Tuesday, April 01, 2008

Waktunya untuk Berkomitmen

Saya memutuskan untuk menikah.
Saat Nala bilang kalau tidak ada alasan untuk menunda. Semakin menunda, akan semakin ragu.

Saya memutuskan untuk menikah saat Nala menjadi sangat bawel, sangat cerewet, dan sangat rese’. Semua dikomentarinya, semua dikeluhkannya, semua dikritiknya. Dia menjadi saya.

Saya memutuskan menikah saat saya lebih bersikap positif, lebih sedikit bicara, dan lebih menerima hal-hal yang sudah terjadi. Saya menjadi dia.

Saya memutuskan untuk menikah ketika pada suatu sore, kami menyusuri Jakarta dengan motor dan dia bilang, “Kesayanganku itu cuma kamu.”

Seorang teman pernah bertanya, “Kot lo sayang Nala atau si Lelaki-pujaan-sejak-dulu-kala-yang-gantengnya-bukan-main?”

Saya bilang kalau saya sayang pacar saya. Lalu, dia bertanya lagi. “Kalau Lelaki-pujaan-sejak-dulu-kala-yang-gantengnya-bukan-main datang ke hadapan lo dan bilang kalo dia sayang ama lo, gimana?”

Saya bilang, saya tak mau menemuinya. Resikonya sangat besar. Lebih baik tidak bertemu dan mengalami hal itu. Saya sudah berkomitmen memilih Love, bukan Lust.



** Tenang, kemarin itu baru lamaran. Nikahnya masih pertengahan tahun kok.

Tidak Tahu Terima Kasih

Pernahkah kamu merasa melakukan banyak hal untuk seseorang dan dia bahkan tak berterima kasih untuk itu?

Saya pernah. Baru saja.

Ceritanya begini, seorang teman meminta saya membuat tulisan tentang dia. Saya sudah coba mengelak, saya bilang kalau media tempat saya bekerja oplahnya belum banyak, sirkulasinya masih kacau, dan sebagainya.

Tapi, mungkin teman saya memang sedang butuh publikasi. Sampai-sampai dia bilang begini, “Tapi udah lama nggak dimuat media nih, Koran SBY juga nggak apa-apa lah.”

Well, sebenarnya saya tidak senang mendengar ucapan dia barusan. Tapi, karena dia teman saya (saya punya kepentingan untuk disukai olehnya), akhirnya saya sanggupi juga. Dengan catatan, “Lihat nanti ya. Saya sedang cuti. Lagipula tulisan tentang kamu itu bukan halaman saya.”

Sayangnya, saya tak sampai hati menunda keinginan teman saya dimuat di “Koran SBY”. Saya pikir, apa salahnya? Dia toh sudah sangat baik pada saya. Dia pernah menelepon saya jam 8 pagi, saat saya belum bangun tidur, hanya untuk memberitahu teori-teori yang bisa saya pakai di thesis saya. See? Perhatian, kan? Bahkan, dia menyalinkan saya contoh thesis yang pernah dia buat.

Oke deh. Saya akan buat tulisan tentang dia.

Dan jadilah saya menempuh Bekasi-Kelapa Dua, Depok. Pagi-pagi sekali dari rumah. Mencari-cari rumahnya, wawancara, lalu menyetir lagi ke kantor. Mencari-cari redaktur halaman yang bersangkutan, memberinya coklat sebagai sogokan agar tulisan itu dimuat, menyetor foto ke redaktur foto, dan membuat tulisan. Setelah itu, mengingatkan redakturnya agar memberi kabar kalau tulisannya sudah dimuat.

Lalu, Senin malam, hampir jam 9, teman saya mengirim pesan singkat.

“Baru kali ini kami dimuat di media dan merasa tidak happy. Sy tdk mengerti, apakah wartawan sekarang bisa mencampur fakta dengan ilusi?”

APAA???? Apa-apaan ini?

Saya pun membelokkan mobil ke kantor, mengambil koran, dan membacanya satu per satu. Kata per kata. Ada satu yang kata yang salah ketik, kata “Lewat” jadi “Mewat”. Sisanya, menurut saya benar-benar saja.

Semalaman saya tak bisa tidur. Teringat teman saya yang sudah sakit hatinya. Astaga, apa yang sudah saya perbuat? Apa yang salah ya?

Esok pagi, saya telp istri teman saya, yang saya wawancarai. Saya tanya salah dimana. Dia pun menutup telpon dan bilang kalau suaranya sedang serak. Nanti di-sms.

Setelah sms-nya datang. Saya pun tahu apa yang telah membuat teman saya marah. Saya mengerti dengan kemarahannya.

Hanya saja, saya merasa mendengar setiap kata tersebut. Sementara, istri teman saya merasa tak mengucapkan hal tersebut. Jadi, salah siapa ya? Bahkan, di notes saya pun tercatat kata-kata yang menurut teman saya salah. Apa iya saya berilusi? Sepertinya tidak. Kemungkinan paling besar adalah saya budek. Bisa jadi saat teman saya bilang A, saya dengarnya B. dan saya pun menuliskan apa yang saya dengar.

Tapi sungguh, saya menuliskan apa yang saya dengar. Tak ada niatan untuk menulis sesuatu yang tidak benar, apalagi mengarang. Hei! Ini kan teman saya! Mana mungkin saya sejahat itu!

Memang sih, wawancaranya tidak saya rekam. Ini bisa jadi pelajaran untuk tidak memilih-milih narasumber mana yang harus direkam. Biasanya, saya selektif. Hanya merekam wawancara keroyokan, wawancara eksklusif, ataupun wawancara orang-orang penting. Perlukah merekam wawancara untuk ficer kisah sukses sebanyak 3000 karakter?

Sampai saat ini, belum satupun sms permintaan maaf saya dibalas oleh teman saya tadi. Bahkan, Saat bertemu di kampus, dia tak mau membahasnya. Seolah-olah, semua sudah berlalu. Padahal, saya tahu kalau kejadian itu akan selalu membekas. Selalu diingatnya.

Saya jadi berpikir, seandainya saya tak salah menulis, bagaimana jadinya? Akankah dia senang dengan perhatian yang saya berikan? Bisa jadi, teman saya berterima kasih. Bisa jadi, dia lebih membantu saya. Bisa jadi, dia lebih perhatian. Bisa jadi…