Friday, September 15, 2006

Mengendalikan Peredaran Narkoba dari Penjara

Jakarta-Jurnal Nasional

Dua orang petugas Lapas Narkoba Cipinang Jakarta Timur ditangkap Kepolisian Daerah Metro Jaya, Rabu (28/6) karena mengedarkan shabu-shabu. Zaenudin (23) dan Nusantara Ariyanto (27) adalah kaki tangan dari seorang napi, yaitu Kamir Santoso, yang ditahan di tempat mereka bertugas.

Kamir memang tahu bagaimana memanfaatkan orang lain. Ia menjadi napi di Lapas Narkoba Cipinang sejak tahun lalu. Sebelumnya, ia adalah tahanan di lapas Suka Miskin, Bandung.

Ditempat itu, Kamir dihukum 9 tahun penjara karena menjadi pengedar narkoba. Sebelum masa tahanannya habis, pada 2003 ia melarikan diri dengan menyogok seorang petugas lapas.

Kini, 3 tahun kemudian, ia pun kembali memanfaatkan dua sipir lapas untuk menjalankan bisnis haram tersebut.

Menurut Kepala Satuan Psikotropika Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Polisi Hendra Joni, pada Juni 2006, ada 3 kasus serupa. Ia juga mengakui bahwa fenomena beredarnya narkoba di dalam lapas sudah terjadi sejak lama dan sulit untuk memutuskan rantainya.

Di dalam lapas, terdapat para bandar besar Narkoba. Mereka tentu sudah memiliki jaringan yang luas dan jumlah konsumen yang sangat banyak. Meski para bandar di tahan, mereka tetap akan berhubungan dengan konsumen mereka.

Ketergantungan seseorang terhadap narkoba tidak akan berhenti meski pemasoknya ditahan. Konsumen pun akan selalu mencari barang tersebut, sehingga mereka akan terus mencoba menghubungi si bandar.

Joni menjelaskan bahwa bagaimanapun juga, bandar tentu butuh uang. Meski ditahan sekalipun, mereka masih punya kaki tangan yang ada di luar lapas. Kaki tangan inilah yang nantinya menjalankan bisnis mereka.

“Para bandar narkoba itu malah senang kalau ditahan. Soalnya mereka masih bisa menjalankan bisnis dari dalam lapas. Ibaratnya mereka seperti masuk ke hotel saja, bisa makan, minum, dan tidur gratis. Mereka juga tidak perlu takut tertangkap, kan sudah di dalam tahanan,” paparnya.

Di dalam lapas, para bandar juga akan mencari “orang-orang baru” untuk dijadikan perantara ataupun kurir. Biasanya, mereka akan mengincar sipir ataupun tahanan yang sebentar lagi bebas. Sekeluarnya nanti, “orang-orang baru” ini diharapkan memperluas jaringan yang sudah ada.

Para sipir mereka “rekrut” agar ada orang dalam yang memasukkan barang tersebut ke lapas atau paling tidak sipir inilah yang menjembatani komunikasi si bandar dengan kaki tangannya.

Lihat saja apa yang terjadi pada awal Maret lalu. Saat itu sindikat penjual ganja dan shabu-shabu di Lapas Cipinang berhasil dibongkar oleh Polres Metro Jakarta Timur. Sindikat tersebut melibatkan seorang sipir, yaitu Budi Silistio (25), serta tiga orang napi, yaitu Suryadi (25), Sabri bin Sabar (32), dan Banta.

Budi berperan sebagai pemasok, sedang barang haram tersebut didapatnya dari Ali yang hingga kini masih buron. Setelah diupah sebesar 500 ribu rupiah, sipir yang sudah bertugas selama 4 tahun tersebut, menyerahkan ganja ke Suryadi.

Suryadi yang merupakan napi kasus shabu-shabu lalu menyerahkannya ke Sabar, dan kemudian berpindah ke tangan Banta. Banta inilah yang bertindak sebagai bandar narkoba di dalam penjara. Saat ini semua tersangka sedang dalam proses pengadilan di PN Jakarta Timur.

Selain itu, banyak pula kasus dimana para bandar besar yang berada dalam lapas tetap mengendalikan peredaran narkoba yang ada di luar.

Menurut Joni, hal ini dmungkinkan karena ada sipir yang mau saja diperalat sebagai jembatan komunikasi. “Entah mereka sebagai penghubung langsung atau pun hanya meminjamkan ponsel mereka ke Napi,” ujarnya.

Tahun lalu, pihaknya pernah menangkap tiga orang kurir yang semuanya perempuan, yaitu Fanny Sintya, Ningsih, dan Triyatimi. Rupanya dua orang dari mereka adalah istri dari bandar besar yang sedang ditahan di Lapas Cipinang. Masing-asing mereka adalah George Obinna alias Andi dan Nwaolisa Hansen alias Anthony.

Kedua napi yang berwarganegara Nigeria tersebut masih dapat memesan heroin dari luar negeri dengan menghubungi bandar di sana via ponsel. Selain itu, mereka juga mengendalikan peredarannya via ponsel ke tiga kurir mereka. Dan semuanya mereka lakukan di dalam lapas.

Joni yang seminggu lalu menembak mati seorang pengedar shabu-shabu ini berkata, “Kuncinya ada di jalur komunikasi. Sebenarnya, sudah ada larangan bagi setiap petugas lapas ataupun pengunjung untuk membawa ponsel mereka. Saya sendiri pun jika datang ke sana harus menitipkan ponsel saya.”

Kepala Lapas Narkoba Cipinang, Jakarta Timur Wibowo Joko Harjono mengatakan bahwa hal tersebut sebenarnya sudah ia antisipasi. Bahkan, sejak sebulan ini pengamanan lapas diperketat.

“Tapi, tentu saja tidak semua bisa kami kontrol. Meski dalam perekrutannya harus melewati tes kepantasan dan kepatutan, namun sipir lapas kan manusia juga. Pasti ada saja hal yang bikin mereka tergiur dengan tawaran untuk mengedarkan narkoba,” katanya.

Untuk itulah, selama enam bulan kedepan, ia akan mengintensifkan operasi pembersihan narkoba di lapas. Dengan ditahannya beberapa sipir, ia berharap hal tersebut akan menjadi shock therapy bagi sipir yang lain.

Bahkan, ia juga meningkatkan stressing bagi para sipir. Tidak hanya melalui skorsing namun juga menyelipkan informan-informan.

Selain itu, penyebab lain yaitu terbatasnya jumlah sipir dengan jumlah napi. Di lapas yang dipimpinnya itu, terdapat 1256 napi, sedang sipir yang ada hanya 175 orang. Padahal, untuk mencapai pengamanan yang ketat, minimal sipir berjumlah 306 orang. Saat ini ia memang mengadakan penambahan jumlah pegawai, namun secara bertahap.

Lelaki yang pernah menjabat kepala lapas di Rutan Kelas I Surabaya ini menjelaskan, ”Membimbing dan membina napi kasus narkotika berbeda dengan napi kasus pembunuhan atau pencurian. Kenapa? Karena napi sudah ketergantungan dengan narkoba. Kalau orang sudah ketergantungan, betapapun mahal atau susahnya barang tersebut diperoleh, mereka tentu akan mengupayakan segala cara.”

Sebab itulah, pihaknya juga mengadakan rehabilitasi terpadu bagi para napi. Rehabilitasi ini mencakup rehabilitasi medis, mental, dan spiritual.

Dari sisi medis, ketergantungan napi akan dihilangkan dengan memberi obat jenis D5 yang berfungsi sebagai detoksifikasi. Setiap hari selama dua minggu tenaga medis di lapas akan memberikan mereka sesuai dengan dosis yang ada. Diharapkan, setelah dua minggu ketergantungan mereka akan berangsur hilang.

Dari sisi mental kami mengajarkan keterampilan dan melakukan penggeledahan rutin setiap dua mingu atau penggeledahan insidentil jika dibutuhkan. sedang dari sisi spiritual tentu saja dengan memberi siraman rohani.

Sedangkan menurut Ketua Umum DPP Gerakan Anti Madat (Granat), Henry Yosodiningrat, untuk mengatasi permasahalan narkoba di lapas, haruslah difokuskan pada sipirnya.

“Langkah terpenting adalah melakukan revolusi besar-besaran. Kalau perlu, semua sipir diganti karena mereka yang sudah tua, biasanya sudah terjebak dalam sistem,” ujar pengacara handal ini.

Selain itu, pendidikan moral dan etika calon sipir harus dibenahi. Dirinya mengakui pernah membincangkan hal ini dengan Meneteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin.

Menurutnya, Hamid juga mengakui bahwa tak ada satupun rutan di Indonesia yang bebas dari peredaran narkoba. Karena itulah, moral mereka harus dibangun sejak masih dalam tahap pendidikan.

“Memang mereka PNS, dan alasan yang paling banyak digunakan sebagai pembenaran adalah gaji PNS yang kecil. Tapi saya tidak setuju. Masih banyak PNS yang bisa hidup sederhana karena memang moralnya kuat,” katanya. (Ika Karlina Idris)

No comments: