Monday, January 01, 2007

Lie, Lier, and Statistic

*Katanya, ada tiga orang yang pertama kali masuk neraka. Mereka adalah pelacur, homoseksual, dan wartawan.

Ada tiga macam kebohongan. Pertama, lie atawa bohong itu sendiri. Kedua, lier atau pembohong. Dan ketiga adalah statistik atau kebohongan dalam memanipulasi angka-angka penelitian, dengan kata lain menampilkan hasil penelitian yang tidak ilmiah.

Saya melakukan kebohongan jenis ketiga hari ini. Hanya saja, saya tidak sendiri. Media massa yang lain ramai-ramai berbohong. Atau mungkin, kalau mereka bodoh, mereka dibohongi, lalu mereka ikut menyebarkan kebohongan.

Ceritanya begini, sebuah lembaga survei bernama Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengeluarkan hasil survei mereka tentang kinerja SBY-JK. Dalam rilis yang mereka sampaikan ke wartawan, dikatakan bahwa 65 persen responden mereka puas terhadap kinerja SBY-JK.

Kepuasan kinerja itu diukur dari tiga faktor, yaitu kondisi politik, keamanan nasional, dan penegakan hukum. Anehnya, responden mereka—yang berjumlah 1.227 orang di 33 provinsi—memberi nilai B untuk kemanan nasional dan C untuk dua faktor lainnya.

Pikir saya,”Kenapa masyarakat bisa berkata puas kalau nilai yang mereka berikan adalah C?”

Karena “*ditugaskan” untuk menulis tentang hasil riset itu, saya pun menelepon penelitinya dan bertanya tentang keanehan tersebut.

Anis Baswedan, nama peneliti itu, berkata bahwa kekuatan politik utama SBY adalah popularitasnya. Publik senang dengan figur SBY. Jadi, kalau ditanya tentang kondisi secara keseluruhan, mereka akan bilang bagus.

“Tapi, kalau diturunkan jadi detil mereka ternyata tidak puas. Sebagai contoh, kalau ditanya tentang kondisi ekonomi sekarang, mereka akan bilang terjadi perbaikan dan mereka optimis perbaikan ini terus terjadi.

TAPI, waktu ditanya kemampuan mencukupi kebutuhan pokok dan energi, seperti minyak tanah, mereka semua berkata bahwa beban mereka bertambah. Sembako makin mahal, minyak tanah semakin jarang. Maka itu, ada nilai C,” kata Anis.

Setelah mewawancarai Anis, lewat telepon, saya pun kembali ke meja saya. Untuk berpikir tentang angle yang akan saya gunakan di tulisan saya nantinya.

Sambil membaca rilis dari LSI, iseng-iseng saya melihat ke penjelasan tentang penelitian tersebut. Dan...Gotcha! Di situlah saya menemukan kejanganggalan-kejanggalan.

[Thanks to my lecturers. Meski sering megantuk dan bosan, sehingga kurang menangkap kuliah anda-anda, tapi sedikit-banyak adalah Metodologi Penelitian Komunikasi Terapan yang menempel di sisa-sisa otak saya.]

Kejanggalan pertama, sample yang LSI ambil ternyata tidak representatif. Dalam hal ini, berkaitan dengan tingkat pendidikan responden. Dari 1.227 responden, hanya 7,2 persen yang pendidikannya perguruan tinggi dan di atasnya. Sedangkan 52 persen responden hanya lulusan SD atau di bawahnya.

Ya ampyun! Pantas saja mereka menjawab puas. Tingkat pendidikan yang mereka tempuh tidak bisa dijadikan bekal untuk menilai kinerja seorang presiden. Dengan kata lain, lulus SD geetoo loh! Bisa baca-tulis aja udah untung!

Kejanggalan kedua, adalah pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan responden. Misalnya seperti ini:

Kemampuan SBY dalam menjaga keaman nasional anda nilai baik atau sangat baik?

Penegakan hukum yang dilakukan SBY selama ini anda nilai baik atau sangat baik?

Eits! Tunggu sebentar Tuan peneliti! Jadi pilihannya cuma baik atau sangat baik? Bagaimana dengan sangat tidak baik dan tidak baik?

Kejanggalan ketiga, masih seputar pertanyaan-pertanyaan itu. Ditanyakan tentang kemampuan SBY menjaga keamanan nasional, tapi Ke-A-Ma-Nan Na-Sio-Nal yang mana ya? Di Aceh? Poso?

Lalu, Pe-Ne-Ga-Kan Hu-Kum yang mana ya? Menjerujikan koruptor atau pencuri jemuran?

Dan, hei! Apakah lulusan SD itu mendapat cukup informasi tentang kondisi keamanan dan penegakan hukum di tanah air?

Jadi, kesimpulannya, dengan sangat mudah dan tanpa pikir-pikir saya menyatakan bahwa hasil survei itu mengandung banyak kesalahan. Alias, tidak ilmiah.

Dengan bersemangat, saya katakan hal itu ke redaktur pelaksana saya. [Oh iya, kalau-kalau kamu tidak tahu, redaktur pelaksana itu jabatannya ada di atas redaktur, tapi masih di bawah pemimpin redaksi. Setiap media massa punya struktur yang berbeda satu dan lainnya]

Dia bilang begini,”Wah bagus itu. Tapi Ika, itu untuk bahan diskusi di kampus saja. Untuk tulisan kamu, coba bikin dengan angle koran kita saja. Tentang metodologi survei ini, bisa jadi bahan diskusi kita di lain waktu.”

Hmm... Saya juga sebenarnya tidak berharap banyak.

Lalu, saya kembali ke meja saya dan mengetik 3000 karakter. Tapi, meski harus dipoles habis-habisan, kejanggalan penelitian itu tetap saya masukkan. Selain itu, saya juga masukkan pernyataan responden bahwa beban mereka bertambah, terutama untuk memenuhi kebutuhan pokok dan energi.

Yah... Memang sih, sesuai dengan struktur penulisan berita—piramida terbalik—ketidakilmiahan penelitian itu saya taruh di bawah. Dengan kata lain, dapat dipotong kalau jumlah karakternya kelebihan. Hmm... sebenarnya sih bisa dipotong dengan alasan apapun, misalnya tidak sesuai dengan kebijakan media. Hehehe...

Yah... Paling tidak kan saya sudah mencoba. Hehehe...

Cheers!

Ps: Saya janji besok-besok akan lebih menyimak kuliah dosen, sebosan apapun materi yang dia berikan. Yakini saja bahwa akan ada gunanya suatu saat.

*
Kalau tidak lupa ingat, saya membaca tulisan itu tembok kamar kos Dimas, mantan ketua himpunan mahasiswa Jurnalistik Unpad.

[Sebenarnya sih, ini bukan hasil liputan saya. Kebetulan saja tempat dipublikasikannya hasil penelitian ini berada satu gedung dengan tempat liputan saya, Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta. Waktu itu, saya kebetulan lewat dan lihat ada ramai-ramai, ternyata acaranya sudah selesai. Jadi, saya cuma mengambil rilisnya dan pulang. Sampai di kantor, ternyata beberapa orang redaktur membicarakan hasil penelitian itu yang mereka lihat di Detik.com. Saya bilang ke mereka kalau saya dapat rilisnya. Dan jadilah saya yang “ditugaskan” menulis beritanya]

No comments: