Friday, December 07, 2007

Menyatukan Anak Aceh Lewat Kesenian

japan foundation | Kamis, 06 Des 2007

Di hadapan puluhan anak-anak, seorang bocah perempuan berjalan dan menduduki bocah perempuan lainnya, seolah yang ia duduki itu kursi. Di depannya, seorang anak lelaki tengkurap, seakan sedang menjadi meja. Si anak perempuan mengambil minum yang ada di atas punggung si meja.

Setelah minum, si anak peremupuan memencet remote control dan mengarahkannya ke dua anak laki-laki yang berperan sebagai televisi. Saat itu, salah seorang dari mereka bernyanyi, seolah tayangan di televisi sedang menampilkan video musik.

Rupanya, anak-anak tersebut sedang terlibat dalam pelatihan teater partisipatif, sebuah aliran teater yang pemain dan penonton bermain bersama. Makanya ada anak yang berperan menjadi bangku meja, televisi, dan sebagainya.

Pada April lalu, sekitar 30 anak dari Aceh Tengah, Aceh Utara dan Pidie, berkumpul untuk mengikuti pelatihan teater yang diadakan the Japan Foundation dan Komunitas Tikar Pandan. Selama seminggu mereka diajak berlatih teater dan berbagi pengalaman. Maklumlah, anak-anak tersebut berasal dari tiga wilayah konflik di Aceh yang memiliki kultur dan bahasa yang berbeda.

Menurut Direktur Eksekutif Komunitas Tikar Pandan Azhari Aiyub, selama ini semua pihak, baik pemerintah maupun organisasi nonpemerintah (NGO), selalu mengarahkan bantuannya ke daerah yang terkena dampak tsunami. Bahkan, anak-anak yang ada di wilayah tersebut dibuat sibuk dengan berbagai kegiatan yang diadakan aktivis NGO. Dari pagi hingga malam, anak-anak menghadiri kegiatan bermain bersama, mengaji, hingga belajar.

"Anak jadi tak punya waktu luang, saking sibuknya. Padahal kegiatan itu harusnya membuat anak punya waktu luang. Sayangnya, anak-anak di daerah konflik jadi terlupakan," kata Azhari.

Rekonsiliasi Aceh, melalui kesepahaman bersama yang ditandatangani di Helsinki pada 2005 lalu, hanya dalam tataran politik. Artinya, hanya golongan elit yang berekonsiliasi. Sedang di level bawah, yakni masyarakat, rekonsiliasi belum terjadi.

"Saat the Japan Foundation ingin memberi bantuan ke daerah yang terkena tsunami, kami usulkan agar jangan di sana karena sudah terlalu banyak NGO yang berperan di sana. Kami mengusulkan anak-anak di daerah konflik," ujarnya.

Konflik yang terjadi di Aceh, disadari atau tidak, masih tertanam di ingatan anak-anak Aceh. Pasalnya, konflik tersebut terjadi sangat dekat dengan mereka. Bahkan, ada seorang anak yang keluarga intinya terpecah pada dua kubu, Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Azahari mengamati, selama ini anak yang orangtuanya dibunuh GAM, selalu ingin membalaskan dendam dengan membunuh si pembunuh. Begitupun dengan anak yang orang tuanya dibunuh oleh tentara.

Mengumpulkan anak untuk pelatihan teater adalah bagian tersulit. Masalahnya ada di izin orang tua. Yulfan Marpi, Direktur Pelatihan Teater tersebut, mengatakan bahwa orang-orang Aceh selalu merasa curiga jika ada orang asing yang ingin masuk ke daerah mereka.

"Pengalaman mengajarkan mereka tak mudah percaya dengan orang asing. Saat kami hendak mengajak anak-anak, kami temui orang tuanya dulu. Mereka ingin tahu kami siapa, apa maksud kami, dan apa yang bisa kami berikan ke mereka," cerita Yulfan.

Ia melajutkan, kompensasi sudah menjadi keharusan. "Semua yang menyangkut kepentingan publik harus diberi kompensasi. Padahal dulu orang-orang sukarela membersihkan meunasah, sekarang kalau tak ada bayarannya, mereka tak mau."

Anak-anak yang ikut pun akhirnya diberi beasiswa pendidikan yang tak bisa disalurkan untuk keperluan lain. Tak sampai di sana, orang tua juga bersikeras ingin melihat kegiatan anak-anak mereka. Makanya, pada dua hari terakhir orang tua juga hadir di tempat tersebut.

"Pokoknya, kami berusaha agar anak-anak ini bisa ikut pelatihan. Anak-anak ini harus dipertemukan agar terjadi sebuah kesepakatan di antara mereka. Garis kekerasan yang ada di antara mereka harus diputus," jelas Yulfan.

Agus Nur Amal, pelatih teater dan juga pendongeng, mengatakan bahwa dari 30 anak yang dikumpulkan, semuanya memiliki latar belakang yang berbeda. Sebanyak tujuh orang anak yang berasal dari Aceh tengah mempunyai pola pikir Indonesia dan tiga sisanya berpikir seperti GAM. Anak-anak dari Pidie, semuanya punya pandangan GAM, dan hanya tiga dari 10 anak Aceh Utara yang memiliki paham Indonesia.

Pertama kali bertemu, tak ada kesepahaman di antara mereka. "Yang GAM menyanyikan mars GAM dan yang Indonesia menyanyi lagu sumpah pemuda dan lagu-lagu nasional lainnya," ujar Agus. Jika dilihat sepintas, tambahnya, seolah tak ada masalah.

Anak-anak ini diajarkan teater partisipatoris yang dikembangkan oleh Augusto Boal, dimana pemain dan penonton bermain bersama. Pada hari pertama dan kedua, Agus dan relawan dari the Japan Foundation fokus pada cara-cara untuk membuat anak terbuka atau bisa saling berbicara.

Tekniknya cukup sederhana, anak-anak diminta mendengarkan suara-suara yang ada di sekeliling mereka, menggambarkan sumber suara tersebut, dan menempelkannya di kertas. "Ada suara motor, mobil, jangkrik, atau sapai. Intinya, anak-anak kami ajak membuat partitur suara," jelas Agus.

Setelah itu, ia mengajak anak-anak untuk menceritakan suara-suara yang mereka akrabi. "Mereka bahkan bisa membedakan senjata berdasarkan bunyinya, karena suara itulah yang sering mereka dengar." Dalam proses ini, anak-anak diajak membuak panca indera mereka dan mengatakan apa yang ada dalam ingatan mereka.

Jika sudah menyadarinya, anak-anak harus disadarkan bahwa suara-suara di masa lalu tak bisa dihilangkan. Makanya, mereka harus bisa berdamai dengan pengalaman saat suara tersebut ada. Lalu, mereka diajak bermain peran, baik peran yang realistis (tokoh) ataupun peran yang tidak realistis (meja, kursi, televisi, dll).

Kemudian, kalau anak sudah bisa berbaur, mereka diajak berpikir tentang Aceh. Apa pentingnya Aceh bagi warga Aceh? Apa pentingnya Aceh bagi dunia? Dan di mana peran anak-anak Aceh?

Pada pertunjukan terakhir, mereka diberi tugas mementaskan teater bertema Aceh 2025. Hal ini semata-mata untuk menggambarkan cita-cita mereka terhadap Aceh. "Saat pertunjukan berlangsung, semua orang menangis. Saya, kawan-kawan relawan, orang tua, dan anak-anak," katanya.

Jika tahu tadinya mereka punya pemahaman politik yang berbeda, tentulah ada rasa haru. Semoga mereka tak hanya satu di panggung tapi juga satu membangun Aceh seperti apa yang mereka angankan pada 2025 nanti.
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

Anak Pidie yang Pemalu

Kamis, 06 Des 2007

Seorang anak perempuan tiba-tiba masuk ke kolong tempat tidur dan tak mau keluar. Spontan saja, semua kawan sekamaranya membujuk si anak keluar, bahkan sambil ikut-ikutan masuk ke kolong.

"Matikan kameranya. Kalau menyala dia tak mau keluar," kata seorang anak.

"Sudah. Ini sudah mati," jawab di kameramen.

Anak-anak perempuan pun berteriak-teriak sambil meyakinkan temannya yang ada di kolong bahwa kamera sudah dimatikan. Saat sudah keluar, si anak menutupi wajahnya dengan bergo (semacam jilbab sepanjang dada).

"Jangan ambil gambar saya," kata si anak. Dan gambar pun pindah ke adegan lain. Itulah sepotong kejadian dalam film dokumenter Selama Danau tak Beriak karya Fauzan Santa.

Film itu bercerita tentang pelatihan teater yang diikuti sekitar 30 anak dari tiga wilayah konflik, Aceh Tengah, Aceh Utara, dan Kabupaten Pidie. Menurut Fauzan, anak-anak tersebut terasing dari lingkungannya karena konflik yang terjadi di wilayah mereka.

"Kamera dianggap seperti bedil. Dan banyak usaha yang harus dilakukan agar mereka mau bicara," katanya. Untuk memancing anak yang berperan aktif, biasanya ia meminta anak yang lain memberi contoh atau berbicara lebih dulu. Jika si anak tadi sudah merasa nyaman, barulah pelan-pelan diminta aktif.

"Rupanya ini efektif. Sampai-sampai ada anak yang tak mau berhenti mengungkapkan perasaanya. Mungkin itu ungkapan alam bawah sadarnya," ujar Fauzan.

Yang paling malu-malu dan tak terbiasa bergaul dengan orang lain, lanjut Fauzan, adalah anak-anak yang berasal dari Pidie. Jika berbaris, anak-anak ini seringkali merunduk dan tak banyak bicara. Dan, anak perempuan yang masuk ke kolong tempat tidur adalah salah satu dari mereka.

Kabupaten Pidie terkenal sebagai daerah cikal bakal Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan kampung Hasan Tiro yang kini bermukim di Swedia. Daerah ini juga asal beberapa tokoh terkenal Aceh, seperti Tgk. Daud Beureueh, Mr. Teuku Mohammad Hasan, Prof. Ibrahim Hasan, DR. Hasballah M Saad, dan pengusaha Ibrahim Risyad (Richard).

Selama ini, Syariat Islam yang diberlakukan di Aceh membuat beberapa pihak melarang adanya kesenian. "Padahal, kesenian adalah obat untuk proses kejiwaan anak-anak. Agak susah memang jika kita berdebat di wilayah syariat."
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

Nilai Kuat, Prestasi Didapat

Selasa, 04 Des 2007

Setiap anak yang baru lahir netral terhadap nilai-nilai. Disadari atau tidak orang tua dan lingkunganlah yang membentuk mereka menjadi pembohong, pemarah, atau segala sifat negatif lainnya.

Saat masih berusia setahun, anak pasti mendapat imunisasi. Ketika dibawa ke rumah sakit, posyandu, atau puskesmas, anak menangkap segala gambaran yang ada di sana. Karena merasa lingkungan tersebut asing, anak bereaksi dan orang tua menenangkan.

"Tenang aja nggak sakit kok" atau "rasanya cuma seperti digigit semut" adalah alasan-alasan yang sering orang tua katakan pada anak. Karena orang tua adalah orang yang dekat dengan mereka, otomatis si anak percaya dengan perkataan tersebut. Namun, perngalaman saat disuntik ternyata sakit. Dan saat itulah anak belajar berbohong.

Tanpa disadari, orang tua selalu mengulang-ulang proses berbohong. Sebagai contoh, saat anak diajak berbelanja ke supermarket. Karena tertarik pada sebuah mainan, anak memasukkannya ke keranjang belanja tanpa diketahui ibu. Saat di kasir atau sepulang di rumah, orang tua memberi pengertian pada anak.

"Lain kali, kalau mau mainan bilang mama dulu, nanti pasti dibelikan," adalah perkataan yang sering disampaikan orang tua ke anak. Di lain waktu, saat anak ingin mainan, ia meminta izin seperti permintaan orang tuanya. Dengan berbagai alasan, orang tua mengelak membelikan.

Saat itu pun anak belajar tentang kebohongan. "Harusnya kalau sudah ijin pasti dibelikan. Ini kok tidak?" kira-kira begitu pikir si anak.

Menurut Koordinator Nasional Living Values Education Program Fidelis Elisati Waruwu, nilai kehidupan adalah nilai-nilai yang menghidupkan seseorang. Baik itu membuatnya bertahan hidup ataupun menjadi dewasa. Nilai ini ada pada setiap makhluk. Nilai itu berupa nilai kejujuran, keadilan, penuh kasih sayang, yang dilengkapi potensi bawaan seperti kemampuan berpikir, berasa, dan berperilaku.

"Nilai-nilai negatif dimasukkan ke anak oleh orang tua dan diteruskan selama hidup mereka," kata Fidelis pada peserta Konfrensi Guru Indonesia yang berlangsung pekan lalu, di Jakarta.

Teori Ekologi Bronfenbrenner menyebutkan lima sistem ekologi perkembangan, yaitu mikrosistem, mesosistem, eksosistem, makrosistem, dan kronosistem. Yang termasuk dalam mikrosistem adalah keluarga, teman-teman sebaya, sekolah, dan lingkungan. Dalam mikrosistem inilah terjadi interaksi yang paling langsung dengan agen-agen sosial.

Lingkungan mesosistem meliputi hubungan antara beberapa mikrosistem atau beberapa konteks. "Misalnya hubungan antara pengalaman sekolah dengan pengalaman keluarga atau teman sebaya," kata Fidelis. Eksosistem melibatkan pengalaman individu yang tak memiliki peran aktif di dalamnya. Semisal pengalaman kerja yang mempengaruhi hubungan ibu dan anak.

Makrosistem meliputi kebudayaan dimana individu hidup. Kronosistem meliputi pemolaan peristiwa-peristiwa sepanjang rangkaian kehidupan dan keadaan sosiohistoris. "Maka itu, dalam membangun budaya sekolah berbasis nilai harus mengandalkan komitmen dari semua pihak. Untuk menghadirkan nilai-nilai, seperti penghargaan, toleransi, tanggung jawab, kasih sayang, kedamaian, kejujuran, dan kerendahan hati, haruslah ditekankan dalam setiap interaksi. Baik itu interaksi guru dengan guru, guru dengan murid, dan murid dengan murid di lingkungan sekolah," jelas Fidelis.



Dukung prestasi

Pada dasarnya, lanjut dia, pembangunan budaya nilai itu tidak membutuhkan mata pelajaran khusus atau dimasukkan ke kurikulum. "Bila setiap orang di sekolah itu menghidupi nilai dalam perilakunya, dalam cara bicara, dan berelasi satu dengan lain, maka dengan sendirinya nilai tersebut menghidupi mereka."

Sebagai contoh, untuk menerapkan nilai kerapihan, gurulah yang harus memberi contoh pada anak. "Jika semua guru konsisten berpakaian rapih, saya jamin hanya butuh dua minggu untuk menanamkan nilai tersebut. Anak pasti mengikuti orang-orang yang bisa mereka percaya. Guru mengajarkan berbohong, anak pasti megikuti. Begitupun jika guru mengajarkan disiplin atau nilai-nilai positif" ucapnya.

Hanya saja, lingkungan mesosistem si anak harus mendukung. Caranya, guru bisa memberi pemahaman ke orang tua dan mengajak mereka menerapkan nilaiu yang sama. "Percuma kalau anak rapih di sekolah, tapi di rumah terjadi kondisi yang berbeda. Usaha pihak sekolah harus didukung," ujarnya.

Hal ini tentu tidaklah mudah, karena mengandaikan perubahan pola pikir, pola laku, dan pola rasa masing-masing pihak, terutama kepala sekolah dan guru. Bila guru berubah, maka dengan sendirinya murid juga akan berubah. Maka kunci pembangunan budaya sekolah itu ada pada guru dan kepala sekolah.

Sementara itu, Romy Cahyadi, Direktur ProVisi Education, mengatakan, pendidikan nilai mendukung pencapaian prestasi sekolah. Hal tersebut ia amati berdasarkan pengalaman enam tahun menjadi konsultan pendidikan pada berbagai sekolah negeri dan swasta.

"Sekolah-sekolah berprestasi umumnya memiliki budaya sekolah yang berbasis nilai yang kuat. Sekolah yang tak ada nilai-nila ini hampir selalu prestasi akademiknya buruk," ujar Romy.

Yang tak kalah penting, harus ada refleksi bersama dalam menentukan nilai yang dianut warga sekolah. Setiap lingkungan punya perbedaan norma dan nilai, itupun selalu berubah seiring berkembanganya lingkungan tersebut. Untuk itu, nilai yang ditanamkan haruslah yang bersifat universal semisal penghargaan, tanggung jawab, kerja sama, kerendahan hati, toleransi, kejujuran, dan intergritas. Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

MOS yang Cerdas dan Asyik

Selasa, 04 Des 2007
Masa Orientasi Sekolah (MOS) selama ini selalu menjadi tradisi sekolah dan dilakukan dengan cara yang sama. Padahal saat MOS itulah guru berkesempatan mengenali siswa. Bukan sekedar tahu asal sekolah mereka, biodata, nilai rapor, atau hasil psiko tes.

Pada dasarnya, peralihan ke sekolah yang lebih tinggi mungkin tidak terlalu sulit bagi sebagian siswa. Namun ada banyak faktor yang mempengaruhi siswa-siswa lain sehingga mereka membutuhkan waktu lebih lama untuk melakukan penyesuaian diri dengan sekolah barunya. Bahkan, siswa baru kini tidak semata-mata harus menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah yang baru, tapi juga harus menjadi bagian dari budaya sekolah yang mendasari komunitas pembelajar.

Menurut Direktur Konsultan Manajemen dan Pendidikan Open Mind Tendi Naim, selama ini guru selalu memberitahu murid, padahal harusnya terjadi komunikasi dua arah sehingga mengerti tentang anak. "MOS berpotensi sebagai dasar penciptaan komunitas belajar. Kegiatan ini juga bisa digunakan untuk mengenal anak dari awal, termasuk potensi masalahnya," kata Tendi.

MOS haruslah bertujuan untuk orientasi siswa, pondasi pengembangan komunitas pembelajar, serta mengembangkan keahlian dan nilai siswa. Lalu melalui kegiatan ini, sekolah juga harus mengadakan pemetaan siswa. Maksudnya, sekolah harus bisa membuat rekomendasi dari setiap anak dan langkah-langkah untuk mengoptimalkan kemampuan anak.

"Untuk itu, sekolah juga membutuhkan data lain, seperti karakteristik siswa, kebiasaan, target, komitmen, potensi masalah, dan potensi dukungan masalah," jelas Tendi.

Salah satu sekolah yang sudah menerapkan MOS seperti ini adalah SMP Taruna Bakti, Bandung, Jawa Barat. Sejak tahun ajaran 2006-2007, sekolah tersebut ingin menerapkan MOS yang berbeda. "Bukan tradisi yang itu-itu saja," kata Tendi.

Jika MOS diadakan selama tiga hari, lanjutnya, maka biarkanlah hari pertama diisi oleh Osis. Setelah itu barulah kesempatan untuk mengembangkan skill dan value. "Skill yang harus dikembangkan terdiri dari self management, motivasi, komitmen, develop vision, komunikasi, teamwork. Sedang nilai yang harus ditanamkan adalah kejujuran, tanggung jawab, disiplin, visioner, kerja sama, adil, dan peduli. Sekolah sebisa mungkin harus membuat permainan dengan kombinasi nilai tersebut."

Selain itu, kegiatan ini juga harus menggali karakteristik unik siswa dan potensi masalah yang akan muncul di kemudian hari. Semuanya, lanjut Tendi, harus dilakukan dengan fun (gembira), sehingga kesadaran mengenai diri sendiri, lingkungan, dan masa depan mereka diperoleh dengan sendirinya.

Yang tak kalah penting, MOS harus melibatkan guru Bimbingan Konseling (BK). Selama ini, guru BK hanya berperan dalam mengatasi siswa bermasalah, padahal potensi itu bisa dikurangi. "Guru BK juga harus bisa membuat murid merasa dihargai. Kalau selama ini dipanggil ke ruang BK karena bermasalah, cobalah memanggil siswa hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun atau prestasi belajarnya," kata Tendi.

Lalu, untuk menjaga keberlangsungan pengembangan skill dan penanaman nilai, sebaiknya ada tindak lanjut dari kegiatan MOS. Kegiatan tersebut bisa disesuaikan dengan karakteristik sekolah, bisa berupa ekstrakurikuler, Latihan Dasar Kepemimpinan, atau sistem Big Brother and Big Sister (kakak dan adik). Dalam sistem kakak adik, setiap anak kelas III memiliki adik angkat anak kelas II dan I.

"Kalau ada masalah dengan si kakak, si adik bisa mengingatkan. Jadi ada rasa tanggung jawab untuk memberi contoh yang baik pada adiknya," kata Tendi. Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

Bukan Madrasah Biasa

Jum'at, 30 Nov 2007

Ada tiga hal yang selalu diasosiasikan dengan madrasah, santri laki-laki, pendidikan agama yang kental, dan pilihan nomor dua setelah sekolah umum. Jauh di ujung selatan Kabupaten Sukabimu, Jawa Barat, tepatnya tepi Pantai Pasir Baru, Cisolok, terdapat madrasah yang tak identik dengan ketiga hal tadi.

Madrasah Ibtidayah Cibangban adalah satu-satunya sekolah di daerah tersebut dan sudah bediri sejak 1965 dan berada di bawah naungan Yayasan Risalatul Ummah. Menurut Saipudin, ketua yayasan, madrasah Cibangban dibangun karena jarak sekolah yang sangat jauh dari desa mereka. "Kalau mau sekolah, harus berangkat subuh-subuh dari rumah," ceritanya.

Setelah madrasah itu dibangun, ternyata masyarakat sekitar sangat mendukung dan memberi pengaruh terhadap perkembangan madrasah ini. Sebagian besar orang tua siswa adalah nelayan (46%) dan petani (32%). Dan merekalah yang mebantu segala kebutuhan madrasah, mulai dari kebutuhan fisik hingga materi yang disampaikan.

"Gedung kelas kami bangun satu per satu. Yang mengerjakan rata-rata orang tua siswa," katanya.

Karena tak ada sekolah umum, makanya mata pelajaran madrasah ini sebagian besar adalah pengetahuan umum, seperti Bahasa Indonesia, matematika, IPA, IPS, kesenian, keterampilan, olahraga, dan PPKn. Hanya seperempat porsi kurikulum yang disisakan untuk pengajaran agama, yang meliputi Al Quran dan hadis, aqidah akhlak, fiqih syariah, sejarah Islam, dan Bahasa Arab. Bahkan, siswa madrasah Cibangban juga mengikuti ujian mata pelajaran, layaknya sekolah umum.

Raden Dunbar dari program Decentralised Basic Education (DBE) USAID mengatakan, para pengelola sekolah dan guru sangat antusias dalam mengembangkan kurikulum sekolah. Mereka juga sangat terbuka terhadap metode pendidikan yang baru, seperti membuat pusat kegiatan murid dan mengajak anak untuk belajar secara aktif.

"Dan hal ini sangat jarang ditemui di sekolah yang berbasis madrasah," katanya.

Dari perbandingan komposisi murid laki-laki dan perempuan, Dunbar melihat adanya kesetaraan gender. Dari 249 murid, 130 (52%) di antaranya adalah laki-laki dan 119 (48%) perempuan.

Madrasah ini juga memiliki komite sekolah yang beranggotakan 12 perwakilan guru, orang tua murid, dan tokoh masyarakat. "Fungsi komunitas sekolah madrasah Cibangban sama dengan fungsi yang ada di sekolah umum, yaitu mengoptimalkan sumber daya sekolah, mengelola dana sekolah, mengendalikan kualitas pendidikan, dan menjaring kerja sama dengan pihak lain," kata Dunbar.

Dari berbagai sekolah program DBE di tujuh provinsi, menurut Dunbar madrasah Cibangban inilah yang paling progresif. Karena melekat dengan komunitas lokal, maka harapan penduduk akan tingkat spiritual, ekonomi, dan pendidikan nampak pada madrasah ini.

"Mereka menganggap madrasah ini sama dengan sekolah umum, mendukung penuh jalannya madrasah, terbuka terhadap perubahan, dan tentunya sejalan dengan Standar Pendidikan Nasional," urai Dunbar.

Madrasah Cibangban, tambahnya, bukan hanya meninggalkan semua konsep konsevatif yang dimiliki madrasah. Meski hanya ada enam guru, tapi setiap mereka sudah menyadari pentingnya active learning (pembelajaran aktif) bagi siswa. Sebagai contoh, dalam pelajaran agama, biasanya siswa memprekatikkan langsung materi yang mereka dapat.

"Jika diajarkan tentang hari raya kurban, kami juga mengajak mereka mempraktekkan proses memberi hewan kurban, menerima, hingga membaginya. Kami kan hanya fasilitator jadi siswa harus mengalaminya sendiri," kata Supendi , guru kelas V madrasah Cibangban.
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

Sekolah Alternatif dari Salatiga

Jum'at, 30 Nov 2007

Ahmad Bahruddin, seorang aktivis organisasi petani resah melihat keadaan siswa-siswa usia sekolah di desanya, Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah. Sebagian besar penduduk desa itu adalah petani dan hidup dengan sangat sederhana. Untuk bersekolah, anak-anak di desanya harus berangkat ke desa lain atau ke kota Salatiga yang jaraknya cukup jauh. Tak heran jika banyak anak yang akhirnya tak melanjutkan ke tingkat SMP karena keterbatasan biaya.

Tak ingin keadaan tersebut terus berlanjut, Bahruddin ingin mendirikan sebuah sekolah berbasis komunitas, murah, dekat, dan yang terpenting tak membatasi anak. Ia pun mengumpulkan 30 orang tetangganya untuk mewujudkan ide tersebut.

"Saya tawarkan ke mereka pendidikan alternatif yang seluruh proses belajar bersumber tak hanya dari guru, tapi juga lingkungan alam dan sosial. Konsepnya hampir mirip dengan home schooling (sekolah rumah) di Amerika, hanya saja di sini biayanya lebih murah," ceritanya.

Akhirnya, tepat awal tahun pelajaran 2004, ada 12 orang siswa yang mendaftar jadi angkatan pertama. Sekolah itu bernama Qaryah Thayyibah dan hanya memiliki dua ruangan di rumah Baharuddin sebagai kelasnya. Ada sembilan orang guru yang mengajar, itu pun kawan-kawan Baharuddin sendiri,

Menurut prinsipnya, sekolah harus memenuhi kebutuhan anak. Pagar dan gedung sekolah adalah dua di antara fasilitas yang biasanya ada di sekolah, namun ternyata tak diperlukan. Ia pun meminta murid-muridnya untuk mendata fasilitas yang paling mereka butuhkan. Ternyata jawabannya adalah komputer dan jaringan internet.

"Kedua hal inilah yang memungkinkan tersedianya informasi yang tak terbatas," katanya.

Untung saja, teman Baharuddin, yang juga pengusaha jasa jaringan internet, mau membantu. Tak hanya itu, ia juga mencari cara agar setiap anak bisa memiliki komputer di rumah mereka masing-masing. Setelah mendapat sponsor, komputer pun dibagikan ke anak dan harus dibayar dengan cara mencicil. Cukup Rp1.000 setiap hari.

"Dengan komputer anak bisa mengerjakan tugas di rumah lebih semangat. Selain itu, mereka juga membawa pengetahuan baru ke rumah. Kalau orang tua atau saudara mereka mau belajar, tentu si anak bisa mengajarkan," ujarnya.

Dalam proses belajar, Qaryah Thayyibah tak mau mengekang anak. Siswa dibebaskan belajar apa saja sesuai keinginan mereka. Tempat belajarnya pun terserah mereka, apakah di kelas atau di luar kelas.

Siswa Qaryah Thayyibah juga diajak untuk berkarya melalui kesenian atau kegiatan apa saja yang mereka senangi. Saat ini, siswa sekolah tersebut sudah menghasilkan sebuah album dolanan anak, yang akhirnya digunakan untuk membantu pembiayaan sekolah.

Di sekolah ini, siswa mendapatkan pelajaran keterampilan bermain alat musik. Mereka wajib belajar memainkan gitar di sini. Anak-anak tersebut juga dilatih untuk bisa mendengar, berbicara, membaca, dan mencoba menulis dalam Bahasa Inggris. Bahkan anak-anak itu akan diperkenalkan dasar-dasar TOEFL. Target itu tidak dirasakan sebagai beban oleh murid-muridnya karena semua dilakukan dalam suasana yang menyenangkan. Tiap hari Sabtu anak-anak diajak berdiskusi dalam Bahasa Inggris di alam terbuka.

Dalam hal prestasi pun mereka tak ketinggalan. Fina, salah seorang siswa, pernah meraih juara kedua penulisan artikel Bahasa Inggris se Klaten, mengalahkan seorang mahasiswa dan guru. Selain itu, ia juga sudah menulis delapan buku, salah satunya berjudul "Lebih Asyik Tanpa UAN".

Buku itu, sebenarnya merupakan proyek penentu kelulusannya. Hanya tiga dari 12 siswa Qaryah Thayibah yang mengikuti UAN. Fina sendiri, ikut karena ingin menulis tentang UAN dan ingin mendapatkan pengalaman mengikuti UAN.

"Anak-anak yang lain tidak mau. Awalnya Fina sempat diledek temannya, tapi dia punya alas an sendiri. Setelah itu, anak-anak yang lain juga ikut, itupun karena permintaan orang tua, saya sendiri tak mengharuskan mereka," katanya.

Baharuddin berpinsip, ijazah atau legalitas, sebenanrya tak dibutuhkan dalam mencari ilmu pengetahuan. "Legalitas itu berikutnya. Yang penting pengajaran ini berorientasi pada kehidupan, bukan ilmu pengetahuan. Ketika anak-anak sudah bisa menjawab pertanyaan dan bermanfaat bagi kehidupan, menurut saya legalitas tak perlu lagi," laya Baharuddin.

Menunggu Status

Strategi pendidikan yang dilakukan Baharuddin bisa dibilang sebuah alternatif bagi dunia pendidikan. Ia meyakini bahwa setiap anak unik dan pada hakikatnya cerdas. Maka itu, ia memberi kepercayaan pada anak dalam mengembangkan diri mereka.

Sebagai contoh, adalah penentuan seragam sekolah. Setiap kelas berembug dan menentukan sendiri seragam mereka, baik jenis, warna, ataupun modelnya. "Saat ini ada lima kelas dan ada lima seragam yang berbeda di sekolah kami," ucapnya sambil tertawa.

Jika ada guru yang mengeluh tentang siswa, susah diatur atau tak mau belajar, maka yang salah adalah gurunya. Selama ini, katanya, anak selalu jadi korban dari guru yang mau mengatur anak. Potensi dan kreativitas mereka dimatikan karena guru memaksakan kehendak mereka.

Sebagai contoh adalah pelajaran menggambar. "Tak semua anak senang dan memiliki potensi dalam bidang ini. Dalam satu kelas, paling hanya tiga atau empat anak yang senang menggambar, sisanya menggambar karena disuruh, makanya gambar mereka itu-itu saja. Jika guru menugaskan murid untuk menggambar, mengumpulkan gambar, dan menilai, saat itulah guru sudah membunuh potensi anak. Karena dia dibayar, berarti guru adalah pembunuh bayaran," ujarnya.

Awalnya, Qaryah Thayyibah berbentuk sekolah terbuka, yang masih mengacu pada sekolah induk. Hanya saja, menurut Baharuddin, siswa sering mereka "direcoki" oleh sekolah induk. Atas permintaan anak-anak juga, ia "memutuskan" hubungan dengan sekolah induk dan mengajukan status pendidikan luar sekolah ke Dinas Pendidikan setempat. Saat ini, ia masih menunggu status tersebut keluar.

Selain itu, guru juga terjebak pada kurikulum sebagai produk. Guru selalu memaksa anak mengonsumsi kurikulum yang sebenarnya ditentukan pemerintah pusat. Padahal, harusnya kurikulum hanya menjadi pijakan untuk menjadikan siswa sumber pembelajar.

"Biarkan mereka belajar tanpa sekat dan manfaatkanlah segala sumber yang ada," katanya.
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

Kedatangan Abu Zayd--- Jika Tak Setuju, Lawanlah Secara Ilmiah

Rabu, 28 Nov 2007

Intelektual muslim asal Mesir Nasr Hamid Abu Zayd dilarang menjadi pembicara pada Seminar Internasional Islam di Universitas Islam Malang (Unidma), yang semestinya digelar Selasa (27/11). Perintah tersebut datang dari salah seorang pejabat Departemen Agama (Depag), pada Minggu pagi melalui pesan singkat. Pelarangan tersebut diterima Abu Zayd setelah tiba di Surabaya, Minggu pagi (25/11).

Pejabat Depag beralasan, pelarangan disebabkan karena Depag mendapat tekanan dari pihak yang menamakan dirinya masyarakat dan organisasi Islam. Karenanya, Abu Zayd juga batal memaparkan pemikirannya pada Konferensi Tahunan Kajian Islam di pekanbaru, Riau, Rabu (28/11), yang akan dibuka Menteri Agama Maftuh Basyuni.

Menurut Syafi'i Anwar dari International Center for Islam and Pluralism (ICIP), keberadaan Zayd dalam forum ilmiah sangat penting bagi kebebasan berbicara di Indonesia. Selama ini, tokoh-tokoh pesantren banyak yang menantikan kehadirannya di Indonesia dan buku tentang idenya sudah diterbitkan.

Syafi'i juga mengatakn, dalam SMS tersebut pejabat Depag mengatakan tak akan bertanggung jawab terhadap kedatangan Zayd. "Ini konyol. Kita ini kan negara Islam berbasis Pancasila yang harusnya menghargai kebebasan berpendapat. Apa pun alasan pelarangannya, hal ini sungguh menggelikan," kata Syafi'i.

Sedang menurut mantan Presiden Abdurrahman Wahid, pelarangan tersebut sudah menyalahi konstitusi. Bagaimana pun, hukum di Indonesia menjamin adanya kebebasan berpikir dan kemerdekaan berbicara. Hal seperti ini sebenarya merupakan perulangan dari pelarangan yang terjadi pada masa Orde Baru.

"Pak Harto itu kan dari militer, jadi pikirannya tidak pernah menyangkut budaya, selalu yang berkaitan dengan institusi dan memberikan tekanan yang berlebihan. Hal ini lalu diteruskan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia)," ujar Abdurrahman.

Meski demikian, lelaki yang akrab disapa Gus Dur ini mengaku tak semua ide Zayd ia terima. "Bayak ide dia yang bertentangan dengan saya. Tapi kan tidak berarti harus melarangnya berbicara," katanya.

Zayd mengaku kesal dengan pelarangan tersebut. Pasalnya, ia sudah mempelajari Indonesia selama 20 tahun dan menilai Indonesia sebagai negara yang bisa menerima pemikiran baru.

Pelarangan semacam ini, tambahnya, akan menghambat pengetahuan baru untuk masuk. Meski dilarang juga di negaranya, namun Zayd punya jurus lain untuk menyebarkan pemahamannya.

"Saya melawan dengan bergabung dengan masyarakat akar rumput. Saya melakukan berbagai kegiatan dalam rangka memaparkan pemahaman tersebut. Media juga sangat membantu sehingga saya bersedia mendatangi setiap dialog ataupun debat," katanya.

Jika pemerintah tidak setuju dengan ide Zayd, menurut Syafi'i harus dilakukan dengan cara-cara ilmiah. Forum yang sedianya dihadiri Zayd dilakukan di depan komunitas kampus dalam forum ilmiah. "Kalau tak setuju kan bisa datang saja ke sana, berdiskusi, jangan melarang-larang," katanya.

Selama ini, tak ada larangan mengkaji pemahaman apa pun, termasuk Karl Max atau Lenin. "Kalau itu saja kita kaji, kenapa yang ini tidak?" ujar Syafi'i.

Menghina Al Quran

Selain pelarangan dari Depag, MUI Riau juga mengeluarkan pernyataan sikap tentang kehadiran Zayd di Konferensi Tahunan Studi Islam ke-7 (Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) in Indonesia VII). Dalam siaran persnya, Ketua MUI Riau H. Ridwan Syarif dan Sekretaris Umum H. Fajeriansyah, menolak kehadiran Zayd.

"Adalah aneh, jika sosok Abu Zayd yang jelas-jelas menghina dan menghujat Al-Quran dan Imam Syafii dalam berbagai karyanya justru dipromosikan pemikirannya oleh Departemen Agama RI. Lebih aneh lagi, pihak panitia ACIS sama sekali tidak menghadirkan pembicara yang mampu mengkritik pemikiran Abu Zayd," tulis rilis tersebut.

MUI Riau bersama MUI pusat saat ini telah menghimpun data pelecehan dan penghujatan Al-Quran di lingkungan UIN/IAIN. Bahkan, di IAIN Surabaya, gugatan terhadap Al-Quran sebagai Kitab Suci pernah menghebohkan, ketika seorang dosen di sana, secara sengaja menginjak lafaz Allah yang ditulisnya sendiri.

MUI Riau juga memaparkan sebuah hasil penelitian terhadap perkembangan paham-paham keagamaan liberal di sekitar kampus UIN Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan Litbang Depag tersebut menulis, "Al-Quran bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci dari Allah SWT kepada Muhammad SAW, melainkan merupakan produk budaya (muntaj tsaqafi) sebagaimana yang digulirkan oleh Nasr Hamid Abu Zayd.

Metode tafsir yang digunakan adalah hermeneutika, karena metode tafsir konvensional dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman. Hermeneutika kini sudah menjadi kurikulum resmi di UIN/IAIN/STAIN seluruh Indonesia. Bahkan oleh perguruan tinggi Islam di Nusantara ini hermeneutika makin digemari.
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

Ia Dianggap Murtad


Rabu, 28 Nov 2007

Abu Zayd adalah pemikir Islam asal Mesir yang memperkenalkan motode pengkajian Al Quran dengan pendekatan hermeneutika. Menurutnya, tekstualitas Al Quran dapat dijelaskan melalui tiga hal. Pertama, Al Quran adalah pesan yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad melalui kode komunikasi bahasa Arab via Jibril. Sebagai pesan, Alquran meniscayakan dirinya untuk dikaji sebagai sebuah teks.

Kedua, urutan-urutan Al Quran yang ada di tangan kita sekarang tidak sama dengan kronologi pewahyuan (tartîb al-nuzûl). Urutan kronologis pewahyuan menunjukkan sifat realistik teks, sementara struktur kronologi pembacaan (tartib al-tilawah) yang ada sekarang menunjukkan tekstualitasnya.

Ketiga, adanya kenyataan bahwa Al Quran terdiri dari ayat-ayat muhkamât yang menjadi ‘inti' teks, dan ayat mutasyâbihât yang harus dipahami berdasar ayat-ayat muhkamât itu. Dengan menegaskan tekstualitas Al Quran, Abu Zayd hendak mengaitkan kembali kajian ilmu Al Quran dengan konteks studi kritik sastra.

Artinya, layaknya teks-teks lain, Al Quran mungkin didekati dengan pelbagai perangkat kajian tekstual modern. Sebagaimana dikatakan Abu Zayd, Al Quran adalah teks bahasa (nashs lughawiy) yang bisa digambarkan sebagai teks sentral (nashs mihwariy) dalam peradaban Arab. Jika demikian, mendudukkannya sebagai teks historis tidak berarti mereduksi keilahiannya. Justru historisitas tekslah yang menjadikan Al Quran sebagai subjek pemahaman dan takwil.

Karena pemikirannya itu, ia difatwa sesat oleh Pemimpin Mesir. Nasr Abu Zayd lahir di Tantra, Mesir, 7 Oktober 1943, menempuh pendidikan tinggi dari S1-S3 di jurusan Sastra Arab, Universitas Kairo. Dan di sana jugalah dia mengajar sejak 1972.

Pada mei 1992, Abu Zayd mengajukan promosi untuk menjadi guru besar di kampusnya. Selain itu, ia juga melampirkan semua karya tulisnya yang sudah diterbitkan. Namun ia dinyatakan tak layak menjadi profesor karena karya-karyanya dinilai kurang bemutu. Bahkan dinilai menyimpang dan merusak karena isinya melecehkan ajaran Islam, menghina Rasulullah SAW, meremehkan Al Quran, dan menghina para ulama salaf. Tentu saja, Abu Zayd protes.

Pada 10 Juni 1993, sejumlah pengacara memperkarakan dirinya ke pengadilan Giza. Akan tetapi, pengadilan membatalkan tuntutan terebut pada 27 Januari 1994. Di tingkat banding tuntutan tersebut dikabulkan.

Tepat dua minggu setelah Universitas Kairo mengeluarkan surat pengangkatannya sebagai profesor, pada 14 Juni 1994, mahkamah Al-Isti'naf Kairo menyatakan Abu Zayd telah keluar dari Islam alias murtad. Sampai-sampai perkawinannya dengan istrinya, Ebtehal Yunis, dibatalkan karena seorang murtad tak boleh mengawini perempuan muslim. Lagi-lagi, Abu Zayd mengajukan banding.

Pada 23 Juli 1995, bersama istrinya, Abu Zayd pindah ke Madrid, Spanyol, sebelum akhirnya menetap di Leiden, Belanda. Lalu, pada 5 Agustus 1996, Mahkamah Agung Mesir kembali menyatakan dirinya murtad dan membatalkan perkawinannya. Ika Karlina Idris

Sertifikasi Guru Harus Dibuatkan PP

Selasa, 27 Nov 2007

Pada tahun 2007, pemerintah akan memberikan tunjangan profesi kepada 200.450 guru kelas dan guru mata pelajaran, untuk semua jenjang pendidikan, baik PNS dan non-PNS. Tentunya, tunjangan itu diberikan bagi guru yang sudah lolos sertifikasi profesi.

Dimulainya proses sertifikasi yang telah lama dinanti-nantikan para guru seharusnya menjadi kabar gembira bagi 2,78 juta guru di Tanah Air karena harapan akan perbaikan kesejahteraan mereka telah di depan mata.

Pasalnya begitu guru dinyatakan lulus proses uji sertifikasi dan mengantongi tanda kelulusan tersebut otomatis guru akan menerima tambahan tunjangan profesi di luar gaji pokok.

Jumlah kesejahteraan yang diterima para guru dimungkinkan akan lebih besar lagi bila guru yang bersangkutan berada di daerah terpencil dan guru yang berada di daerah konflik, sebab pemerintah telah menyiapkan sejumlah tunjangan tambahan bagi para guru yang bertugas di daerah-daerah tersebut.

Ketua Umum Pengurus Besar PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) Muhammad Surya mendesak pemerintah untuk segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang sertifikasi profesi guru.

"Setelah satu tahun undang-undang no 14 tahun 2005 berlaku Peraturan Pemerintah (PP) masih tersendat, hak-hak guru yang terkait antara lain pelaksanaan sertifikasi sebagai syarat untuk memperoleh tunjangan profesi," katanya.

Surya juga mempertanyakan proses penyusunan PP yang hingga kini belum juga selesai meskipun berkali-kali PGRI mendapatkan janji-janji. Oleh karena itu, ia meminta jaminan pemerintah agar tunjangan-tunjangan guru lainnya seperti tunjangan khusus, tunjangan fungsional dan sebagainya bisa direalisasikan tanpa menunggu keluarnya PP tersebut.

"Untuk sertifikasi profesi guru kita minta dilaksanakan secara bijak. Jadi untuk guru yang masa kerjanya 15 sampai 20 tahun dan usianya 50 tahun lebih agar tidak dipaksa disuruh ujian sertifikasi," katanya.

Karena itu, Surya mengusulkan agar sertifikasi tersebut disebut portofolio yakni pengalaman guru tersebut dihitung sebab guru yang baru lulus S1 belum tentu profesional menjadi guru. Usulan PGRI tersebut, tambahnya, sudah menghitung pengalaman bakti mereka sehingga kinerja mereka diperhitungkan.

Sementara itu, Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) mengusulkan agar pemerintah segera membuat undang undang khusus tentang sistem penggajian guru seperti yang dilakukan terhadap tenaga profesi lain. Perbedaan kesejahteraan antara guru pegawai negeri sipil (PNS) dan guru nonPNS dinilai sangat mencolok.

"Saat ini kesejahteraan antara guru PNS dan guru non-PNS jauh sekali perbandingannya, sehingga diperlukan UU yang mengatur tentang penggajian guru, seperti halnya gaji buruh yang diatur dengan UU tentang Ketenagakerjaan," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) FGII Iwan Hermawan, seperti dilansir Antara.

Dengan adanya regulasi sistem penggajian guru ini, kata dia, maka setiap penyelenggara satuan pendidikan wajib memberikan gaji guru sesuai dengan UU yang berlaku sehingga perbedaan gaji guru tidak terjadi lagi seperti saat ini.
"Kalaupun ada perbedaan gaji antara guru PNS dan non PNS, namun tidak akan berbeda jauh. Saat ini banyak kasus guru non-PNS hanya diberi gaji Rp100 ribu hingga Rp300 ribu/bulan, sehingga kesejahteraan guru non-PNS juga harus diperhatikan," katanya.
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

Saat Pasar Tradisional Harus Bertahan Hidup

Senin, 26 Nov 2007

Maraknya pembangunan sejumlah hypermartket dan minimarket di sejumlah kota besar membuat pedagang pasar tradisonal khawatir. Minimarket yang menjamur di perumahan, rasanya hampir bisa ditemui di setiap Rukun Warga. Pasar yang tadinya dikuasai toko kelontongan, kini diambil alih minimarket.

Berdasarkan kajian arkeologis, ternyata sistem pasar sudah ada pada masa Jawa kuno, sekitar abad 8-11 masehi. Tentunya, masih dalam bentuk yang sangat sederhana. Beberapa bukti prasati menyebutkan bahwa pada masa tersebut sudah ada pejabat yang mengurusi pasar.

Pada prinsipnya, pasar merupakan tempat para penjual dan pembeli bertemu. Apabila penjual dan pembeli sudah bertemu, maka barang-barang kebutuhan akan terdistribusikan. Selain sebagai pusat kegiatan ekonomi, pasar juga pusat kegiatan sosial budaya.

Secara umum, masyarakat mengenal dua jenis pasar, tradisional dan modern. Kedua punya ciri yang berbeda jika dilihat dari bangunan, tempat berjualan, dan sistem jual beli. Pasar tradisonal umumnya terdiri dari los atau tenda, tidak permanen, dan lingkungannya tak nyaman karena becek, kotor, bau, dan tidak aman. Sedang pasar modern biasanya memilki bangunan megah dan permanen, fasilitas memadai, nyaman, aman, dan harga yang tercantum pasti.

Menurut Semiarto Adji dari Ketua Pusat Kajian Antropolgi Universitas Indonesia, jika ekonomi masyarakat sederhana bertemu dengan masyarakat kompleks, maka masyarakat sederhana selalu dieksploitasi. Jika terus terjadi, lanjutnya, tentu akan ada kepunahan masyarakat sederhana.

Akan tetapi, menurut sebuah penelitian antropologi tentang pasar dan agama di Jawa Timur, tak usah khawatir pasar tradisional akan punah. Utamanya jika melihat aktivitas dan proses di sana.

Pada dasarnya, pasar merupakan arena sosial dimana para pelaku pasar membangun hubungan sosial yang terpola secara berkesinambungan. Jadi, masyarakat tak hanya menganggap pasar sebagai lembaga ekonomi. Sistem sosial yang ada di sana merupakan manifestasi masyarakat.

Pasar, dalam konteks tempat perdagangan, adalah bagian dari pola hidup tradisional. Sebagian besar pembagian dan sistem kerjanya bergantung pada hasil pertanian atau produk khas suatu wilayah. Makanya, pelaku pasar biasanya adalah produsen langsung atau masyarakat setempat, bukan pengusaha yang sengaja berinvestasi di sana.

Adapun mekanisme transaksinya sangat beragam, sesuai dengan produk yang ditawarkan. Semiarto memberi contoh pasar hewan yang ada di Sumatera Barat. Di sana, penjual dan pembeli memasukkan tangan ke dalam sarung dan setiap penawaran yang disebut dijawab dengan garakan tangan. Maksudnya, agar harga yang disepakati tak diketahui pedagang atau pembeli lain.

"Mekanisme ini kan sangat khas dan tidak dijumpai di daerah lain," kata Semiarto.

Selain itu, pasar tradisonal juga berfungsi sebagai tempat terjadinya asimilasi budaya, pusat komunikasi, hiburan, dan interaksi sosial. Dengan adanya kontak kebudayaan, akan terjadi difusi pengetahuan di antara orang-orang yang melakukan aktivitas di pasar

Aset Wisata

Menurut Direktur Tradisi Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film (NBSF) I G.N.Widja, banyak pasar tradisonal yang sebenarnya berpotensi sebagai aset budaya dan wisata. Tengok saja pasar Beringharjo di Yogyakarta yang menjual berbagai jenis dan peruntukan batik, pasar apung di Banjarmasin yang menjual kebutuhan sehari-harai, pasar Rawa Bening di Jatinegara, Jakarta, yang menjual batu akik untuk cincin, dan pasar barang antik di Jalan Surabaya.

"Jika dicermati, banyak pasar yang menunjukkan identitas budaya dari suatu masyarakat atau identitas tertentu. Jika ingin membeli produk lokal atau keperluan adat, pastilah datang ke sana," jelas Widja dalam jumpa pers yang digelarnya, Kamis, 22 Nopember.

Karena kekhasannya itulah, maka pasar tradisional berpotensi menjadi daya tarik wisata ataupun pengembangan budaya. Menurut Kasubdit Lingkungan Budaya Depbudpar M.A Dewi Indrawati, agar pasar tradisonal tak tergusur, ia harus dikelola dan dikembangkan dengan melihat kekhasan yang dimiliki.

Rencananya, pada 2010 akan dibuat proyek percontohan yang menjadikan pasar tradisional sebagai ikon sebuah kota. Untuk mematangkan konsep ini, Depbudpar akan mengadakan loka karya pada 28-30 Nopember di Jakarta.

Semiarto menambahkan, selain kekhasan, pasar tradisional juga memiliki faktor emosional. Biasanya, seseorang yang sudah merantau ke daerah lain akan datang ke pasar jika pulang kampung. "Kalau mau ke mall, belum tentu ada. Dan di pasar dia bisa menemukan barang yang menjadi khas daerah tersebut."

Pedagang ataupun orang yang terlibat dalam pasar tradisonal bisa mengembangkan barang-barang ikutan yang terkait dengan pasar. Misalnya saja membuat cinderamata atau memperkenalkan situs bersejarah yang ada di sana.
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

Batik Menuju Budaya Nasional

Jum'at, 23 Nov 2007

Kain-kain tradisional Indonesia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dan kompleks. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya corak yang berbeda maupun serupa. Perkembangan corak tersebut juga dipengaruhi letak geografis, sejarah lokal, dan unsur budaya lainnya.

Batik selama ini dianggap sesuatu yang ada dengan sendirinya dan merupakan bagian dari keseharian masyarakat. Hanya saja, tak ada upaya untuk mengembangkan batik sebagai budaya nasional.

Menurut desainer kondang Iwan Tirta, tak satu pun dari seminar batik yang membahas tentang upaya konkret mengembangkan batik. "Padahal tahun depan pemerintah akan menetapkan batik sebagai busana nasional," kata Iwan dalam Konferensi Internasional "Traditional Textiles of Indonesia: Today and In The Future", Rabu (21/11) di Museum Nasional , Jakarta.

Saat ini, kata Iwan, setiap daerah di Indonesia berusaha untuk membuat batik, meski batik bukanlah kain tradisional mereka. Sayangnya banyak di antara mereka tak mengerti bahwa membuat batik erat hubungannya dengan budaya. Di kantornya, ada beberapa murid yang diutus membuat batik tapi mengeluh akan prosesnya yang sulit.

"Pada dasarnya batik bukanlah kain lokal mereka. Jadi mereka tak mengerti kenapa harus membuat banyak titik dan garis pada sebuah kain," ucapnya diiringi tawa peserta yang jumlahnya sekitar 100 orang dan sebagian besar adalah warga negara asing.

Dari aspek kultural, batik adalah seni tingkat tinggi. Batik tak sekadar kain yang ditulis dengan menggunakan malam (cairan lilin). Pola-pola yang ada di batik, lanjutnya, memiliki filosofi yang sangat erat dengan budaya tiap masyarakat.

Beberapa waktu lalu, Iwan pernah diminta merancang kostum untuk pertunjukan kisah Mahabarata. Ia pun merancang satu motif batik untuk setiap peran. Sang sutradara sempat merasa heran dengan ragamnya motif batik.

Akan tetapi, desainer kondang tersebut menjelaskan bahwa setiap batik memiliki ciri khas tersendiri yang menggambarkan karakter pemainnya. Perang Mahabarata adalah perang klasik yang mengisahkan perebutan tahta Kerajaan Astina Pura sekaligus simbol kebaikan melawan keburukan. Pandawa melawan Kurawa. Dua keluarga sepupu yang terpaksa bertempur di medan laga demi kekuasaan.

"Jadi tak bisa kalau motif batiknya diseragamkan," kata lelaki yang pernah merancang batik untuk Ratu Elizabeth II, Ratu Sophie dari Spanyol, Ratu Juliana dari Belanda, dan Bill Clinton.

Perkembangan batik juga bisa dilihat dari aspek diplomatiknya. Selama ini batik selalu digunakan oleh Presiden saat menerima tamu-tamu kenegaraan. Bahkan, jika Indonesia menghadiri even internasional, para perwakilannya selalu menggunakan batik sebagai ciri khas. Kain ini juga sudah "diterima" oleh pemimpin dunia karena sering dijadikan sovenir.

Sayangnya, Iwan melihat belum ada penasihat khusus presiden yang memberi tahu tentang jenis batik dan waktu penggunaannya. Hal yang sama juga terjadi pada sebagian besar bisnis batik di daerah. Seringkali bisnis batik hanya dikelola keluarga tanpa mempertimbangkan perkembangan yang terjadi di luar. Kalau sudah seperti itu, tak hanya desain yang ketinggalan jaman, tapi juga tak terjadi transfer teknologi dan pengetahuan.

"Hanya satu dua orang di bisnis ini yang melakukan seluruh pengerjaan dengan benar," ujarnya.

Dari segi bisnis, industri batik sebenarnya cukup mudah dilakukan karena pasarnya tersebar dari tingkat lokal, regional, antarpulau, hingga internasional. Selain harganya yang murah, kreasi produk batik tak sebatas pakaian, namun juga asesoris interior.

Dari Ekskul sampai Idealisme

Untuk mengembangkan batik sebagai pakaian nasional, Iwan Tirta mengusulkan beberapa langkah konkret yang harus dilakukan. Pertama, menginvetarisasi semua perusahaan batik yang tersebar. Catatan ini mencakup orang-orang yang terlibat dalam bisnis dan segala prosesnya. "Mulai dari produser bahan mentah, pencelup, dan perancang," katanya.

Kedua, memasukkan pelajaran membatik dalam kegiatan ekstrakurikuler siswa SMP dan SMA. Nantinya, ada tiga hal yang dapat mereka pelajari, yakni teori, praktik, dan kunjungan ke pusat batik.

Dari segi teori, siswa harus diberi materi tentang pengenalan tradisi batik, bahan dasar dan bahan tambahan dalam membuat batik, penggunaan alat-alat membatik, pola-pola batik, fungsi dan kegunaan batik, dan proses penggambaran.

Pada tataran praktek, siswa harus bisa membedakan bahan mentah, membedakan jenis batik, membuat batik tulis, dan membuat baik cetak. Lalu, siswa juga harus berkesempatan mengunjungi tempat pembuatan batik untuk mengetahuai manajemen di industri ini.

Ketiga, menanamkan idealisme batik. Idealisme seharusnya menjadi dasar dari semua teori sebelum melangkah ke praktik.

Penurunan kualitas batik selama ini karena pembuat ataupun pebisnis batik tak lagi punya idealisme. Sebagai contoh, batik cetak yang kini dicetak di pabrik ataupun gambar yang hanya ada pada satu sisi.

"Pebisnis batik harus menyisihkan pendapatan mereka untuk riset dan pengembangan desain, seiring usahanya mengembangkan batik sebagai budaya nasional. Jika tidak, semua ide hanya sebatas tataran konsep," urai Iwan.
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

Kampanye HIV/AIDS Lewat Kesenian

Kamis, 22 Nov 2007

Media kampanye, apapun isunya, sebenarnya sangat beragam. Jika media massa dapat menjangkau banyak orang, ada media lain yang bisa menjangkau target yang sangat spesifik. Misalnya saja menggunakan pemuka agama, pemangku adat, atau melalui kesenian.

Kampanye bahaya HIV/AIDS sudah mulai sekitar 1997 di Indoneisa. Epidemi HIV/AIDS menyebar sangat cepat dan dapat menginfeksi sekitar 60 juta orang di seluruh dunia. Di Indonesia, berdasarkan data Komisi Penanggulangan Aids, setiap harinya ada 169 orang yang terinfeksi baru dan ada 90 kasus kematian karena AIDS.

Untuk mengampanyekan bahaya HIV/AIDS, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) membentuk Komite Kemanusiaan Indonesia (KKI). Komite ini menggunakan lima saluran kampanye, yakni dunia kerja, kawasan pelabuhan terpadu, kesenian budaya tradisional, media massa, dan institusi pendidikan.

Sebagai contoh, KKI dapat menjangkau audiens 5.000 orang dengan menggelar Wayang Tangkal Narkoba di lima kota (Jakarta, Solo, Tegal, Cirebon, dan Yogyakarta). Menurut perwakilan KKI Bambang Irianto, wayang golek merupakan media yang tepat yang mudah dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat hingga ke "grass root".

"Bahasanya mudah dimengerti dan tidak bersifat menggurui sehingga terbentuk kesadaran akan ancaman bahaya penyalahgunaan Narkoba," kata dia. Lalu, dengan pertunjukan wayang diharapkan tercipta daya tangkal terhadap penyalahgunaan dan peredaran.

Sebenarnya, pendidikan HIV/AIDS tak melulu dilakukan pendidik atau guru, tapi juga bisa dilakukan teman sebaya. Menurut Kepala Pusat Pengembangan Kualitas Jasmani Departemen Pendidikan Nasional Widaninggar, peserta didik dapat juga berpartisispasi dalam kegiatan kampanye.

"Peer education (pendidikan sebaya) ini sangat efektif, murah, cepat, dan sederhana," kata Widaninggar dalam pelatihan "Sosialisasi Program Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Pendekatan Kebudayaan" yang berlangsung Jumat, 16/11, di jakarta.

Selain itu, kampanya pencegahan HIV/AIDS bisa juga dengan memberikan kecakapan untuk hidup sehat bagi siswa SD, SMP, dan SMA. Pada dasarnya, setiap anak memiliki sejumlah kecakapan, seperti mengambil keputusan, memecahkan masalah, berpikir kritis, kreatif, membina hubungan antar pribadi, mengatasi emosi, dan mengatasi stress.

"Segala kecakapn tersebut merupakan alat yang efektif untuk mendorong remaja bertindak positif, memiliki inisiatif, dan mengendalikan diri. Dengan kecakapan ini, mereka mampu untuk berkata tidak pada seks dan Narkoba," jelas Widaninggar.

Tentunya, kecakapan tersebut juga harus dibekali dengan informasi umum seputar HIV/AIDS. Paling tidak, lanjutnya, ada lima informasi yang harus dipahami anak, yaitu apa itu AIDS, mengapa berbahaya, bagaimana penularannya, cara pencegahan, dan apa yang dapat dilakukan untuk ikut menanggulangi AIDS.

Sementara itu, menurut Irmayanti Meliono dari Fakultas Ilmu Budaya Universita Indonesia, dalam konteks penyampaian pesan dan informasi mengenai HIV/AIDS, maka haruslah diperhatikan pemilihan seni pertunjukan yang tepat dan audiensnya. Jangan lupa bahwa masyarakat Indonesia sangat kompleks dan bisa dilihat dari berbagai faktor, mulai dari pendidikan, agama, ekonomi, hingga adat istiadat. Jika salah mengemas pesan, maka masyarakat bisa langsung menolak pesan tersebut dan bersifat acuh tak acuh.

Maka itu, katanya, ada beberapa strategi yang harus diperhatikan. Pertama, bahasa yang digunakan dalam seni drama atau teater sedapat mungkin menggunakan bahasa daerah, selain bahasa Indonesia. Menurut Irma, akan lebih mudah bagi audiens memahami pesan HIV/AIDS dengan bahasa daerah yang lugas.

Kedua, pemilihan cerita haruslah dinamis dan humoris. Adapun si tokoh utama dalam cerita sebisa mungkin akan menjadi panutan bagi penonton. "Sehingga mereka dapat meniru perilaku yang baik atau setidaknya paham tentang bahaya HIV/AIDS," kata Irma.

Ketiga, para pemain atau pelaku seni harus benar-benar mahir dan menghayati perannya. Keempat, ruang dan waktu pertunjukan diatur dengan baik. Maksudnya, harus disediakan tempat yang memadai, aman, dilengkapi sarana dan prasarana, serta penentuan waktu yang memungkinkan banyak orang menghadirinya.

"Dengan begitu, pesan pendidikan dan pesan moral untuk penanggulangan HIV/AIDS dapat menyasar masyarakat luas dan menjangkau berbagai lapisan masyarakat," terangnya.

Kelima, kerjasama dengan masyarakat seni pertunjukan sangatlah dibutuhkan. Hal ini penting agar pertunjukan tak seni tak hanya bersifat tradisional, tapi juga modern.
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

Kenapa Harus BHP?

Yogyakarta | Rabu, 21 Nov 2007

Meski masih berupa Rancangan Undang-undang, namun penolakan Badan Hukum Pendidikan (BHP) sudah ditegaskan. Baik oleh Perguruan Tinggi Negeri (PTN), Perguruan Tinggi Swasta (PTS), kampus yang berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN), mahasiswa, praktisi pendidikan, hingga masyarakat umum.

PTN maupun BHMN menolak BHP karena melihatnya sebagai keinginan pemerintah untuk melakukan privatisasi, meniadakan pendanaan oleh negara, dan menghapus pensiun. Pihak PTS melihat RUU tersebut sebagai agenda tersembunyi dari pemerintah untuk menyingkirkan peran yayasan dan menghilangkan aset mereka. Sedang praktisi, mahasiswa, dan masyarakat umum melihat RUU ini sebagai kehendak pemerintah untuk mengomersilkan pendidikan.

Tentulah tidak mengherankan jika Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mengagendakan pembahasan RUUBHP pada Sosialisasi Kebijakan dan Capaian Kerja Depdiknas 2005-2007, Sabtu, 17/11, di Yogyakarta. Salah satu anggota Badan Kerja RUUBHP, Johannes Gunawan pun didaulat untuk menjawab segala pertanyaan.

Yang jelas, kata Johannes, tidak benar jika pemerintah ingin lepas tangan dengan dunia pendidikan. Dalam pasal 32 drart RUUBHP yang dibuat November 2007 menyatakan bahwa negara akan tetap membiayai lima pos pendidikan. Meski anggaran belum mencapai 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tapi pemerintah akan menyalurkan dana untuk Wajib Belajar 9 tahun, biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan pendidikan bagi peserta didik.

"Ini membuktikan pemerintah tidak lepas tangan. Menurut Undang-undang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) bantuan tersebut akan disalurkan melalui hibah berbasis kinerja atau prestasi," jelas Johannes yang juga Sekretaris Majelis Pendidikan Direktorat Pendidikan Tinggi Depdiknas.

UUSisdiknas juga mengatur bahwa penyelenggara atau satuan pendidikan harus diberikan kewenangan mengatur sendiri dirinya. Dalam hal ini, penyelenggara tak sekedar aparat Depdiknas dan Rencana Kerja Anggaran (RKA) tak lagi bagian dari departemen. Pada PTS, mereka tak lagi menjadi aparat yayasan karena sudah berbadan hukum.

Johannes juga mengherankan adanya pihak yang menolak BHP karena menganggapnya sebagai privatisasi pendidikan. "Privatisasi terjadi jika pemerintah tak mampu dan mempersilahkan swasta untuk mengelola. Toh dari dulu juga swasta boleh menyelenggarakan pendidikan," ucapnya heran.

Yang benar, menurutnya, bahwa PTN/PTS harus otonom. "Pemerintah pasti mendanai karena sudah perintah Undang-undang."

Dengan berstatus BHP, berarti satuan pendidikan punya kekayaan yang terpisah dari pendidirinya. Ia mengibaratkannya membuat Perseroan Terbatas dimana asetnya harus terpisah dari aset pendirinya.

Beberapa Perguruan Tinggi sempat mengungkapkan wacana Badan Layanan Umum (BLU) karena tak ingin menjadi BHP. Padahal, menurut UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberi pelayanan pada masyarakat.

"Jadi BLU tidak otonom karena status hukumnya tidak terpisah. Karena itu, dia tetap punya kewajiban menyetorkan pendapatannya ke negara. BHP tidak punya kewajiban seperti itu sehingga mereka bisa mengelola sendiri kekayaannya untuk mengembangkan diri. Lagipula, secara hukum, BLU bertentangan dengan UU Sisdiknas," jelas Johannes yang juga guru besar Fakultas Hukum di Universitas Parahyangan, Bandung.

Selain itu, ia juga menyayangkan adanya pihak yang beranggapan bahwa BHP adalah agenda tersembunyi untuk islamisasi. "Karena ada Majelis Wali Amanat (MWA) yang diambil dari istilah islam. Dalam bahasa Inggris, MWA ini disebut board of trustees. Kalau tak mau pakai istilah islam, ya tersah saja namanya apa asalkan fungsinya tetap."

Dalam RUUBHP disebutkan bahwa perguruan tinggi memiliki empat fungsi pokok, yaitu penentu kebijakan umum tertinggi, penentu kebijakan akademik, audit bidang nonakademik, dan pengelolaan pendidikan. Sedang pada pendidikan dan dasar dan menengah, paling tidak ada fungsi pokok, yaitu penentu kebijakan umum tertinggi dan pengelolaan pendidikan.

Lalu bagaimana dengan anggapan bahwa BHP menyingkirkan peran yayasan? Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI). Beberapa waktu lalu mengajukan uji materi Pasal 53 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Ketua ABPPTSI Thomas Suyitno berpotensi memunculkan masalah karena akan mematikan banyak yayasan yang sudah puluhan tahun mengabdi pada dunia pendidikan.

Sementara itu, Johannes menegaskan bahwa RUU BHP ini justru makin mengkohkan peran yayasan. Berdasarkan Undang-undang yayasan no.16 tahun 2003, yayasan tak boleh secara langsung mengadakan kegiatan usaha. Jika menyelenggarakan pendidikan, yayasan harus membentuk badan usaha. Padahal, UU Sisdiknas memerintahkan BHP haruslah nirlaba. Jadi, kalau mau memakai UU Yayasan, semua PTS harus menjadi perseroan terbatas.

"Selama ini, satuan pendidikan yang mencari uang untuk yayasan. Padahal kan terbalik. Dengan RUU BHP ini, satuan pendidikan tak harus menyetor laba ke yayasan dan bisa dimaksimalkan penggunaannya untuk penyelenggaraan pendidikan."
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

Kurikulum PT Luar Negeri Tak Bisa Seenaknya

Rabu, 21 Nov 2007

Peraturan Presiden (Perpres) No 77 Tahun 2007 dinilai membuka peluang terjadinya liberalisasi pendidikan. Perpres tersebut menyebutkan, sektor pendidikan, baik pendidikan dasar, menengah, tinggi maupun nonformal, dapat dimasuki investor asing dengan penyertaan modal maksimal 49 persen. Dengan Perpres tersebut banyak praktisi pendidikan mengangap pemerintah telah menjadikan sektor pendidikan sebuah bidang usaha atau perdagangan jasa yang tidak berbeda dengan bidang lainnya.

Wajar bila kemudian muncul kekhawatiran bahwa, lewat pendidikan, pemodal asing dapat ''menjual'' ideologi, nilai yang dianut, dan memasarkan standar moralnya melalui pengajaran. Bisa jadi semuanya tidak sejalan dengan karakter dan nilai bangsa Indonesia.

Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta sekaligus Ketua Forum Rektor Indonesia, Prof Dr Edy Suandi Hamid MEC berkata, "Transfer of values itu dapat dilakukan secara langsung atau samar-samar melalui lembaga pendidikan," katanya.

Hal senada pernah dikatakan Dewan Pembina Forum Rektor Indonesia Prof Dr Sofian Effendi, MPIA. "Jika semua pendidikan asing diperbolehkan mendirikan pendidikan maka siapa yang akan bertanggungjawab menanamkan nilai-nilai bangsa seperti nasionalisme dan cinta tanah air," kata Sofian.

Menurut Sekretaris Majelis Pendidikan Direktorat Pendidikan Tinggi Depdiknas Johannes Gunawan, Perguraun Tinggi (PT) Indonesia tak lalgi memiliki daya saing. Laporan malajah Times baru-baru ini, kata dia, menujukkan 200 universitas unggulan dunia dan tak satupun PT Indonesia yang termasuk di dalamnya.

"Keterbukaan tak bisa ditawar lagi. Sekarang tinggal bagaimana regulasi pemerintah kita," ujarnya. Harusnya, tambah Johannes, hal tersebut tak usah dikhawatirkan karena sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Meski penyelenggara pendidikan asing masuk ke Indonesia, ada delapan standar minimum yang harus dipenuhi, yakni standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, penilaian pendidikan. Adapun kurikulum untuk jenis pendidikan umum harus mencakup kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olah raga, dan kesehatan.
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

Bukan Untus tapi UASBN

Yogyakarta | Senin, 19 Nov 2007

Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mengubah kebijakan ujian nasional bagi siswa SD/Madrasah Ibtidayah yang sebelumnya bernama Ujian Nasional yang Terintegrasi dengan Ujian Sekolah (Untus) menjadi Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN). Hal tersebut dikemukakan Ketua Badan Standar Pendidikan Nasional (BSNP) Djemari Mardapi pada Sosialisasi Kebijakan dan Capaian Kerja Depdiknas 2005-2007, Sabtu (17/11) di Yogyakarta.

Perubahan tersebut tak hanya sebatas nama tapi juga proporsi soal Untus. Pekan lalu, Djemari mengatakan, 40% soal ujian akan dibuat pusat (BSNP) dan 60% oleh daerah. Pada soal UASBN proporsi soal buatan daerah bertambah jadi 75% dan pusat 25%. "Ini setelah kami bicarakan dengan DPR. Proporsi minimal memang 25%, setelah berbicara dengan DPR kami berkompromi," kata Dejmari.

Ia juga mengatakan bahwa BSNP dan daerah akan membuat kisi-kisi soal sebagai bahan latihan siswa. Pada ujian yang berlangsung 13-15 Mei 2008, ada 40 soal untuk tiga mata pelajaran yang diujikan, yaitu Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, dan Bahasa Indonesia.

Sekolah tetap memegang standar kelulusan siswa mereka. Adapun pemindaian hasil ujian akan dilakukan oleh kabupaten/kota dan penyekoran dilakukan Dinas Pendidikan di tingkat provinsi. Hasilnya diserahkan ke sekolah yang juga menentukan apakah seorang siswa lulus atau tidak.

"Jadi UASBN pada dasarnya dilakukan sekolah. Di sinilah kami akan menilai kejujuran mereka," kata Djemari.

Pemberian wewenang pada sekolah, tambahnya, diharapkan dapat membangkitkan motivasi guru dan siswa. Meski demikian, kelulusan siswa harus memenuhi empat syarat berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

PP tersebut mensyaratkan siswa sudah menyelesaikan seluruh program pembelajaran, memperoleh nilai minimal pada kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan kepribadian, estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan, lulus ujian akhir sekolah, dan lulus ujian nasional.

Dengan demikian, kelulusan siswa tak hanya ditentukan oleh UN. Meski jumlah kasusnya kecil, tapi di daerah ada siswa yang tak lulus karena akhlaknya buruk. "Ada kejadian di Sulawesi dan daerah lainnya," katanya.

Maka itu, guru dan pihak sekolah harus melaksanakan tiga komponen lainnya dengan baik dan objektif. Standar kelulusan bagi siswa SD ditetapkan oleh sekolah agar tak ada katrol nilai yang dilakukan guru-guru ataupun membantu nilai siswanya.

Motivasi Belajar

Dalam kesempatan tersebut, Djemari juga menegaskan, Ujian Nasional dapat meningkatkan motivasi belajar peserta didik. Pada 2004, Djemari dan beberapa rekan sempat melakukan penelitian dampak Ujian Akhir Nasional (UAN) siswa SMP dan SMA di enam provinsi. Hasilnya menunjukkan bahwa 87% guru menyatakan siswa lebih semangat belajar, 70% guru menyatakan siswa lebih rajin mencari sumber bacaan, dan 82% menyaratkan UAN mendorong mereka giat mengajar.

"Siswa yang tingkat akademiknya rendah pasti perlu motivasi belajar yang tinggi untuk mencapai standar kelulusan. Kecemasan tak lulus UN harus diubah jadi motivasi, jangan stress," urainya.

Sementara itu, BSNP juga akan menaikkan standar minumum nilai UAN SMP/SMA sebesar 4,25 untuk masing-masing mata pelajaran dan rata-rata skor minimum 5,25. Tahun depan, terdapat tambahan mata pelajaran IPA bagi siswa SMP. Untuk siswa SMA jurusan IPA akan ada tambahan mata pelajaran fisika, kimia, dan biologi, jurusan IPS ditambah matematika dasar, geografi, dan sosiologi, jurusan Bahasa ditambah sastra Indonesia, bahasa Asing selain Inggris, matematika dasar dan antropologi.
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

Bullying yang Berulang

Kamis, 15 Nov 2007

Pada suatu Senin, saat semua siswa sekolah SMA 70 sedang upacara di lapangan sekolah, terdengar beberapa orang berbisik-bisik. Rupanya, ada sebagian siswa laki-laki yang tak ikut upacara.

"Utas cowok pada dikumpulin sama agit," kata seorang siswa. Di SMA 70, utas (kebalikan dari kata satu) adalah panggilan untuk siswa kelas satu, aud untuk kelas dua, dan agit untuk kelas tiga.

Benar saja, seusai upacara, seorang murid kelas satu laki-laki dijejerkan di depan kelas dalam posisi jongkok. "Anak-anak cewek masukin kelas aja sebelum ada urug (guru)," kata seorang agit. Sebelum masuk kelas itulah siswa agit menampar siswa utas satu per satu.

Gambaran itu terulang terus saat si utas sudah agit. Beberapa teman seangkatan si utas pernah memamerkan video saat mereka mengumpulkan utas di sebuah taman dekat sekolah. Di video itu, mereka tak hanya menampar tapi juga mengerjai mereka. Rupanya, teman-teman seangkatan itu sedang menyiapkan nama untuk angkatan itu.

Senioritas memang sudah mendarah daging di sekolah unggulan itu. Mungkin karena sejarah terbentuknya yang unik. SMA ini terbentuk setelah menyatukan SMA 9 dan SMA 11 yang muridnya sering berkelahi.

Untuk membedakan setiap angkatan, SMA 70 mengenal nama angkatan dan warna yang menandainya. Sebagai contoh, lulusan tahun 2001 bernama Trabalista dengan warna abu-abu, tahun 2000 bernama Somoza dengan warna marun, dan 1999 bernama Zapatista dengan warna coklat muda.

Selama masih bersekolah, rata-rata murid menyadari bahwa apa yang dilakukan itu salah. Tentu saja sejumlah murid pernah kesal jika dimintai uang, disuruh membeli minum atau makanan, ataupun tak boleh keluar kelas karena dilarang agit. Tapi, saat si siswa sudah agit, dia akan menikmati makanan-makanan "rampasan" atau "hak-hak spesial" seperti kursi kantin yang selalu tersedia, tak perlu mengatre untuk menggunakan WC sekolah, atau bebas memarkir kendaraan di depan sekolah.

Menurut Diena Haryana, pendiri Yayasan Semai Jiwa Amini (SEJIWA), lama-lama, bullying dan tindakan semacam ini dianggap wajar. Tak ada yang menyadari dampak jangka panjang yang ditimbulkan baik pada korban juga pelaku. Akibatnya, bullying terus terjadi sampai menimbulkan korban jiwa dan trauma berkepanjangan.

"Hal ini tentunya bisa menghambat proses belajar dan proses perkembangan jiwa seorang anak," kata Diena kepada Jurnal Nasional.

Bullying adalah penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok, sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya. Dan peristiwanya, sangat mungkin terjadi berulang.

Bullying terbagi menjadi tiga. Pertama, fisik, seperti memukul, menampar, dan memalak atau meminta dengan paksa apa yang bukan miliknya. Kedua, verbal, seperti memaki, menggosip, dan mengejek. Ketiga, psikologis, seperti mengintimidasi, mengecilkan, mengabaikan, dan mendiskriminasikan.

Kegiatan inisiasi seperti ospek dan ritual yang biasa diadakan para senior di sekolah, merupakan bentuk bullying yang tidak disadari. Kegiatan yang seharusnya bertujuan memperkenalkan sekolah dan program itu, malah melenceng menjadi ajang untuk mempemalukan para siswa baru dengan kegiatan yang merendahkan dan mengintimidasi.

Bullying ternyata tidak hanya memberi dampak negatif pada korban, melainkan juga pada para pelaku. Bullying, dari berbagai penelitian, ternyata berhubungan dengan meningkatnya tingkat depresi, agresi, penurunan nilai akademik, dan tindakan bunuh diri. "Selain itu juga menurunkan skor tes kecerdasan dan kemampuan analisis para siswa," kata Diena.

Hasil penelitian Sejiwa yang dilakukan di 40 sekolah pada bulan April 2006 menunjukkan, salah satu penyebab bullying adalah 'pendidikan disiplin' dari guru dan orang tua.

"Ada 199 macam jenis kasus bullying di sekolah. Di antaranya junior disundut rokok oleh senior, pemukulan pada masa ospek (sekarang MOS) dan pemalakan uang," tutur Diena.

Penelitian yang dilakukan Ratna Djuwita dari Universitas Indonesia menemukan bahwa bullying terjadi di banyak sekolah menengah atas di Indonesia karena sudah tradisi. Sekelompok siswa melakukan bullying pada siswa lain karena mereka memiliki masalah satu sama lain. Namun ada pula yang melakukannya hanya karena suka dan menikmatinya.

"Peristiwa seperti ini jangan kita gunakan untuk saling menyalahkan. Tapi kita gunakan untuk menyadari bahwa kita semua masih belum cukup mengantisipasi dan mencegah bullying itu sendiri. Seluruh pihak, baik orang tua dan guru perlu melakukan sesuatu karena bullying menimbulkan trauma dan sangat berpengaruh terhadap masa depan anak-anak mereka," ujar Diena.

Selain itu, anak-anak perlu dibimbing agar mereka menyadari bahwa perilaku tersebut merugikan dan mengarah pada tindakan melanggar hukum. Diperlukan dukungan dan komitmen dari semua pihak untuk mengurangi bullying di sekolah dan menciptakan lingkungan sekolah yang positif dan sehat.

"Tidak ada seorang pun dengan alasan apa pun yang layak untuk di-bully," tambah Diena.
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

Tanda Kota, Kenalkah Anda?

Rabu, 14 Nov 2007

Tahukah Anda di mana letak taman Chairil Anwar di Jakarta? Tahukah Anda letak taman Kristina Martha Tiahahu? Jika tidak, bisa jadi Anda lebih mengenal bangunan yang ada di sekitar taman tersebut. Es Krim Ragusa di depan taman Chairil Anwar atau Blok M Plaza di depan taman Kristina Martha Tiahahu.

Selama ini "tanda kota" lebih sering teralami daripada terbahas. Bisa jadi, seseorang lebih senang memberi tanda suatu lokasi berdasarkan pengalaman pribadi mereka dibanding tanda yang diberi pemerintah. Sejumlah papan iklan penjual jasa, stiker, teks-teks di kendaraan umum, bentuk khas rumah makan dari etnis tertentu adalah bentuk-bentuk visual yang diam-diam memenuhi dan mengubah persepsi kita atas sebuah kota.

Untuk mengelola pemahaman terhadap ruang dan tanda yang ada di Jakarta, Dewan Kesenian Jakarta mengadakan Festival Tanda Kota. Festival tersebut diikuti enam seniman muda dan tigabelas kelompok seni-budaya yang berasal dari Jakarta, bandung, Yogyakarta, Semarang, dan Jatiwangi. Beberapa nama di antaranya Andry Mochamaad, Bambang Toko, Indra Ameng, Irwan Ahmett, dan Narpati Awangga. Sedang kelompok yang turut serta adalah Akademi Samali, Forum Lenteng, Peniti Pink Zines Initiatives, dan Byar Creative Industry.

Selain pameran, festival juga diramaikan oleh diskusi, artist talk, serta workshop yang berlangsung 14-23 November di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki.

Menurut kurator pameran Reza Afisina, dengan festival ini diharapkan para seniman mampu menggali kemampuan riset mereka tentang tanda-tanda yang tersebar. Sebagai contoh, sebuah warung di persimpangan jalan secara tak sengaja menjadi penanda lokasi yang sejajar dengan sejumlah monumen dan gedung tinggi yang memang ingin dikenal. Padahal, monument itu sudah menjadi penanda lokasi sejak didirikan.

"Penanda-penanda itu menunggu untuk ditelurusi lagi jejak sejarahnya, serta pengalamannya dalam beradaptasi terus-menerus dengan lingkungannya, kata Reza dalam jumpa pers yang digelar, kemarin.

Ia juga menambahkan bahwa festival ini bisa mencatat perkembangan visual kota yang terbentuk karena usaha bertahan hidup masyarakatnya. Perhatian khalayak terhadap salah satu produk urban, yakni hal yang informal, seringkali berhenti pada faktor "keterpaksaan ekonomi". Setelah menemukan "keterpaksaan ekonomi" sebagai sebab, seolah semuanya selesai, dan serta-merta jalan penelitian mati.

"Tak ada yang sempat mengalami lebih dalam. Akhirnya, menciptakan jarak antara yang informal tersebut dengan unsur-unsur lain di dunia urban. Padahal, dunia informal urban tidak hanya terbentuk karena alasan bertahan hidup tersebut. Disinilah seni rupa bisa menyandarkan dirinya pada permasalahan visual kota yang tumbuh alami bersama gejolak sosialnya," jelas Reza.

Pameran Tanda Kota tak akan membatasi medium yang digunakan seniman. Pemaran tersebut juga akan terbagi dalam enam fokus. Pertama, Rumah atau persepsi kita tentang menghuni ruang kota.

Kedua, Ruang Otonom Sementara atau ruang apa pun dalam kota yang "disesuaikan" menjadi tempat tinggal dan tempat usaha.

Ketiga, Teks dalam Kota, merupakan ragam ekspresi masyarakat sebagai usaha bertahan hidup.

Keempat, Iklan Ilegal, berjenis papan iklan ilegal yang bertebaran di penjuru kota. Kelima, Ruang Makan yang merupakan memori bawaaan tentang rumah di kampung halaman beserta identitasnya, dan usaha bertahan hidup. Dan keenam adalah Penanda Kota.

Kami juga mengadakan diskusi, artist talk, serta workshop sebagai bagian utama dari seluruh festival ini.

Asisten kurator Ardi Yunanto mengatakan bahwa pada akhirnya festival ini hanyalah pengantar bagi sejumlah kajian lain. "Sehingga tanda kota tidak hanya terlihat dan teralami, tidak sekadar menjadi akibat dari usaha bertahan hidup. Namun, tanda bisa menyimpan makna yang lebih dalam, untuk dikaji dan disikapi, demi ingatan yang terbentuk di masa depan sebuah kota," kata Ardi.
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

Kerja Keras Ciptakan SDM Berdaya Saing

Senin, 12 Nov 2007

Akhir Oktober lalu, The World Economic Forum mengeluarkan hasil riset tentang peringkat daya saing global (CGI/ The Global Competitiveness Index). Hasilnya, Indonesia berada pada peringkat 54 dari 131 negara di dunia. Posisi ini menurun jika dibandingkan tahun lalu yaitu peringkat 50. Padahal, pada 2006 peringkat tersebut naik pesat dari peringkat 69 pada 2005.

Di kalangan negara ASEAN, Singapura menduduki peringkat tertinggi, yaitu 7, Malaysia pada posisi 21, dan Thailand pada posisi 28. Peringkat Indonesia masih berada di atas Vietnam (68) dan Filipina (71).

Dalam menentukan GCI, The World Economic Forum menggunaka 12 pilar daya saing internasional, yakni institusi, infrastruktur, makro ekonomi, pendidikan dasar dan kesehatan, pendidikan tinggi dan pelatihan, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja, kecanggihan pasar finansial, kecepatan teknologi, ukuran pasar, kecanggihan bisnis, dan inovasi.

Pada pilar pendidikan dasar dan ksehatan, peringkat Indonesia turun dari peringkat 72 di tahun 2006 menjadi 93 di tahun ini. Pendidikan tinggi dan kesehatan turun 17 peringkat dari 53 (2006) menjadi 70. Sedang pilar efisiensi pasar tenaga kerja tetap pada peringkat 51.

Laporan tersebut jugamenyebutkan, sumber-sumber lemahnya Indonesia berkaitan dengan infrasturktur, stabilitasmakro ekonomi, pendidikan dasar dan kesehatan, serta kecepatan teknologi.

Menurut Ketua Indonesia Competitiveness Community (ICC/Komunitas Dayasaing Indonesia) Handito Hadi Joewono, indeks tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan kompetitif suatu negara. Peringkat tersebut dapat digunakan untuk mencari hambatan kemajuan ekonomi. Benarkah pasar tenaga kerja tidak fleksibel? Benarkah infrastruktur ataupun pendidikan tak mencukupi? Atau benarkah inovasi dan pasar keuangan belum berkembang?

Daya saing sendiri didefinisikan sebagai kumpulan institusi,kebijakan, dan faktor penentu produkstivitas suatu negara. "Peningkatan kompetensi SDM Indonesia sudah mendesak untuk dilakukan," kata Handito pada sebuah diskusi terbatas tentang daya saing sdm Indonesia, Jumat (9/11), di Jakarta.

Menurut Ketua Komite Tetap Peningkatan Daya Saing Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Makfudin Wirya Atmaja, sebenarnya pemerintah sudah tahu akan statistik SDM, hanya saja tak ada upaya tidak lanjut. Di Malayasia, lanjut Makfudin, peningkatan kualitas SDM mereka terihat setiap peningkatan jenjang pendidikan. "Perbedaan kompetensi mahasiswa tingkat satu dengan tingkat dua terlihat jelas. Kalau di kita, sarjana pun sering tak jelas kompetensi yang mereka miliki."

Pendiri ICC M Moedjiman mengatakan, Indonesia perlu meningkatkan produktivitas yang nantinya menentukan kualitas sumber daya manusianya. Hanya saja, kualitas ini tak bisa didapat tanpa kompetensi dan profesionalisme. "Tapi kan untuk mendapatkan kualitas tak bisa sim salabim. Ada tiga acuan dasar yang harus dipenuhi,"ujar Moedjiman.

Pertama, menentukan standar atau acuan kualitas SDM. Standar setiap profesi harusnya bisa diukur dan dirumuskan secara jelas. Begitupun jika seseorang mau naik level. Selama ini, profesi yang paling jelas standaranya adalah teknisi otomotif, terbagi atas tiga level dengan 120 unit kompetensi.

"Kalau mau naik level, mereka harus memenuhi kompetensi yang sudah ditetapkan. Harusnya, semua bidang seperti ini," jelas Moedjiman yang juga Ketua Umum Badan Nasional Sertifikasi Profesi.

Kedua, harus ada penataan kembali lembaga pendidikan dan pelatihan. Dan ketiga, harus ada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP). Selama ini, katanya, Indonesia terkenal kurang dipercaya karena adanya kasus jual beli ijazah. "Untuk membangun paradigma baru, sdm kita harus berbasis kompetensi dan disertifikasi," ucap Moedjiman.

Hal senada juga dikatakan Handito. "Sertifikasi bisa menjadi sarana penjamin mutu demi peningkatan daya saing berkelanjutan.

Makfudin menambahkan, daya saing SDM bisa ditingkatkan jika saja setiap lembaga bisa menjalankan fungsinya masing-masing. Selain itu, perlu sebuah visi yang jelas tentang arah peningkatan daya saing ini.

Komunitas Daya Saing Indonesia

Dengan kesadaran untuk ikut meningkatkan daya saing perekonomian nasional dan dunia usia, beberapa profesional mendirikan Komunitas Daya Saing Indonesia atau Indonesia Competitiveness Community (ICC) pada awal Oktober 2007. Anggotanya berasal dari kalangan dunia usaha, pemerintah, akademisi, dan pemerhati daya saing.

Sebagai komunitas nirlaba, ICC akan memberi layanan publik bagi masyarkat dannegara dalam bentuk kejian, penelitian, diskusi, pertemuan, publikasi, dan kegiatan lainnya.

Menurut Ketua ICC Handito Hadi Joewono, Malaysia adalah satu contoh negara yang sangat memperhatikan kompetensi sdm mereka. Bahkan, Perdana Menteri Malaysia membentuk lembaga khusus yang mengurusi kompetensi SDM. "Lembaga ini aktif mencari tahu kekurangan mereka dan mengundang pakar dari luar negeri untuk memberi masukan," katanya.

Ia juga menilai, dalam hal kompetensi SDM, selama ini setiap lembaga cenderung jalan sendiri-sendiri. "Agar harmonis, mungkin bisadibentuk komisi atau lembaga yang khusus mengurusi daya saing ini. ICC berusaha menyumbang lewat kegiatannya," kata Handito.

Dimuat di Jurnal Nasional

Ujian Nasional SD--- Lulus Tidak Tergantung Sekolah

Jum'at, 09 Nov 2007

Ujian Nasional untuk siswa Sekolah Dasar (SD) yang berlangsung pertengahan Mei tahun depan akan berintegrasi dengan ujian sekolah/madrasah yang bersangkutan. Ada tiga mata pelajaran yang akan diujikan, yakni matematika, Bahasa Indonesia, dan ilmu pengetahuan alam. Adapun nilai kelulusan akan ditetapkan sendiri oleh pihak sekolah berdasarkan nilai minimum dan rata-rata mata pelajaran tersebut.

Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) hanya akan menentukan 40 persen muatan soal ujian nasional yang terintegrasi dengan ujian sekolah/madrasah (Untus). Sedangkan 60 persen sisa soal akan ditetapkan oleh penyelenggaran Untus di tingkat provinsi. "Tentunya berdasarkan spesifikasi soal Untus tahun pelajaran 2007/2008 yang ditetapkan BSNP," kata Kepala Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Djemari Mardapi di hadapan sejumlah wartawan, kemarin, di Departemen Pendidikan Nasional, Senayan, Jakarta.

Menurut Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, pada dasarnya tidak ada perubahan yang mendasar dalam pelaksanaan UN SD dengan ujian akhir tahun yang dilakukan sekolah saat ini.

Perbedaannya hanya materi soal ujian saja yang sebagian dibuat oleh pemerintah pusat dan sebagian dibuat oleh sekolah, namun porsinya juga lebih besar yang dibuat oleh masing-masing sekolah, sehingga dipastikan UN SD tidak akan terlalu memberatkan siswa.

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, prosesnya sama dengan saat ujian akhir sekolah, hanya beda soal saja," kata Bambang, Rabu, 7/11, usai peresmian Pelaksanaan Pembangunan Pendidikan di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel).

Sedangkan kisi-kisi soal tersebut disusun berdasarkan materi kurikulum 1994, standar kompetensi dasar pada standar isi. Sebelumnya, soal-soal tersebut sudah diujicobakan pada tiga wilayah yang nilai siswanya paling kurang, yaitu Ambon, Palangkaraya, dan Bangka-Belitung.

Setelah itu, soal tersebut dikaji oleh pakar bidang studi, pakar pendidikan, dan guru. Jadi, soal yang diujikan hanyalah yang mampu dijawab siswa di ketiga wilayah tersebut.

Mendiknas juga yakin, kendati pelaksanaan UN SD tinggal sekitar lima bulan lagi, namun akan berhasil sebagaimana UN tingkat SMP maupun SMA. Ia juga berharap agar daerah mengejar ketertinggalan tingkat kelulusan UN SMP yang umumnya masih jauh dibandingkan dengan tingkat kelulusan UN SMA.

"Banyak daerah, di antaranya Kalsel yang tingkat kelulusan SMP-nya masih berada di bawah rata-rata nasional, ini harus dikejar, karena SD dan SMP termasuk dalam pendidikan dasar sesuai dengan program Wajib Belajar Sembilan Tahun," katanya.

Selain itu, Djemari menegaskan agar sekolah memperhatikan nilai sehari-sehari, perilaku dan akhlak siswa sehingga hasil Untus tidak semata-mata diperoleh dari ujian saja.

"Jika ada siswa yang nilai matematikanya 10 tapi akhlaknya jelek, tentu kepala sekolah bisa menilai apakah dia pantas untuk lulus atau tidak," ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Balitbang Depdiknas, Burhanuddin Tolla, mengatakan bahwa instrumen ujian nasional adalah satu-satunya cara untuk mengukur kemampuan akademik siswa secara masal dan murah. Dengan menyerahkan standar kelulusan ke pihak sekolah, ia berharap siswa dan guru lebih aktif dalam proses belajar mengajar.



Evaluasi Sekolah

Selain itu, Untus juga akan menjadi evaluasi dalam proses pertanggungjawaban kepala sekolah. "Berapa pun nilai kelulusan terserah sekolah dan bisa berbeda tiap mata pelajaran. Kalau kepala sekolah mau kasih standar lulus nilai dua ya terserah saja kalau memang tidak malu. Tapi kan itu juga jadi bahan evaluasi kita. Kami akan pantau sejauh mana sekolah memberikan nilai," uajr Burhanuddin.

Proses pemindaian dan pemeriksaan Untus akan dibuat lebih mudah. Peserta Untus tak harus menghitamkan lembar jawaban seperti pada UN SMP/SMA. "Cukup disilang saja, hasilnya akan terbaca oleh komputer. Hasil yang sudah ada akan dikirim ke provinsi diberi skor, dan dikembalikan ke sekolah masing-masing untuk dinilai kelulusannya," urai Djemari.

Jika nantinya nilai rata-rata Untus lebih besar dari standar kelulusan, maka pihak sekolah dapat mengubah standar tersebut. Lalu, apakah perlu semacam perjanjian agar pihak sekolah benar-benar menetapkan standar sesuai kemampuan siswanya? "Hal itu akan kami pertimbangkan setelah Untus pertama dilakukan," jawab Djemari.

Yang jelas, siswa yang telah mengikuti Untus akan mendapat Surat Keterangan Hasil (SKH Untus) yang berisi nilai Untus. Nantinya, siswa dapat menggunakan SK tersebut untuk mendaftar ke SMP. Jadi, meski dinyatakan lulus, tapi seorang siswa belum tentu memenuhi standar nilai yang ditetapkan SMP.

Djemari juga menambahkan bahwa dengan Untus tak ada lagi sekolah yang mengatrol nilai siswanya. Dulu, Depdiknaslah yang menetukan standar kelulusan sekolah. Hal tersebut, katanya, membuat sekolah mengantrol nilai siswa mereka.

"Dengan sistem ini, kami harap sekolah akan meningkatkan dirinya sendiri. Kami juga akan lakukan evaluasi bertahap. Daerah yang sekiranya kurang tentu akan kita bantu," paparnya.

Untus tahun pelajaran 2007/2008 akan diikuti sekitar 5,2 juta peserta yang berasal dari 184 ribu SD/MI/SDLB. Menurut Burhanuddin, Untus membutuhkan biaya sekitar Rp23 Miliar untuk menyiapkan bahan ujian dan prosedur operasi standar.

"Biaya penyelenggaraan Untus menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Siswa gratis dan sekolah tidak diperkanankan memungut biaya," jelas Burhanuddin. (ika karlina)

Dimuat di Jurnal Nasional

Arkeologi di Tengah Objek yang Telantar

Kamis, 08 Nov 2007

Ilmu arkeologi selama ini kurang populer jika dibandingkan ilmu-ilmu lain yang ada di msayarakat, semisal ekonomi, kedokteran, atau hukum. Tidaklah heran jika akhirnya marak perusakan dan pencurian situs-situs bersejarah di seluruh Indonesia. Belum lagi menjamurnya galeri ilegal dan penyelundupan barang-barang antik ke luar negeri.

Objek arkeologi jumlahnya sangat banyak dan tersebar hingga ke pelosok-pelosok daerah. Jangan kan penjaga dan perawatnya, jumlah arkeolog yang melakukan penelitian pun masih sedikit. Hal ini karena jumlah mereka yang juga sedikit.

Sebetulnya ada beberapa universitas yang membuka jurusan ini, sebut saja Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Udayana, dan Universitas Hasanuddin. Pekerjaan di bidang arkeologi, selama ini hanya ada di Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Arnas), Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Jika setiap tahun ada lulusan arkeologi, tentunya jumlah lapangan kerja yang ada tak dapat menampung mereka.

Di tingkat daerah, tersebar 10 Balai Arkeologi (Balar). Sayangnya, jumlah arkeolog yang ada di Balar sangat sedikit. "Ada dua yang jumlah arkeolognya sedikit. Bahkan di Papua tak ada sama sekali. Kalau ada penelitian, harus mendatangkan peneliti dari pusat, padahal kan Balar ada biar lebih hemat," kata Bambang Budi Utomo, Peneliti Arkeologi di Arnas.

Bambang menambahkan, jumlah arkeolog terus berkurang karena pensiun. Dampaknya, orang-orang yang berkecimpung di bidang ini semakin sedikit. Sebagai gambaran, Arnas hanya memiliki seorang juru gambar. Kondisi serupa terjadi juga pada ahli epigrafi (ilmu membaca naskah kuno di prasasti) dan lainnya.

Kekurangan tenaga kerja ini sebenarnya sudah diajukan, "Tapi katanya sedang tidak membuka kursi," kata Bambang. Padahal, itu hanya untuk lowongan peneliti, belum termasuk di bidang pelestarian yang pengawasannya sangat sulit.

Menurut Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudyaan dan Pariwisata Hari Untoro Drajat, sebenarnya ada sejumlah ahli di arkeologi, hanya saja bidang yang mereka garap sangat khusus.

"Kami sudah untuk minta tambahan tenaga hingga tingkat Menpan (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara), tapi ternyata tenaga honorer itu masih sisa banyak sekali dan belum tertangani. Jadi penerimaan akan fokus ke situ dulu," kata Hari saat dihubungi Jurnal Nasional.

Menurutnya, di era otonomi daerah seperti ini, harusnya daerahlah yang berinisiatif mengangkat tenaga kerja. "Bukan berarti kami tak mengupayakan apa pun. Sebentar lagi, kami akan menambah tiga Balar di wilayah timur, seperti Kalimantan dan Manado," ujarnya.

Hari melihat kaderisasi sebagai hal yang penting. Hanya saja, saat ini pihaknya baru dapat merekrut lulusan arkeolog jika ada tenaga yang pensiun. Ia juga menekankan bahwa penyaluran lulusan ini tak hanya menjadi tugas pemerintah tapi juga universitas.

Di Amerika dan Eropa, profesi arkeolog sangat bergengsi. "Hanya saja, di sana seseorang jadi arkeolog kalau sudah kaya. Di Indonesia, seseorang menjadi arkeolog itu untuk mencari penghasilan. Karena untuk penghasilan, makanya pengembangan ilmu akan sulit karena harus beli buku dan sebagainya."

Kurang Dimasyarakatkan

Bagi lulusan jurusan arkeolog, lapangan kerja yang tersisa paling hanya di Arnas atau pengajar di Universitas. Kecendrungannya, tambah Bambang, adalah bekerja di bidang lain. "Mereka tetap bisa terpakaia di bidang lain, tapi kan jadi tidak mengembangkan ilmunya sendiri," kata dia.

Dalam pengembangan ilmu, semakin lebih baik. Sebagai contoh, saat ini penelitian arkeologi sudah memperhatikan lingkungan sekitar situs. Saat melakukan kajian di Sriwijaya, sebenarnya menunjukkan kerajaan pantai. Hanya saja, kota Palembang terletak jauh dari pantai. Tanpa bantuan ilmu geomorfologi, hal tersebut tak bisa terjawab.

"Ilmu arkeologi tak mungkin berdiri sendiri. Ilmu ini perlu ilmu Bantu yang sangat beragam, tergantung pada bidang kajiannya," kata Bambang yang sangat intensif meneliti situs peninggalan Kerajaan Sriwijaya.

Selain itu, Bambang juga menilai bahwa para peneliti di bidang ini masih belum mau membuka diri untuk hal-hal baru atau orang lain. Selama ini, para arkeolog hanya melakukan penelitian tapi tak memasyarakatkan hasilnya."Otomatis ilmu ini terpinggrikan," ujarnya.

Ia menyarankan agar para arkeolog menggiatkan menulis artikel opini di media massa. "Hanya saja masih ada kawan-kawan arkeolog yang menganggap rendah penulisan populer. Padahal kalau tulisan ada di media massa atau internet, akan lebih mudah diakses oleh orang lain," kata Bambang yang pernah melakukan penelitian di situs-situs yang ada di Semenanjung Tanah Melayu (Malaysia dan Thailand Selatan).

Salah satu cara paling mudah memopulerkan arkeologi adalah dengan melakukan ceramah di perguraun tinggi atau diskusi seputar penelitian. Seorang arkeolog harus bisa menjelaskan pada masyarakat tentang penelitian mereka. Masyarakat harus mengerti bahwa si peneliti tak mencari benda atau harta karun, tetapi mencari tahu asal-usul nenek moyang.

"Saya rasa mereka bisa memahami. Justru masyarakat tertarik dengan hal yang berkaitan dengan mereka," ujarnya.

Dulu, Bambang pernah diminta untuk menjalaskan hasil peneliatiannya di sekitar Gunung Tambora. Saat itu ia menemukan padi yang terkubur. Di hadapan masyarakat ia pun menjelaskan bahwa pada abad 17 masyarakat Sumbawa dikenal sebagai pengekspor beras.

"Saat Tambora meletus, ekspor beras terhenti. Saya sadarkan dan bangkitkan mereka bahwa Sumbawa bisa mengekspor beras seperti dulu. Saya kira hal-hal seperti ini yang jarang dilakukan arkeolog," urainya.

Hal serupa juga dikatakan Hari. Menurutnya, perlu ada publikasi popular tentang arkeologi. Tak hanya yang berhubungan dengan akademis, tapi juga cerita rakyat. "Bisa juga dalam bentuk komik. Saya kira itu lebih emnarik masyarakat," tambahnya.

Ke depan, Hari emlihat ilmu arkeologi akan semakin berkembang ke arah manajemen. Sebagai contoh adalah jurusan manajemen riset budaya atau pengelolaan museum. Pasalnya, museumlah yang bisa menghubungkan arkelologi dengan masyarakat luas.
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

Tren Baru: Perpustakaan Maya

Rabu, 07 Nov 2007

Perkembangan internet membuat akses dan pertukaran informasi semakin mudah. Kemudahan ini cenderung membuat mahasiswa meninggalkan perpustakaan dan mencari bahan tulisan ilmiah mereka di internet.

Ketua Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Dedy Nur Hidayat mengatakan, ke depan, tradisi riset di internet akan semakin menggejala dan menjadi hal yang umum untuk dilakukan.

"Sumber yang ada di internet sangat beragam, mulai dari jurnal ilmiah online, weblog pribadi, ataupun situs media massa . Materi yang tersedia pun semakin banyak, informasi mudah mencari, dan up to date," jelas Dedy.

Tjiptono, Fandy dan Totok Budi Santoso dalam buku Strategi Riset Lewat Internet memaparkan beberapa keunggulan dalam pemanfaatan internet sebagai media riset. Dari segi konektivitas dan jangkauan global, pengaksesan data dan informasi melampaui batas-batas negara. Kondisi tersebut memungkinkan peneliti mendapatkan informasi dari database dan perpustakaan yang lengkap di seluruh dunia dan juga berasal dari beraneka ragam sumber.

Kemudian akses informasi di internet tidak dibatasi waktu karena lingkupnya yang global. Dilihat dari kecepatan, bila dibandingkan dengan sumber data tradisional, riset melalui internet jauh lebih cepat, karena bersifat real time. Kecepatan ini bisa dibandingkan, misalnya pencarian informasi secara elektronik melalui mesin pencari (search engines) dengan pencarian lewat katalog perpustakaan atau pencarian buku/jurnal di rak-rak perpustakaan.

Selain kecepatan, kenyamanan juga akan didapatkan, karena peneliti lewat internet tidak harus menghadapi berbagai birokrasi. Selain itu, berbagai fitur (features) yang di rancang khusus dan user-friendly sangat memudahkan peneliti mengakses berbagai situs internet. Kemudahan akses juga akan didapat dengan adanya dukungan fasilitas komputer yang terhubung ke internet baik itu di kampus, di warnet (warung internet) maupun milik pribadi.

Dibandingkan membeli jurnal asli, penelusuran informasi lewat internet jauh lebih murah. Apalagi banyak situs yang menyediakan jasa informasi secara cuma-cuma. Pencarian data juga akan lebih interaktif dan fleksibel jika topik dan hasil riset bisa didiskusikan melalui sarana di internet misalnya mailing list atau chatting. Dengan itu, peneliti bisa mengikuti perkembangan terbaru atau meminta komentar dan penilaian dari berbagai pihak.

"Tapi internet juga punya kelemahan. Kita tidak bisa mengontrol apakah sumber itu reliable. Selain itu, data di internet sangat mudah untuk dimaipulasi. Bisa saja seseorang mengambil informasi di blog lalu diubah-ubah sedikit," kata Dedy.

Ia juga menegaskan perlunya inisiatif dari dosen pembimbing yang bersangkutan untuk mengecek informasi dari internet yang ada dalam karya ilmiah. "Karena data yang ada sulit dikontrol, maka yang paling penting adalah mendahulukan control terhadap keautentikan data," ujarnya.

Hal serupa juga dipaparkan Tjiptono, Fandy dan Totok Budi Santoso. Menyebarkan kuisioner di internet membuat peneliti sulit mengidentifikasi identitas responden. Setiap orang bisa saja mengisi kuesioner secara on-line tanpa bisa dicegah atau dibatasi, termasuk yang bukan target respons.

"Belum tentu responden menggunakan identitas asli. Oleh karena itu, membuat riset secara on-line harus benar-benar selektif dalam menentukan sampling dan cara responden memberikan jawaban," tulis mereka dalam buku.

Selain itu informasi di internet sangat banyak dan beragam, namun tidak semuanya dibutuhkan. Pencarian tanpa strategi khusus bisa membuat peneliti pemula di internet mengalami frustrasi. Dan ancaman virus kadangkala sangat menggangu kelancaran.

Karena setipa orang bebas membuat homepage dan menampilkan berbagai informasi maka tidak semua data dan informasi yang didapatkan valid untuk dijadikan acuan dalam penelitian. Selain itu sumber informasi di internet mudah berubah. Mau tak mau, peneliti harus selalu mencermati perubahan tersebut bila mengutip sumber bersangkutan.

Berbagai penelitian menunjukkan, internet lebih efektif untuk menjangkau responden yang termasuk kelompok berdaya beli atau berpenghasilan dan berpendidikan relatif tinggi. Dengan demikian, internet kurang efektif bagi penelitian yang kelompok sampelnya adalah masyarakat golongan menengah ke bawah. Kekurangan lainnya terletak pada kecepatan akses. Jika waktu akses lambat, tentu biayanya akan semakin mahal.
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

Baca Buku atau Browsing?

Rabu, 07 Nov 2007

Di tengah-tengah kesibukannya bekerja sebagai programmer televisi berlangganan, Sandra Muchlis, 24 tahun, juga disibukkan dengan tesisnya. Setiap hari, ia terbiasa mencari bahan tugas kuliah dan tesis di internet. Meski lebih banyak menggunakannya untuk chatting (mengobrol) di layanan pesan singkat, namun sejak SMA Sandar sudah menyadari manfaat internet sebagai sumber informasi.

"Browsing di internet lebih gampang karena google mencari apa yang saya mau. Memang tidak mendalam. Makanya saya lengkapi dengan membaca buku-buku teks," kata Sandar yang juga mahasiswa pascasarjana Universitas Bina Nusantara jurusan strategic marketing.

Manfaat internet sebagai alternatif sumber informasi sangat dipahami Emi Agustia, 24 tahun, mahasiswa pascasarjana Universitas Indonesia jurursan Manajemen Komunikasi. Setiap membuat tugas, Emi selalu memanfaatkan internet untuk mencari bahan-bahan. "Di internet lebih up date, apalagi tentang kasus-kasus, lebih mudah cari di sana," ujar perempuan berjilbab ini.

Emi juga mengaku perpustakaan di kampusnya cukup lengkap, utamanya buku-buku teks. Hanya saja, hanay buku tertentu yang bisa dipinjam. Untuk buku terbaru, biasanya hanya bisa dibaca di perpustakaan. "Padahal kan butuh waktu untuk membacanya, apalagi kalau masih dalam Bahasa Inggris. Biar gampang, lihat saja judul dan daftar isinya, nanti dilengkapi di internet," papar Emi.

Menurut Gunawan, 28 tahun, pustakawan di Alliance Geotech, tak semua mahasiswa yang datang ke perpustakaan bertujuan membaca atau mencari bahan tugas. Sebelum di tempat sekarang, Gunawan pernah bekerja di perpustakaan Universitas Paramadina. "Karena ada beberapa komputer yang sudah online, mahasiswa datang ke perpustakaan untuk browsing atau nge-print tugas," katanya.

Umumnya, lanjut Gunawan, kebiasaan meminjam buku teks ditentukan oleh jurusan mahasiswa yang bersangkutan. Semakin banyak bersentuhan dengan teori, semakin aktif mahasiswanya meminjam buku. Sebagai contoh, mahasiswa jurusan filsafat lebih aktif membaca dan meminjam buku dibanding mahasiswa jurusan komunikasi.

Menurut pengamatan Jumala, 24 tahun, pustakawan Joseph Wibowo Center (JWC) Universitas Bina Nusantara, mahasiswa S1 lebih senang membaca majalah daripada buku teks. Sedang mahasiswa S2 seringnya mengerjakan tesis, tugas, ataupun baca buku teks.

Fasilitas yang ada di JWC sebenarnya cukup nyaman, ruangannya berukuran 22x13 meter, dilengkapi sofa yang empuk, penyejuk ruangan, dan pemandangan ke arah pusat perbelanjaan. "Jumlah mahasiswa yang datang ke perpustakaan termasuk banyak. Tapi yang menimjam buku paling hanya separuhnya," ujar Jumala yang akrab disapa Lala.

Gunawan mengatakan, seharusnya bahan di buku teks dan internet bisa saling melengkapi. "Tergantung mahasiswanya melek informasi atau tidak. Mereka bisa saja mencari judul-judul buku di internet, tapi karena tak bisa ditampilkan, ya carilah diperpustakaan. Begitu juga sebaliknya."
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional