Wednesday, November 29, 2006

Tema Jurnal Perspektif edisi Senin, 27 November 2006 tentang kemungkinan penerapan Balanced Scorecard di lembaga pemerintah. Seluruhnya ada 14 tulisan, tapi yang saya posting hanya 5. Tanpa bermaksud merendahkan intelektulitas kamu, tulisan yang lain terlalu teoritis. Jadi tidak saya posting.

Balanced scorecard adalah alat ukur yang digunakan untuk menilai kinerja suatu perusahaan. Ada empat aspek yang diukur, yaitu pertumbuhan dan pengembangan, proses bisnis, kepuasan kostumer, dan keuangan.

Sayangnya, di lembaga pemerintah kita ukuran ini belum jelas. Lalu bagaimana kalau digunakan di sana? Silahkan baca saja tulisan-tulisan saya yang membosankan ini..



Nilai untuk Naik Kelas

Jakarta-Jurnal Nasional

Dalam sebuah kelas, terlihat murid-murid tak sabar untuk menerima buku rapor mereka. Yang paling penting, mereka tak sabar ingin tahu apakah mereka naik kelas atau tidak.

“Badu, maju ke sini,” ujar Pak guru.

Badu si bintang kelas pun maju dan menerima buku rapor miliknya. Dibukanya dan dilihatnya setiap angka yang tertulis.

Naik ke kelas 6, begitu tertulis di sana. Badu juga melihat bahwa ia mendapat nilai 9 untuk pelajaran matematika, 8 untuk bahasa Indonesia, dan Badu tak memperhatikan selebihnya. Sederetan huruf C di kolom bawah membuatnya heran.

Nilai C untuk kelakuan, C untuk kebersihan, dan C untuk kerapihan.

Untuk Badu si Bintang Kelas, nilai C tak ada dalam kamusnya.

Ia pun kembali ke pak guru dan bertanya, “Pak, kenapa bapak beri nilai C untuk kebersihan saya?”

Tanpa menoleh, pak guru menjawab,”Karena kamu sering membuang sampah di kolong meja.”

“Lalu, kenapa C untuk kerapihan saya?” tanya Badu lagi.

Kali ini pak Guru mengangkat wajahnya dari tumpukan buku rapor dan berkata,”Karena kamu jarang memakai dasi.”

Dengan suara meledak-ledak, ia berkata,”Pak, apa bapak menghitung seberapa sering saya membuang sampah ke kolong meja dan seberapa jarang saya memakai dasi? Lalu, apa bapak juga menghitung hal yang sama untuk murid-murid lainnya? Jadi, kalau nilai saya C, berapa kali dalam setahun ini saya membuang sampah ke kolong meja pak?”

Pak guru pun bingung harus menjawab apa. Menurutnya, kelakuan, kebersihan, dan kerapihan cukup dilihat dan diamati saja. Memangnya perlu mengukur hal-hal tersebut dengan angka?

Pengukuran yang tidak jelas terjadi pula di lembaga-lembaga pemerintahan kita. Menurut Yono Reksoprodjo, konsultan strategi perusahaan, dalam laporan tahunan pimpinan puncak dalam suatu organisasi cukup mengatakan bahwa programnya berhasil. Tapi, tak jelas apa ukuran keberhasilan tersebut.

Atau mungkin, ada pejabat negara yang berkata di media massa bahwa ia sukses dalam memimpin jajarannya. Lagi-lagi tak ada ukuran untuk kesuksesan yang ia katakan.

Pentingnya alat ukur bagi kinerja pemerintah juga mendapat tanggapan dari Syarief Hasan, anggota Komisi XI DPR RI. Menurutnya, alat ukur yang jelas harus digunakan untuk mengukur kinerja departemen.

“Kalau presiden sudah punya alat ukurnya, semisal balanced scorecard, tentunya gampang kalau mau mengawasi menteri-menterinya. Adapun indikator keberhasilan harus ditetapkan bersama agar mereka komit dengan hal tersebut,” urai Syarief.

Menilai performa suatu lembaga negara memang tak semudah menilai hasil ujian Badu. Yang jelas, ukuran-ukurannya sudah ada. Dalam balanced scorecard, misalnya, terdapat empat prinsip dasar dalam mengukur kinerja, yaitu pertumbuhan dan pengembangan, proses bisnis, kepuasan kostumer, dan keuangan. Hanya butuh kebijakan dan pengawasan yang tegas.

Lantas, apakah ukuran ini akan digunakan? Agar jika ada yang bertanya tentang penilaian tersebut, Presiden tidak akan kebingungan. Seperti Pak guru yang bingung menjawab pertanyaan Badu. (Ika Karlina Idris)

No comments: