Sunday, March 18, 2007

Jomblo-jomblo di Atas 30 tahun

Saya pernah menjomblo dalam waktu cukup lama. Saya tahu betul bagaimana rasanya kamu menginginkan seorang pacar dan bersedia melakukan apa saja untuknya!

Setiap kesendirian yang saya lalui sangat berharga. Kamu tahu, sinar matahari pagi tak hanya nampak indah kalau kamu punya pacar! Sinar matahari pagi juga tampak lebih indah, dan pastinya membawa harapan, kalau kamu sedang menjomblo.


Meski sering didera kecemasan, tapi ada dua hal yang membuat saya tenang, yaitu:

Ada lelaki yang diam-diam selalu menyayangi saya.
Hei, saya kan belum tua-tua amat! Jalan masih panjang kok, mah...

Nah, bagaimana kalau ternyata jalan sudah tak panjang lagi?

Saya akan bercerita tentang para jomblo yang usianya di atas 30 tahun. Mungkin, bagi beberapa orang sudah masuk usia panik.

Lelaki A, 36 tahun, dosen S3 di Leeds University, paras ganteng, incaran para reporter di kantor saya.
“Ka, sekarang kan udah nggak jaman cari pacar. Cari istri saja”
(Aduh mas! Kenapa bukan aku aja? Hehehe...)

Lelaki B, 32 tahun, jago nyanyi, kurus, paras tidak ganteng dan tidak jelek.
“Ka, aku nih nyari cewek yang diajak serius, kamu mau?”
“Aku kan punya pacar mas,” jawabku.
“Emang kamu udah serius ama pacarmu?”
“Serius,” tegasku.
“Serius pacaran atau serius buat nikah?”
“Hmm... Eh mas, ini komunikator bagus amat. Beli berapa? Aku udah lama nih pengen komunikator tapi nggak kesampean... bla...bla..bla..”
(Masalahnya, saya juga ragu harus menjawab apa)

Lelaki C, 34 tahun, kurus, item, paras jelek, pemikir, pendiam. Kalau ini, tidak tembak langsung. Awalnya, dia mengajak saya mengobrol via YM. Setelah itu, berfalsafah tentang hidup, dan sempat mengirimi puisi.

(Catat: Maaf saja buat kamu yang menganggap puisi itu picisan. Buat saya, puisi itu romantis)

Setelah itu, baru deh dia menjurus-jurus ke pertanyaan “itu”. Untungnya, sebelum benar-benar bertanya, saya keburu punya pacar dan rasanya dia tahu hal tersebut.

Lelaki D, 33 tahun, tinggi, badannya keren, paras... Hmm... Well... yang penting hatinya baik sekali. Saya sudah kenal dia sejak masih berseragam. Jujur saja, saya peduli dengannya dan segala yang terjadi dalam hidupnya. Dulu, dia tempat saya berkeluh kesah.


“Ka, gue rencananya mau dapat kerja di Freeport. Semoga dengan kerjaan ini hidup gue lebih baik. Gimana pun gue mau nabung dan punya rumah,” katanya dulu.
“Pasti dong. Gue harap juga kesempatan itu ada,” kataku.
“Iya nih.. Nah, kalau udah punya rumah, gue juga mau punya istri, biar ada tempat untuk berbagi. Lo mau gak jadi istri gue?”
“Lo serius?”
“Serius, ka!”
“Hah?? Hmm... gampang lah itu. (sambil memukul bahunya alias bahasa tubuh untuk berkata “Hei, kita ini teman kan?”) Lo kerja aja yang bener di sana.”

Jadi ya, saya tidak berniat untuk menunjukkan betapa lakunya saya. (Sumpah! Saya tak pernah merasa seperti itu). Saya hanyalah sasaran paling empuk untuk diajak nikah bagi lelaki-lelaki jomblo di atas 30 tahun!

Kenapa? Entah lah... Apa karena saya terlalu baik dan terlalu peduli ama mereka? Atau mungkin juga karena saya meniupkan angin-angin? Ah, rasanya tidak juga.

Yang jelas, lelaki-lelaki jomblo di atas 30 tahun lebih agresif dibanding perempuan-perempuan dalam kondisi yang sama. Meski sebentar lagi mendapat predikat perawan tua, kalau saya coba “jodohin”, perempuan-perempuan itu masih suka bertanya:

“Orangnya gaul gak?”
“SMA nya dulu di mana?”
“Tinggian mana ama gue?”
“Anaknya seneng diving kyk gue nggak?”
“Gajinya dua digit kyk gue nggak?”

See, ternyata perempuan jomblo lebih selektif daripada lelaki jomblo! Haha!

Cheers and Good Luck!

No comments: