Friday, September 15, 2006

Saya Merusak Maka Saya Ada

Jakarta-Jurnal Nasional

Ruang pengadilan Mahkamah Agung (MA) di gedung Uppindo, Jakarta Selatan, dirusak massa pendukung Lukas-Alex Hasegem pada Selasa (23/05). Massa yang diduga dari KPU Daerah Papua membalikkan kursi dan mematahkan pagar kayu pembatas. Selain itu, salah satu meja sidang ambruk karena kakinya patah.

Di luar gedung, beberapa orang melempari kaca depan hingga pecah. Bahkan ada pula yang merusak lampu taman.

Perusakan fasilitas umum bukanlah hal yang baru. Lihatlah kondisi di sepanjang jalan. Banyak halte yang dicoreti, lampu penerang jalan yang dipecah, rambu-rambu lalu lintas dan pagar pembatas yang dicabuti.

Bahkan, telepon umum yang dapat berfungsi dengan baik sangat jarang ditemui di Jakarta. Seringkali, gagang telepon lenyap, tempat koin dicungkil ataupun diganjal, tombol-tombol nomor telepon dicopoti, atau kaca-kaca rumah telepon pecah dan dipenuhi coretan.

Menurut Humas Dinas Pekerjaan Umum Agus Muharam bentuk vandalisme yang biasa ditemuinya berupa pengerukan daerah aliran sungai (das) dan pencabutan pagar di beberapa waduk, misalnya Sunter, Pluit, dan Ria Rio (Pulomas).

“Selain itu ada pula penyerobotan aset. Misalnya para pedagang kaki lima yang berjualan di trotoar. Karena mereka ditarik retribusi, makanya mereka merasa memiliki,” ujar Agus.

Menurut Sosiolog Budi Radjab, ada dua hal yang mendorong seseorang melakukan vandalisme, khusunya warga DKI Jakarta. Pertama, karena mereka ingin menunjukkan identitas, baik secara pribadi maupun kelompok.

“Dengan adanya coretan atau tulisan, berarti seseorang memberikan tanda keberadaannya,” ujar Budi.

Kedua, adanya ketidaksukaan terhadap fasilitas umum. Ada kelompok tertentu yang tidak suka dengan fasilitas umum karena berbagai alasan. Bisa jadi karena letaknya yang tidak pas, tampilannya yang jelek, atau sekedar tidak suka.

Hal tersebut diakui oleh Joni (bukan nama sebenarnya). Sudah 13 tahun ia sering menggambari tembok, papan iklan, ataupun pagar-pagar di ruang publik. Bahkan, dulu ia sering mencabuti rambu-rambu di pinggir jalan untuk dikoleksi.

“Kalau ada billboard (papan iklan) yang baru dipasang dan menghalangi pandangan mata gue, biasanya gue lemparin bom cat, biar iklannya nggak keliatan. Gue pikir itu nggak ngerugiin. Kan ada pohon yang dipotong lalu diganti ama pohon besi (billboard),” ujarnya.

Lelaki usia 26 tahun ini juga mengaku bahwa ia melakukannya hanya untuk bersenang-senang. Sewaktu kuliah, Joni pernah membuat stensil grafitti di dinding kampusnya. Grafitti itu adalah gambar dirinya dengan kata bertuliskan ‘poor ugly happy’.

Karena sudah hampir setahun tidak melakukannya, kerinduan tersendiri yang dirasakan pustakawan sebuah sekolah swasta di bilangan Kelapa Gading ini.

“Tidak ada kegiatan yang menyenangkan yang bisa dilakukan di Jakarta. Semuanya hanya rutinitas aja,” kata Joni.

Menurut Budi vandalisme ada karena budaya Indonesia memang membentuk masyarakat yang seperti itu. Masyarakat belum sadar perbedaan antara milik pribadi dan milik umum. Semuanya karena sistem pendidikan yang salah.

“Sekolah kita belum memberi pelajaran yang benar tentang apa itu trotoar atau tentang siapa yang memiliki trotoar. Itu karena ada pengelolaan fasilitas umum yang ekslusif. Misalnya trotoar yang dikomersilkan dengan menarik retribusi atau gelanggang olahraga dan taman yang dipagari,” katanya.

Dalam sistem pendidikan, hal terbut harus ditekankan. Jangan ada kesan bahwa kepemilikan fasilitas umum dikuasai oleh pemerintah.

Untuk menangani hal ini ada tiga hal yang dapat dilakukan. Pertama, melakukan penyadaran terus-menerus bahwa fasilitas umum adalah untuk kepentingan orang banyak. Merusaknya, berarti merugikan masyarakat.

Kedua, harus ada sosialisasi tentang sumber pendanaan fasilitas umum. Jika ada perusakan, berarti uang masyarakat yang terkumpul dari pajak akan terbuang sia-sia.
Ketiga, harus ada kontrol dari aparat. Baik itu dilakukan langsung ataupun diwakilkan ke lembaga yang ada di masyarakat.

Budi berujar, “Kontrol itu harus dilakukan secara konsisten. Selama ini memang ada kontrol, tapi tidak konsisten, bahkan kurang sekali.”

Hal tersebut diakui juga oleh Agus. Menurutnya, selama ini Dinas PU hanya menangani untuk persiapan, pembangunan, dan pemeliharaan. Tapi, tidak melakukan pengawasan.

“Dinas Tamtrib (Ketentraman dan Ketertiban) harusnya bertindak sebagai polisi Perda 11 tahun 1988. Apapun yang menyangkut aset Pemerintah Daerah, diawasi oleh Tramtib,” kata Agus.

Perda 11 tahun 1988 mengatur tentang ketertiban umum di wilayah khusus Ibukota Jakarta. Diantaranya disebutkan bahwa kecuali atas izin Gubernur Kepala Daerah, setiap orang dilarang membuat, memasang, memindahkan, membuat tidak berfungsi rambu-rambu lalu lintas dan melakukan perbuatan yang merusak sebagian atau seluruh badan jalan dan membahayakan keselamatan lalu lintas. (Ika Karlina Idris)

No comments: