Sunday, May 28, 2006

Feature ini terinspirasi dari tulisan Seno Gumira Adjidarma dalam buku Affair: Obrolan tentang Jakarta.
Saya sangat bersemangat sewaktu meliput dan menuliskannya. Sayang, redaktur saya bodoh. Fetaure yang dimuat di koran jadi jelek dan kehilangan esensi dari apa yang ingin saya sampaikan.
Karenanya, saya masukkan ke sini untuk kamu baca, kamu tangkap maknanya, dan kamu kritisi. Untuk membuat saya terpacu menulis dengan baik.
Enjoy!
Membeli Air Terjun
Gemericik air yang jatuh ke kolam dan suara gesekan tanaman bambu menemani Abdul Muis (61) di halaman rumahnya. Ia duduk di sebuah kursi taman sambil memandangi ikan-ikan koi yang berenang di kolam.

Di suatu siang, Emely (55) berdiri di tengah-tengah taman rumahnya. Ia sedang mengamati percikan air yang tumpah dari air terjuan buatan ke kolam renang di tengah taman. Suara air mengalir dari ketinggian 3 meter menambah kesejukan taman di halaman rumah Emely.

Di kiri dan kanan bawah air terjun, terdapat tanaman-tanaman hias, seperti anggrek, bougenville, dan mawar. Selain itu, terdapat pula pot-pot besar tanah liat yang seolah menyatu dengan nuansa terakota dari keseluruhan taman.

Muis dan Emely senang menikmati air terjun buatan yang ada di halaman mereka. Air terjun buatan, kolam hias, taman bunga, atau gazebo taka sing lagi dijumpai di rumah-rumah warga Jakarta.

Seringkali taman tersebut juga dihiasi dengan relief binatang seperti Bangau, Kuda, Ikan, dan Jerapah. Bahkan, ada pula yang menghias tamannya dengan relief dewa-dewa Yunani, Yesus, dan Bunda Maria.

Karenanya, di beberapa jalan seringkali terdapat pembuat taman ataupun air mancur. Mereka ada di sepanjang jalan Ahmad Yani (Pulomas), seberang Taman Ria Senayan, sekitar terminal Lebak Bulus dan daerah Klender.

Menurut salah seorang pembuat air terjun di daerah Pulomas, Sugian Togatorop, biaya pembangunan air terjun bervariasi. Biasanya sekitar 500 ribu sampai 1 juta rupiah per meter. Tinggi air terjun pada umunya 3 meter, meski ada juga yang membangun lebih tinggi.

“Saya bahkan pernah membangun air terjun seharga 200 juta di salah satu rumah sekretaris menteri di daerah Cipulir. Air terjun itu tingginya 12 meter dan dilengkapi dengan 3 kolam besar. Luas tanahnya 400 meter dan dikerjakan 15 orang selama 2 bulan,” cerita Sugian.

Menurutnya, jika dilihat dari bawah kolam itu menyerupai gunung. Apalagi dengan gazebo ukuran besar dan kolam dibuat bertingkat-tingkat.

Untuk tren saat ini, banyak orderan untuk air terjun minimalis, yaitu yang menempel di tembok. Batu alam yang digunakan pun biasanya batu andesit yang berwarna hitam atau putih.
Jenis ini diminati karena praktis dalam perawatan dan tidak berisik. Tidak seperti air terjun klasik yang bertingkat-tingkat, jenis air terjun ini tidak butuh ruang yang luas. Walau luas tanah hanya 1 meter, tapi tetap bisa dibangunkan air terjun minimalis.

Selama 25 tahun menekuni usaha ini, Sugian melihat bahwa warga ibukota membangun air terjun dan kolam hias di rumah mereka tidak hanya untuk estetika.

“Mendengar suara air terjun, melihat ikan-ikan yang berenang, ataupun melihat air yang mengalir bisa menghilangkan stres. Apalagi warga ibukota biasanya hanya melihat gedung-gedung bertingkat,” ujar Sugian.

Menurut ahli sosiologi perkotaan Tubagus Haryo, hal ini bisa jadi karena taman umum yang baik sangat jarang dijumpai. Kalaupun ada, justru malah dipagari sehingga menghalangi warga untuk mengaksesnya.

“Taman kota memilki banyak fungsi. Pertama, sebagai paru-paru kota. Kedua, sebagai public space (ruang terbuka umum), tempat dimana maksyarakat berkumpul sambil menikmati suasana yang asri. Malahan, public space bukan di taman tetapi di pusat perbelanjaan,” ujar Tubagus yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Forum Warga Jakarta.

Selain itu, ada juga fungsi psikologis, yaitu untuk melepas kepenatan seusai bekerja. Hal ini diakui pula oleh Muis yang sehari-harinya bekerja sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah.

Warga Ciputat ini bahkan memiliki dua air terjun yang masing-masing dilengkapi kolam hias di rumahnya. Di halaman depan, air terjun setinggi 3 meter dilengkapi dengan kolam ikan. Satu lagi di tengah rumah berukuran lebih kecil namun dihiasi dengan batu alam dan rumpun bambu jepang.

Meski membutuhkan biaya sebesar 4 juta rupiah, namun menurutnya sangat banyak manfaat yang ia peroleh dari air terjun di rumahnya.

“Air terjun dan kolam berfungsi untuk terapi alam, sirkulasi udara, dan menghilangkan stres. Hal ini perlu karena dalam hidup butuh keseimbangan. Tidak hanya antara dunia dan akhirat, namun jasmani dan rohani kita juga. Setelah bekerja seharian, kita butuh olah raga dan melihat yang hijau-hijau untuk keseimbangan pikiran,” ujar lelaki yang gemar memandangi ikan-ikan koinya.

Lain lagi menurut Emely, awalnya ia membangun kolam renang dan air terjun untuk menambah nilai jual rumahnya. Meski hanya berukuran 4x6 meter, tapi ia menghabiskan biaya sekitar 50 juta untuk pembangunannya.

“Setelah ada air terjun dan kolam, saya jadi suka jalan-jalan di taman. Saya suka mendengar suara airnya. Seperti berada di gunung,” ujar Emely yang bekerja sebagai karyawan swasta di sebuah perusahaan minyak.

Budayawan dan sastrawan Seno Gumira Ajidarma dalam bukunya berjudul Affair: Obrolan tentang Jakarta juga menangkap fenomena ini. Menurutnya, air terjun dalam rumah adalah suatu karya baru, ketika manusia Jakarta yang terpaksa hidup berdesak-desak menerjemahkan alam dalam dirinya yang merindukan sesuatu.

Hal tersebut adalah gemericik air yang membawa warga Jakarta ke suatu tahap kontemplatif.

“Bukan sekedar masalah ruang yang sedang dihadapi di sini, melainkan kejiwaan – dan seterusnya…” (IKA)

No comments: