotika Adi Sudadi Soembagijo, dan pakar informatika Wisno Broto.

Menurut mantan kepala penelitian dan pengembangan (litbang) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIP) Sudito, sebenarnya KIR tak selalu identik dengan sains ataupun siswa "berkaca mata tebal". Sebenarnya, KIR adalah sekelompok anak-anak yang minat pada bidang tertentu dan bisa terdiri dari beberapa bidang.

"Yang senang fisika, biologi, atapun ilmu sosial bisa masuk asalkan memang minat. Siswa juga bisa memilih sendiri bidang ilmu yang ia senangi. KIR bukanlah Osis (Organisasi Siswa Intra Sekolah) yang keanggotaannya dipaksakan," kata Sudito.

Dengan mengikuti KIR diharapkan kemampuan penelitian siswa dapat berkembang. Selama ini, masalah yang sering dijumpai seputar KIR adalah minat siswa dan SDM guru pembimbing. Sebenarnya, hampir setiap guru dapat membimbing KIR, takharus guru matematika atau sains.

Pendidikan minimal guru sekolah adalah sarjana pendidikan. "Jadi paling tidak dia sudah pernah bikin skripsi," katanya. Nah, metode ilmiah dalam pembuatan skripsi itulah yang harus menjadi prinsip dalam karya ilmiah siswa. Apapun bidang ilmunya, metode penelitian haruslah ilmiah.

Menanggapi semakin lesunya kegiatan KIR, Lembaga Manajemen Pendidikan Indonesia (LMPI) mengadakan diskusi seputar KIR pada Kamis, 4/10, di Jakarta. Selain sudito, diskusi itu juga dihadiri oleh puluhan guru pembimbing KIR di berbagai sekolah.

Leila, guru SMP 226 Jakarta, mengakui bahwa sekolahnya belum ada panduan tentang pengembangan KIR. "Soalnya belum lama dimulai. Saya pembimbingnya tapi masih kebingungan," keluh Leila.

Berdasarkan pengalaman sejak mendirikan KIR, Sudito menekankan perlunya si guru memberi contoh. Maksudnya, selain mengajak anak ikut KIR, guru juga harus aktif meneliti dan menulis makalah ilmiah. Di era informasi saat ini, informasi yang ada di internet memudahkan guru menulis artikel ilmiah.

Metode penelitian pun tak selamanya harus kuantitatif. Bagi ilmu sosial, misalnya, guru bisa memperkenalkan metode kualitatif bagi siswanya. Hal ini akan membuat mereka membaca banyak referensi.

Selain itu, guru juga harus aktif mengikuti wadah-wadah ilmiah yang ada. Seperti pertemuan ilmiah, baik itu simposium, seminar, loka karya, ataupun diskusi. Lalu, guru juga harus aktif mengadakan pameran hasil penelitian siswa.

"Doronglah siswa untuk mengikuti pekan ilmiah remaja karena di sana mereka akan mengembangkan proyek, penelitian. Atau sederhananya, ajak saja siswa mengunjungi museum atau laboratorium alam. Untuk variasi, bisa juga mengunjungi lembaga ilmu pengetahuan semisal planetarium atau herbarium," kata Sudito.

Terakhir, guru harus bisa memublikasikan hasil-hasilnya. Bisa dengan menulis artikel ilmiah ataupun mengajak anggota KIR mengirimkan tulisan mereka ke majalah. "Jika memang kegiatan KIR begitu beragam, apakah mungkin membuat standar acuan," tanya salah seorang peserta.

Menurut Sudito, yang paling penting adalah hasil dari kegiatan tersebut. Ia mengakui bahwa selalu ada prosedur tetap jika berkaitan dengan kegiatan sekolah. Hanya saja, ia takut hasil kegiatan KIR tak optimal jika terlalu kaku.

Sebagai panduan, cukuplah dengan SMART, yakni specific, measurable, achievable, reasonable, dan timeschedule. Dengan kata lain, kegiatan KIR harus spesifik, dapat diukur, dapat dicapai, punya alasan cukup kuat sebagai penelitian, dan punya tenggat waktu dalam mencapainya.

Guru, menurutnya, harus pandai-pandai meyakinkan siswa bahwa KIR akan bermanfaat bagi karir mereka di masa depan. Yang jelas, guru harus ingat bahwa ada perbedaan antara KIR dengan kegiatan klub lain, seperti olah raga. Sulit sekali menemukan cara yang pas agar anak bisa enjoy dan hasilnya optimal. "Kuncinya, KIR harus memasukkan unsur kegembiraan dan petualangan," tegas Sudito.

Ia mengaku prihatin karena lomba KIR tidak lagi diikuti remaja secara bergairah. Jika awalnya KIR bisa diikuti hingga 10 ribu peserta, kini kegiatan ilmiah itu kian berkurang minatnya. Kecenderungannya, setiap tahun terjadi penurunan jumlah peserta. (ika karlina idris)

No comments: