Wednesday, June 20, 2007

Tunanetra Nonton Film, Apa Bisa?

Jakarta | Jurnal Nasional

PULUHAN orang spontan tertawa saat layar memampang adegan film ketika seorang kakek harus push up 100 kali karena menyeberang jalan bukan pada tempatnya. Tawa itu masih terdengar hingga adegan selanjutnya saat beberapa orang terpaksa menahan ludah karena ada larangan meludah sembarangan.

Ternyata, sebagian di antara penonton yang tertawa itu adalah orang-orang tunanetra. Mereka ikut tertawa saat adegan-adegan lucu seperti tadi. Beberapa di antaranya juga menitikkan air mata jika ada adegan haru.

Bagaimana mereka bisa memahami cerita film? Pasalnya tak semua adegan ada dialognya. Terkadang, seperti adegan si kakek yang push up itu. Yang ada hanya gambar.

Rupanya, film karya Deddy Mizwar yang diputar saat itu sudah diutak-atik. Adegan-adegan tanpa dialog dalam film tersebut sudah diisi oleh narasi. Sedangkan unsur lainnya, seperti musik dan suara, tetap menjadi modal utama para tunanetra untuk menonton. Jadi, film ini memang khusus bagi mereka yang tak bisa melihat.

''Kalau bisa semua film dibuat kayak gini. Film horor, action, atau yang romantis juga boleh. Kalau bisa yang romantis dibanyakin,” kata Lia (18), seorang tunanetra peserta nonton bareng.

Baru kali ini ia menonton film untuk tunanetra seperti dirinya. Selain film Ketika, ada juga film Rindu Kami Padamu karya Garin Nugroho. Menurut Lia, sebenarnya ia sering menonton film. Hanya saja, karena ada adegan tanpa suara, maka ia sering tak mengerti maksudnya.

“Film ini akses banget buat kita. Karena ada narasi, saya jadi ngerti kalau ada adegan lucu,” ujar Lia yang datang bersama teman-temannya dari Yayasan Mitra Netra.

Zubaidah (25), tunanetra lainnya, berharap film tersebut bisa diperbanyak dan disebar ke berbagai daerah. “Biar teman-teman yang lain juga tahu betapa bagusnya isi film itu.” Zubaidah yang datang bersama anggota band-nya, memastikan akan datang jika ternyata ada bioskop yang memutar film semacam itu.

Ternyata, tak hanya para tunanetra yang mengharapkan hal tersebut. Penonton yang dapat melihat normal juga punya harapan serupa. Retno dan Yuni di antaranya. Menurut mereka, film Ketika sangat menarik karena memuat banyak pelajaran hidup.

“Semoga ada lagi program seperti ini,” kata Yuni, relawan di Yayasan Mitra Netra.

Selain pemutaran film, acara juga diisi kolaborasi musik antara Endah & Rhesa dengan pianis tunanetra, Yusak. Tiga buah lagu jazz yang mereka bawakan begitu bersemangat, sehingga membuat penonton turut bertepuk tangan dan menyanyi bersama.

“Don’t worry, be happy. One more time. Don’t worry, be happy,” Endah melantunkan tembang diikuti penonton.

Setelah itu, ada pembacaan cerita karya Bangkit Maharani, pemenang lomba cerpen hak azasi manusia, oleh Whani Darmawan. Rangkaian acara tersebut berlangsung dua hari, pada 12-13 Juni di Goethe Institut, Jalan Sam Ratulangi, Jakarta. Acara bertema “Menyimak Cerita, Memihak Kemanusiaan” tersebut merupakan kerja sama antara Kedutaan Besar Swiss, Yayasan Mitra Netra, Voice of Human Rights News Centre, Perkumpulan Seni Indonesia, dan Goethe Institut.

Pada hari kedua digelar ada workshop membuat buku braile, diskusi film, dan pementasan teater Meldict. Para pemain teater adalah orang-orang tunanetra. Pemetasan yang mereka bawakan adalah intisari dari kedua film tersebut.

Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Netra, Bambang Basuki, mengatakan, para tunanetra selama ini masih sangat terpinggirkan dari berbagai aspek kehidupan. Tak hanya pendidikan, ekonomi, politik, sosial, dan utamanya seni budaya.

''Diharapkan, masyarakat lebih paham tentang kebutuhan dan potensi tunanetra dalam bidang seni dan budaya,'' kata Bambang.

Oleh karena itu, lanjutnya, rangkaian acara ini semata-mata untuk menghormati dan memperjuangkan persamaan hak bagi kaum tunanetra. Bambang, yang juga tunanetra, mengakui, jika dalam film visual ada akses narasi. Tak ragu lagi kaumnya dapat menikmati film tersebut. “Atau hiburan visual lainnya,” ujarnya.

Awalnya ada yang menilai miring proyek itu, menganggapnya sekadar cari sensasi. “Apa mungkin? Apa ada manfaatnya? Yang jelas, pandangan seperti itu sudah mengecilkan peran tunanetra dalam segala aspek masyarakat,'' katanya.

Hal senada dikemukakan Duta Besar Swiss untuk Indonesia, Bernardino Regazzoni. Tapi, ia menyadari bahwa kegiatan ini hanyalah langkah kecil untuk menyediakan berbagai macam akses bagi penyandang cacat.

“Rangkaian acara ini sudah menjadi komitmen kami untuk membuka kesempatan bagi terciptanya hak asasi manusia dan akses mereka,” ujar Regazzoni.

Ika Karlina Idris

No comments: