Wednesday, January 10, 2007

Setiap Orang adalah Pahlawan dari Dirinya Sendiri

Sudah seminggu ini saya dipindah ke desk ekonomi. Utamanya, yang berhubungan dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Di alaman Jurnal BUMN, harus ada pelaporan mendalam tentang BUMN. Minimalnya, tiga tulisan dengan tema yang sama.

Lalu, pada suatu hari, saya disuruh meliput konfrensi pers awal tahun yang diadakan Perum pegadaian. Karena sebelumnya sudah pernah meliput konfrensi pers akhir tahun, saya pikir nanti kondisinya tak jauh berbeda.

Dan ternyata saya benar. Kedua liputan itu serupa. Ada rilis tertulis yang dibagikan ke wartawan dan Direktur Utamanya mau diwawancarai.

Sesudah itu, saya memutuskan untuk kembali ke kantor dan mengetik apa-apa saja yang sudah saya dapat di lapangan. (Sebenarnya sih, di aula ber-AC dengan hidangan Buffet yang melimpah. hehehe)

Pikir saya, ”Hari ini saya bisa pulang lebih sore, lalu bertemu pacar saya, lalu pulang ke rumah, lalu menyempatkan membaca sebelum tidur.”

Tepat saat mobil saya masuk ke halaman kantor, redaktur saya menelepon.

”Halo ika, sudah dapat apa saja?,” kata redaktur saya yang tambun.
”Ini mas, dapat bla...bla..bla...,” jawab saya sambil menyetir dengan satu tangan.
”Bagus. Bikin tulisan panjang ya,” tambah redaktur saya.

Hah?? Tulisan panjang? Memangnya bahan yang saya dapat cukup untuk 3 tulisan dengan karakter minimal 2500???

”Oke mas, nanti kita omongin di atas. Saya udah di parkiran nih,” kata saya sambil mengerem mendadak.

Sampai di atas, saya memutar otak secepat mungkin. Angle-nya apa aja ya? Sayang, redaktur saya keburu datang.

”Ka, gimana?” tanyanya.

Dan kami pun berdiskusi panjang. Hasilnya, angle berita saya tentang: program pinjaman dana tanpa agunan, perubahan status Pegadaian, dan Pendapat pakar (Hehehe... STD!)

Sore itu kawan, adalah sore terberat selama tiga bulan terakhir. Kenapa?
Karena:
1. Bahan yang saya dapatkan kurang untuk tiga tulisan.
2. Saya harus beradaptasi secepat kilat dengan istilah ekonomi.
3. Saya harus mewawancarai pakar yang sangat pintar (dan kritis) sehingga bertanya kembali setiap pertanyaan yang saya ajukan.
(Asal kamu tahu saja, saya paling sebel dengan nara sumber seperti ini. Hihih!)

Sore itu kawan, dengan segenap usaha dan kemampuan analisa yang saya miliki, akhirnya saya pun membuat tiga tulisan panjang tentang pegadaian.

Meski beberapa kali redaktur saya harus mengingatkan deadline.

”Ka, ditunggu lho tulisannya.”
”Ka, udah belum? Kalau bingung, tulis apa adanya saja, nanti saya yang tambah-tambahin.”

Well, tepat pukul 19:17 WIB tulisan saya selesai. Alih-alih, lega, saya malah merasa eneg, mual, kecapaian, dan kelaparan. Ketiga tulisan itu benar-benar menguras energi saya.

Saya pun lalu menelepon pacar saya, kami janjian makan di satu tempat, dan saya makan dengan lahap. Tidak pernah selahap ini, selama sebulan terakhir. Tak ada diet-dietan malam ini. Kalau mau tahu, saya makan sepiring nasi goreng, salad, dan segigit burger pesanan pacar saya.

Keesokan malamnya, saya bercerita tentang apa yang saya alami ke teman saya, Devi. Dan ternyata dia baru saja mengalami hal yang sama.

Devi harus menulis untuk halaman Jurnal Inspirasi. Sebelumnya, tulisan itu diisi oleh wartwan lain. Satunya sejarawan dan satunya lagi penggemar filsafat.

Yang pasti, Devi harus bertempur habis-habisan melawan ketidaktahuannya. Dia membaca banyak artikel dan menyarikan semuanya ke dalam satu tulisan. Dan, tulisan dia terpilih sebagai headline halaman edisi mingguan.

[Yey! We really did it, Dev!]

Malam itu, sehabis menulis begitu banyak, saya makan begitu banyak juga. Saya kekenyangan dan bahagia. Saya tiak tahu apa Devi juga makan banyak setelah itu, yang jelas dia juga merasa senang.

Masing-masing kami memenangkan pertempuran kami. Kami adalah pahlawan untuk diri kami sendiri. Saya yakin, kamu juga pernah menjadi pahlawan untuk diri kamu sendiri.

Cheers!

Ps: Kata teman saya Cindy, bukan happy worker, work harder. Tapi sebaliknya..

No comments: