Thursday, November 01, 2007

Merindukan Budi Pekerti

Jurnal Nasional, Senin, 29 Oktober 2007

Indonesia terlalu fokus pada masalah pembangunan fisik, seperti gedung sekolah. Padahal, di India, gedung sekolah tak harus bagus.

Salah satu penyebab keterpurukan bangsa Indonesia, bisa jadi karena kurangnya perhatian akan pendidikan budi pekerti. Pendidikan di Indonesia saat ini lebih banyak berorientasi pada pengembangan otak kiri. Padahal, mereka yang lebih banyak menggunakan otak kananlah yang bisa sukses, karena ada faktor keativitas dan inovasi.

Maka itu, perlu ada sebuah sistem pendidikan menyeluruh yang mampu memberi kebebasan anak didik dalam mengembangkan diri. Tentu tak sebatas intelektual, tapi juga memfasilitasi perkembangan jiwa dan raga.

"Pendidikan harus bisa memanusiakan manusia, menumbuhkembangkan nilai-nilai kemanusiaan, dan membangun budi pekerti," kata Ketua Harian Forum Pengajar, Dokter, dan Psikolog Bagi Ibu Pertiwi (ForADokSi-BIP) Dewi Juniarti.

Kebutuhan ini juga disadari oleh Persatuan Bangsa-bangsa dengan menetapkan tahun 2005-2014 sebagai Decade ofEducation for Suistainable Development (DESD). Visi dasar ESD adalah setiap orang mempunyai kesempatan untuk mendapat manfaat pendidikan dan pembelajaran terhadap nilai, perilaku, dan gaya hidup. Semua hal itu dibutuhkan agar bisa bertahan di masa depan dan melakukan transformasi sosial.

Sebagai wujud kepedulian akan pendidikanlah maka National Integration Movement (NIM) mendeklarasikan ForADokSi-BIP. Berkaitan dengan sumpah pemuda tahun ini, sekitar 1.000 guru, dokter, dan psikolog berkumpul di Jakarta. Mereka membahas pentingnya mengembalikan arah pendidikan.

Menurut Ketua NIM Maya Safira Muchtar, pendidikan bukan hanya tanggung jawab guru. Peran dokter dan psikolog juga penting. Dalam menransfer ilmu, nutrisi yang diperoleh anak didik haruslah cukup. Jika tidak, maka informasi yang didapatnya susah dicerna.

"Lihat saja India. Tanah mereka tandus tapi bisa menghasilkan manusia berotak brilliant. Ini karena kebiasaan mereka minum susu, jadi nutrisi mereka bagus. Rata-rata orang Indonesia minum susu lima liter per tahun, sedang orang India minum 500 liter per tahun," kata Maya dalam forum tersebut, Kamis, 25/10.

Selain itu, ia juga menilai pembangunan pendidkan di Indonesia terlalu fokus pada masalah pembangunan fisik, seperti gedung sekolah. Padahal, di India, gedung sekolah tak harus bagus. "Di bawah pohon pun jadi. Tapi buku mereka murah sekali dan anak-anak selalu ditekankan untuk suka membaca."

Menurut penggagas NIM Anand Krishna, masalah pendidikan bukanlah hanya tentang pengembangan otak kiri. "Kita harus melihat pada jiwa anak didik dan jangan pernah ada perbedaan di dalam kelas," katanya.

Bagaimanapun, tak bisa dipungkiri bahwa Indonesia adalah negeri dengan tingkat kompleksitas tertinggi di dunia. Tak hanya jumlah desa dan kota yang sangat banyak, tapi juga beragam dari segi ekonomi, kebudayaan, dan gaya hidup.

Menurut Direktur Jenderal Aplilkasi Telematika Depkominfo Cahyana Ahmadjayadi, peran komunitas sangatlah penting. Lemahnya pemaknaan karakter, jati diri, dan efektifitas pendidikan karena penggunaan metode tunggal. "Padahal masyarakatnya sangat beragam," ujar dia.

Sayangnya, Cahya melihat sumber daya manusia dalam bidang pendidikan sangat tidak siap. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mencatat, pada 2005 sebanyak 58 persen dari tiga juta pendidik belum sarjana. Dan, jumlah ini paling banyak ditemui pada pendidik di tingkat sekolah dasar.

Lalu, pada jenjang tersebut juga, seorang guru harus melayani 20 anak didik. Sebenarnya masih banyak negara di dunia yang rasio pendidik dan siswanya lebih besar dari Indonesia, tapi negara mereka bisa maju. Sebagai gambaran, di Jepang dan Kanada perbandingannya 1:17, di AS 1:15, China 1:21, dan Filipina 1:35.

Tahun depan, tambahnya, Indonesia akan kehilangan satu juta guru karena pensiun. "Tak hanya masalah jumlah tapi juga penyebarannya yang belum merata," ujar Cahya.

Agar dapat membangun karakter manusia Indonesia, pendidikan tak boleh lepas dari tiga pilar. Pertama adalah idealisme. Sejak awal, anak didik harus diberi pemahaman bahwa mereka berbeda. "Punya kebudayaan yang berbeda, tapi tetap satu bangsa."

Kedua adalah proporsional. Indonesia selama ini hanya bisa mengirim tenaga kerja yang belum dipoles. "Ada 2,9 juta TKI terjun bebas dalam pasar kebutuhan SDM global. Harusnya mereka punya kompetensi yang dibutuhkan. Mereka harus bisa jadi super maid," jelasnya. Ketiga adalah etos kerja sebagai komponen terpenting dalam pembangunan manusia.

Untuk itulah teknologi informasi sangat berperan. Dengan e-education atau e-learning¸ maka proses pendidikan dapat dilakukan lebih massal masal dan egaliter. Meski jumlah guru kurang, tapi materi pengajaran bisa diterima oleh siapa saja dan di mana saja.

Ika Karlina

Pendidikan, bukan Pengajaran

Jurnal Nasional, Senin, 29 Oktober 2007

Pendidikan bukanlah sekadar pengajaran. Makin dasar jenjang sekolah, maka makin besar peran pendidikan. Pendidikan menanamkan hasrat ingin tahu, eksploratif, berpikir kreatif, bukan sekedar memori salah dan benar.

Menurut Psikolog Sartono Mukadis, kelalaian pada fase pendidikan dasar akan berdampak pada tingkat perguruan tinggi atau dunia kerja. Pada tingkat SD hingga SMA, siswa mengalami proses pendidikan, meski dengan bobot yang berbeda. Di perguruan tinggi, tak ada lagi pendidikan, hanya pengajaran.

Dalam proses pengajaran, dosen hanya menransfer ilmu yang mereka punya dan menanamkan hasrat ingin tahu. Bukan lagi satu tambah satu sama dengan dua, tapi kenapa harus ada satu tambah satu metode perhitungan lainnya.

"Siswa harus diajak berpikir kreatif, tidak mentok atau buntu. Pendidikan dasar menentukan mutu SDM bangsa secara keseluruhan. Penanaman nilai-nilai harus dimulai sejak pendidikan dasar, bukan sebagai materi pengajaran yang kaku, tapi sebagai falsafah pendidikan nasional itu sendiri."

Setiap insan pendidikan, katanya, adalah bagian integral dari proses penanaman nilai tersebut, tak mungkin segmentaris atau terpisah. Sartono menegaskan bahwa budi pekerti tak bisa dipisahkan dari pendidikan. "Jangan ada pemisahan pelajaran budi pekerti," tuturnya. Semua guru SD adalah guru budi pekerti dan itu harus dilakukan dengan tindakan.
Sebagai contoh, jangan ada guru olahraga yang hanya menyuruh muridnya berlari di lapangan, tapi dia sendiri berteduh di bawah pohon. "Selama ini, anak diajarkan untuk membantu jika ada nenek yang mau menyeberang jalan. Saya bilang ke anak, nanti dulu. Apakah nenek itu memang mau menyeberang? Kalau dia mau ke jalan yang jauh bagaimana? Kan mending naik taksi. Jadi, si anak harus berkomunikasi dulu dengan nenek itu. Buat dia mempertanyakan semuanya."

Selain itu, Sartono juga menegasakan kesalahan terbesar dari sistem pendidikan, yaitu adanya ranking prestasi. "Ini adalah bentuk pengkhianatan paling jahat yang dilakukan manusia," katanya. Kenapa? Karena ranking hanya menghargai hasil akhir, bukan proses.

Kejahatan lainnya adalah membandingkan anak dengan orang lain. Harusnya, anak dibandingkan dengan diri sendiri. Seringkali ada sekolah unggulan yang melakukan psiko tes dalam penyaringan siswa. Hal itu, tegasnya, sama saja dengan peternakan yang memang sudah memilih bibit yang bagus. "Jadi wajarlah kalau hasilnya bagus. Harusnya sekolah bangga kalau memilih anak yang biasa saja tapi bisa dididik jadi pintar."

Sistem pendidikan yang ada sat ini rupanya menghasilkan manusia Indonesia yang hanya senang menonton, bukannya menolong. "Kita ini adalah bangsa yang senang menjual kesedihan dan jika ada yang sukses kita selalu menggunakan terangajaisme. Terang aja dia sukses bapaknya kaya atau sebagaimanya. Padahal, kita tak mau melihat bagaimana proses hingga dia sukses."

Ika karlina idris

Sekolah untuk Kehidupan

Jurnal Nasional, 29 Oktober 2007

Keberagaman yang ada di Indonesia tentu membutuhkan sistem pendidikan yang berbeda pula. Selama ini, kearifan lokal banyak ditinggalkan demi kurikulum pendidikan yang sudah ditetapkan pemerintah.

Butet Manurung, pendiri Sokola Rimba menyadari sepenuhnya akan hal tersebut. Itulah yang membuat dia akhirnya membuka 10 sekolah di tempat yang tak biasa: rimba, gunung, dan pulau. Yang jelas, semua wiilayah tersebut memiliki persamaan, yaitu terkucil secara geografis, kultural, dan ekonomi.

Sebelum mendirikan sekolah, Butet lebih dulu menetap di tempat tersebut untuk melakukan studi etnografi. Lamanya bermacam-macam, namun biasanya sekitar 2-3 bulan.

Yang paling pertama ia akan mencari "siapa masyarakat itu sebenarnya". Sebuah kelompok masyarakat, kata Butet, dapat dilihat dari berbagai sisi. "Ini sangat berbahaya karena ada banyak stereotipe tentang mereka. Antropolog memandang mereka suku anak dalam, pecinta lingkungan memandang mereka sebagai perusak hutan, golongan agama memandang mereka kafir, dan kalangan pendidik memandang mereka bodoh," urainya. Tapi, yang paling penting adalah bagaimana suku anak dalam memandang diri mereka sendiri.

Setelah studi etnografi itulah Butet meyakini bahwa suku anak dalam tak cocok dengan konsep sekolah yang sudah ada. "Ada cara pandang yang berbeda." Sebagai contoh, jika diminta untuk datang belajar jam tujuh pagi, mereka akan bilang lihat besok saja. Jika dilakukan upacara bendera, mereka akan berjongkok, kalau sudah lelah berdiri dan akan bertanya kenapa tiang dan kain harus dihormati."

"Pada awalnya, saya bahkan tak yakin apakah pendidikan berguna untuk mereka. Awalnya, mereka menolak saya, padahal sudah tujuh bulan tinggal di rimba. Dalam adat mereka pendidikan itu tabu. Saya jadi tak yakin, jangan-jangan pendidikan malah merusak mereka," jelas Butet

Selain itu, pendidikan formal tak sesuai karena ada pebedaan pola hidup. Pada dasarnya, peserta sekolah terlibat dalam ekonomi keluarga, baik itu membantu ayah di ladang atau ibu di rumah. Untuk mengakalinya, ia sering menjadikan anak-anak sebagai tutor untuk sesama. Lalu, materi yang diajarkan oleh sistem pendidikan resmi tak aplikatif bagi mereka.

Awalnya, anak-anak di rimba tak mau belajar kali-kalian, karena mereka anggap tak ada gunanya. "Suatu hari, ada anak yang akan berbelanja untuk penduduk desa. Ia harus membeli terigu untuk 80 keluarga. Ditulisnya satu-satu nama keluarga dan dijumlahkan. Bukunya sampai habis. Saya bilang ke dia, itu baru 80 keluarga. Bagaimana kalau kamu harus belanja untuk satu kampung? Dengan perkalian akan lebih mudah dan akhirnya mereka mau belajar," cerita Butet.

Hingga kini ia masih kesulitan memberi pemahaman untuk belajar pecahan. "Saya tanya, kalau ada satu kue dibagi tiga, kamu akan dapat berapa? Dia bilang, saya tetap dapat satu tapi kuenya lebih kecil."

Untuk pendidikan bagi komunitas adat, katanya, membutuhkan tiga syarat. Pertama, komunitas adat sudah bersentuhan dengan dunia luar. Dengan kata lain, sudah mengenal pertukaran uang. Kedua, pendidikan tidak boleh menggantikan yang sudah ada tapi menambah nilainya.
Ketiga, pendidikan tak boleh mencabut mereka dari budaya asli. Sebagai contoh, konsep malam dan siang bagi suku anak dalam. Mereka menganggap malam terjadi karena ada raksasa yang menelan matahari. "Saya jelaskan bahwa ada orang lain tidak menganggap seperti itu. Dan saya jelaskanlah konsep siang, malam, rotasi bumi dengan membuat alat peraganya."

Jika ingin memberikan pendidikan bagi komunitas adat, terlebih dulu harus ada studi etnografi, pengajar yang menetap di sana, ada adaptasi bahasa dan budaya, dan tahu cara mengorganisir komunitas tersebut untuk berhubungan dengan dunia luar. Sekolah bagi mereka haruslah untuk diterapkan dalam kehidupan.

(Ika Karlina Idris)

Kita Belum Mahir Berbahasa Indoensia



Jurnal Nasional, Kamis, 25 Oktober 2007

Setiap 28 Oktober, Indonesia memperingati Sumpah Pemuda, hari dimana organisasi kepemudaan dari berbagai daerah menyatakan semangatnya. Semangat berbangsa, bertanah air, dan berbahasa Indonesia, dicetuskan 28 Oktober 1928.

Hampir 8 dasawarsa sudah sumpah itu diucapkan, tapi apakah Bahasa Indonesia sudah dimanfaatkan sebagai tujuan awalanya, yaitu bahasa persatuan? Tak usahlah menyebut angka buta huruf yang mencapai 8,07 persen dari sekitar dua ratus juta penduduk Indonesia, cukup lihat saja dari percakapan sehari-hari. Sudahkah masyarakat Indonesia "melek" dengan bahasanya sendiri?

Berikut petikan wawancara Jurnal Nasional dengan Kepala Bidang Pengembangan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Sugiyono yang juga aktif sebagai pengajar di Pascasarjana Uinversitas Indonesia, Universitas Sebelas Maret, dan pengajar tamu di Universitas Brunei Darussalam:

Apakah Bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa persatuan?

Tentu saja. Kalau Bahasa Indonesia belum menjadi bahasa persatuan, sampai saat ini kita belum merdeka. Pada 1928, ada banyak kelompok komunitas. Kita bisa merdeka karena adanya pengakuan untuk menjunjung bahasa Indonesia.

Sebelumnya, masyarakat Indonesia tak bisa bersatu karena masing-masing ingin menonjolkan etnis mereka. Kalau mereka tak mau berkorban dengan mengakui bahasa melayu Riau menjadi bahasa persatuan, bagaimana mau merdeka? Saat itu sudah ada semangat untuk bersatu. Hal ini tak saja membuat komunikasi menjadi lancar, tapi semangat berkorban itulah yang menjadi perekatnya.

Bayangkan kalau memilih bahasa nasional saja itu sulit, bisa-bisa kita belum merdeka sampai sekarang. Bahasa persatuan itu sudah ada sejak 1928 dan masih berlaku sampai sekarang. Bayangkan saja kalau Anda mengunjungi suatu daerah tapi tak tahu bahasa yang ada di sana. Untung saja ada bahasa Indonesia, karena itulah yang akan Anda gunakan.

Karena itu, kami sedang mendesain UU Kebahasaan dimana salah satu pasalnya menyatakan bahwa pemerintah harus mengupayakan agar rakyatnya mampu dan bangga berbahasa indoensia.

Upayanya seperti apa?

Untuk menjadi mampu dan bangga tentu harus melalui proses pengajaran, pemasyarakatan baik lewat media masaa, pertemuan langsung, atau lomba-lomba. Bisa juga dengan kerja sama, misalnya penyediaan hak cipta. Saat ini Pusat Bahasa bekerja sama dengan Microsoft untuk mengindonesiakan program-program mereka. Tentunya agar orang-orang lebih mudah dalam menggunakan fasilitas ini.

Apakah masyarakat Indonesai sudah "melek" Bahasa Indonesia?

Tentu, hanya saja mereka memang belum mahir menggunakannya. Meski sudah dicetuskan sejak 1928, tapi orientasi pemerintah dan masyarakat selalu berubah. Misalnya saja sekitar tahun 1974, pemerintah dan masyarakat berorientasi nasionalisme. Apa pun yang tak berbau nasional akan dilawan.

Kemudian, sejak tahun 1957, misalnya, pemerintah daerah DKI Jakarta sudah mengelurkan perda (peraturan daerah) yang melarang penggunaan kata-kata asing untuk nama toko. Alasannya, jika dibiarkan dampaknya tak akan bagus untuk Bahasa Indonesia.

Hal ini terjadi lagi pada ulang tahun emas kita, 1995, Soeharto melarang adanya penggunaan istilah asing. Dia ingin Jakarta dan kota lain di Indonesia terlihat seperti Indonesia, bukan negara asing. Tapi, saat reformasi kebijakan seperti ini dianggap tak sesuai, jadi tak ada aturan lagi.

Lalu, apa Bahasa Indonesia cukup mudah digunakan dalam bahasa ilmu pengetahuan? Pasalnya, ada banyak istilah asing yang harus diadaptasi untuk keilmuan

Pada dasarnya, bahasa Indonesia tak sulit jika digunakan untuk istilah ilmu pengetahuan. Sebenarnya bukan sulit, hanya masyarakat saja yang tak mau gunakan istilah asing yang sudah diindonesiakan. Makanya, Departemen Pendidikan Nasional, Juli lalu mengeluarkan glosarium istilah asing yang sudah dipadankan dalam bahasa Indonesia. Ada sekitar 180 ribu istilah dan dibagikan gratis ke berbagai lembaga. Siapa saja yang mau glosarium ini bisa menghubungi Pusat Bahasa.

Terkait penggunaan bahasa asing, Malaysia menempatkan Bahasa Inggris di atas bahasa Melayu, demi ilmu pengetahuan. Apakah Indonesia harus mengikuti ini agar bisa semaju Malaysia?

Tidak juga. Artinya, Bahasa Inggris perlu tapi tak harus mengorbankan jati diri bangsa. Kita ini seperti ular berkepala, yang satu harus memelihara keragaman bahasa daerah dan satu lagi mengejar kemajuan dengan Bahasa Inggris.

Sebenarnya kita diuntungkan karena ada tiga alternatif bahasa. Untuk kerangka nasional, kita punya Bahasa Indonesia, untuk kerangka multietnis ada bahasa daerah, dan kerangka iptek kita pakai bahasa asing.

Jangan pula dilupakan bahwa presentase masyarakat kita yang bisa berbahasa Inggris masih sedikit. Kita kan tak mungkin menutup ruang bagi mereka yang hanya bisa bahasa daerah dan Indonesia. Karena itu, kit gunakan saja kemampuan mereka yang mampu berbahasa Inggris untuk mengajar mereka yang tidak mampu berbahasa Inggris. Saya rasa langkah itu akan lebih efektif. (ika karlina idris)

Menghargai Informasi Melalui Blog



Jurnal Nasional,Selasa, 23 Oktober 2007

Di tengah kebebasan dunia maya, perkara kutip-mengutip isi blog masih diperdebatkan.


Seorang senior di kampus pernah kesal habis-habisan karena weblog (blog) miliknya dikutip tanpa izin oleh sebuah surat kabar nasional. Soleh Solihun, nama senior itu, adalah editor ficer di majalah Playboy Indonesia. Sekitar setahun lalu, koran itu mengutip sebagian isi blog Soleh untuk dimasukkan ke dalam tulisan "Sang Plabyboy yang Pemalu".

Setelah kejadian itu, Soleh pun menulis "peringatan" tetang kutip-mengutip isi blognya. "Selamat membaca. Tapi tolong. Jangan mengutip tulisan di sini tanpa izin saya. Apalagi kalau untuk media massa. Maaf. Bukan belagu. Republika pernah melakukan itu soalnya. Dan saya masih kesal."

Setelah mencantumkan kalimat itu, ia beberapa kali menerima permintaan ini dari pengunjung blognya, baik untuk mengutip tulisan ataupun foto. Menurut Soleh hal ini penting untuk menghindari informasi darinya dimanfaatkan orang lain.

"Media (massa) harusnya minta izin jika ingin mengutip isi blog, apalagi kalau punya agenda tersendiri dan menyudutkan si penulis blog. Sebagai jurnalis, mengutip apa pun, walau hanya mengobrol, harus tetap memberitahu sumber informasi. Itu sebenarnya hal mendasar yang harus dipatuhi jurnalis," kata Soleh bersemangat.

Dalam sebuah perkuliahan tentang media baru, pakar komunikasi dari Universitas Indonesia Alwi Dahlan mengatakan, informasi yang ada dalam internet sifatnya gratis dan bisa diakses oleh siapa yang saja. Dalam kasus kutip-mengutip blog, menurut Alwi, harusnya si penulis blog sadar bahwa apa pun yang ia sampaikan dapat diakses dengan mudah oleh siapa saja.

Kutip-mengutip isi blog sebenarnya sering menimpa blogger. Pada kasus Soleh, ia tahu blognya dikutip karena ditampilkan di media massa. Bisa jadi, lebih banyak lagi blog yang dikutip tanpa sepengatahuan pemiliknya.

Kejadian itu pernah menimpa Ika Krismantari, wartawan koran berbahasa Inggris di Jakarta. Seorang temannya pernah mengutip blog pribadi Ika yang hanya dapat diakses melalui situs friendster. Ia baru sadar blognya dikutip saat iseng-iseng mengunjungi blog teman-temannya.

Tak hanya mengutip sebagian, tapi satu tulisan Ika dikutip dan diklaim sebagai tulisan pribadi. "Saya sempat bingung. Apa yang saya tulis itu pengalaman pribadi dan rasanya aneh jika ada orang yang punya pengalaman sama dan menuliskannya dengan sama juga. Saya sedikit kesal, tapi saya biarkan saja, bisa jadi itu salah satu bentuk apresiasi dia terhadap tulisan saya," katanya.

Menurut pakar komunikasi dari Universitas Padjadajran Deddy Mulyana, perlu ada etika menyampaikan atau menggunakan informasi dalam blog pribadi. Hanya saja, etika itu sangat terikat dengan budaya masyarakat yang bersangkutan.

"Filosofi komunikasi sangat beragam, mulai dari libertarian, tanggung jawab sosial, ataupun agama. Mau yang mana? Semuanya kembali pada pribadi yang bersangkutan," kata Deddy.

Pada dasarnya, media adalah perpanjangan dari panca indera manusia. Jika seseorang mengambil informasi dari blog dan mengklaimnya sebagai pendapat pribadi, berarti ia sudah membohongi dirinya sendiri dan orang lain. "Apalagi jika menggunakannya untuk agenda tertentu. Untuk itulah, mengakses informasi di internet harus menggunakan hati nurani," kata Deddy yang juga aktif sebagai pembicara komunikasi lintas budaya di manca negara.

Ia juga mengatakan bahwa teknologi internet akan terus berkembang dan akan membuat seseorang yang tak mengikutinya ketinggalan jaman. Yang patut diperhatikan, adalah bagaimana masyarakat Indonesia beradaptasi dengan internet. Tren ini masuk saat masyarakat Indonesia belum melek huruf.

Masyarakat Indonesia, kata Deddy, memiliki tradisi lisan. Dengan adanya blog dan internet, masyarakat harus loncat ke tradisi audiovisual. Karena itu, ada periode yang hilang. Meski Indonesia masuk ke dalam peringkat 15 besar negara pengakses internet, namun menurutnya itu baru secara kuantitas.

"Jangankan mengerti etika mengakses informasi, apa yang mereka akses itu biasanya yang tidak terlalu bermanfaat. Masih sebatas untuk entertainment (hiburan), bukan untuk mencari data ilmiah untuk mengembangkan pribadi mereka," ujarnya.

Pesta Blogger

Maraknya fenomena blog di Indonesia ternyata menarik perhatian beberapa blogger terkemuka untuk menggarap Pesta Blogger 2007. Acara bertema "Suara Baru Indonesia" ini tak hanya ajang kumpul-kumpul berskala nasional bagi blogger, tapi juga menjadi wadah pertemuan dan diskusi, utamanya menciptakan iklim nge-blog yang positif di Indonesia.

Enda Nasution yang juga dikenal sebagai ‘Bapak Blogger Indonesia' mengatakan bahwa perkembangan blog di Indonesia mencapai angka 130 ribu, bahkan diperkirakan lebih. "Dalam sebuah masyarakat yang minat bacanya masih rendah, minat untuk menulis dan mengekspresikan pikiran serta perasaan lewat sebuah blog merupakan sesuatu yang harus didukung dan dihargai. Melalui blog, setiap orang dapat memperdengarkan ‘suara'-nya," ujar Enda dalam media briefing Pesta Blogger 2007. (ika karlina idris)

ps: makasih buat kang soleh dan ika yang sudah membantu

Pesantren Kaya Sumber Belajar


Jurnal Nasional, Selasa, 09 Oktober 2007

Pondok pesantren (ponpes) selama ini identik dengan pendidikan kelas dua. Awal keberadaannya, ponpes memang didirikan sebagai lembaga pendidikan non formal yang mengutamakan pemberian materi agama.

Saat ini, materi pembelajaran yang diberikan ponpes sudah setara dengan pendidikan formal. Bahkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional secara resmi mengakui pesantren sebagai bagian dari sistem pendidikan di Indonesia. Tidaklah mengherankan jika akhirnya Departemen Agama merasa perlu meningkatkan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi pesantren.

Menurut komisioner Bidang Pendidikan dan Iptek Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Habib Chirzin, ada begitu banyak sumber pembelajaran di pesantren. Sekitar tahun 1970-an, konsep pendidikan di pesantren adalah intergasi antara pendidikan agama, pengetahuan umum, dan kecakapan hidup. Dalam perkembangannya, pesantren lalu mengembangkan layanan pada masyarakat dan dakwah.

Salah satu upaya pesantren adalah memberdayakan masyarakat sekitarnya pada berbagai bidang. "Mulai dari kesehatan, lingkungan, teknologi tepat guna, atau kerajinan rumah tanga," kaya Habib.

Karena perannya itulah, pesantrean bukan lembaga pembelajaran biasa. "Ponpes bukan hanya schooling tapi juga learning society (masyarakat pembelajar)," katanya.

Santri di pesantren sebenarnya memiliki sumber belajar yang lebih banyak daripada siswa di sekolah umum. "Sumber belajar itu tergantung pada lingkungan masyarakat di sekitarnya. Bisa belajar dari pabrik tahu, bengkel mobil, pabrik sepaty, atau pertanian. Karena terlibat langsung itulah maka ponpes mendapat kepercayaan masyarakat," urai Habib yang juga Anggota Badan Wakaf Ponpes Pabelan, Magelang, Jawa Tengah dan Ponpes Darun Najah, Jakarta.

Selain itu, pesantren juga dapat berfungsi sebagai tools center (pusat peralatan). Maksudnya, masyarakat dapat meminjam alat yang dimilki ponpes. Bahkan, ponpes juga dapat menadi pusat informasi pembangunan masyrakat.

Sebagai contoh, pada akhir tahun 1980, Ponpes Pabelan menjadi jejaring informasi pembangunan. Saat itu, ponpes ini terkenal sebagai koperasi kopiah di Magelang. Bahkan, ponpes juga mendapatkan penghargaan internasional di bidang arsitektur.

"Ini karena ponpes membekali santri dengan pengetahuan pertukangan, sehingga keahlian mereka sangat beragam. Ponpes telah melatih mereka belajar mandiri dan meningkatkan kecakapan untuk bekal hidup," jelasnya.

Untuk meningkatkan kualitas santri, Departemen Agama meminta perguruan tinggi umum memberi kesempatan yang sama pada lulusan ponpes untuk masuk di perguruan tinggi favorit. Beberapa kampus yang sudah menandatangani perjanjian kerja sama adalah IPB, ITS, UGM, ITB, UI untuk bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sementara di bidang ilmu sosial dan keagamaan telah ditandatangani naskah kerjasama dengan UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, IAIN Walisongo, dan IAIN Sunan Ampel.

Meski demikian, Habib mengingatkan perlunya santri membuka cakrawala berpkir. Selama ini, ada anggapan bahwa santri kurang kritis karena menerima mentah-mentah ajaran guru atau kiyai. Ini disebabkan adanya paham bahwa ilmu yang bermanfaat datangnya langsung dari Nabi Muhammad SAW. Ada kecenderungan santri lebih mendengar pendapat kiyai yang ada hubungan keturunan dengan Muhammad SAW.

Hanya saja, saat ini pandangan seperti itu semakin bergeser. Ini karena masyarakat ponpes menyadari bahwa ajaran nabi hanyalah salah satu sumber. Santri juga dapat berpedoman pada Al-Quran yang berisi tentang berbagai hal, mulai dari astronomi, sejarah, hingga hubungan antar bangsa.

"Isi Al-Quran banyak sekali. Sekarang santri ponpes lebih kritis dan ini baik bagi mereka kalau ingin masuk ke perguruan tinggi umum," ujarnya. (ika karlina idris)

Ilmiah tapi juga Gembira

Jurnal Nasional, 8 Oktober 2007

Awalnya, lomba KIR oleh LIPI, diikuti sekitar 10 ribu peserta. Jumlah ini terus menurun setiap tahunnya.

Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) selama ini selalu kalah pamor dengan kegiatan ekstra kurikuler lain, seperti basket, cheerleaders, ataupun band. Maklumlah, kata "ilmiah" rupanya identik dengan mata pelajaran sains, serupa matematika, fisika, kimia, ataupun biologi yang serba mengernyitkan dahi. Bisa jadi, anggapan seperti ini yang menyebabkan KIR kurang diminati siswa.

KIR sudah ada sejak 1968 dan didirikan sebagai wadah kegiatan ilmiah siswa. Hingga saat ini, banyak sekali peserta lomba KIR yang sukses menjadi profesional ataupun ilmuan. Sebut saja fisikawan Yohannes Surya, ahli robotika Adi Sudadi Soembagijo, dan pakar informatika Wisno Broto.

Menurut mantan kepala penelitian dan pengembangan (litbang) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIP) Sudito, sebenarnya KIR tak selalu identik dengan sains ataupun siswa "berkaca mata tebal". Sebenarnya, KIR adalah sekelompok anak-anak yang minat pada bidang tertentu dan bisa terdiri dari beberapa bidang.

"Yang senang fisika, biologi, atapun ilmu sosial bisa masuk asalkan memang minat. Siswa juga bisa memilih sendiri bidang ilmu yang ia senangi. KIR bukanlah Osis (Organisasi Siswa Intra Sekolah) yang keanggotaannya dipaksakan," kata Sudito.

Dengan mengikuti KIR diharapkan kemampuan penelitian siswa dapat berkembang. Selama ini, masalah yang sering dijumpai seputar KIR adalah minat siswa dan SDM guru pembimbing. Sebenarnya, hampir setiap guru dapat membimbing KIR, takharus guru matematika atau sains.

Pendidikan minimal guru sekolah adalah sarjana pendidikan. "Jadi paling tidak dia sudah pernah bikin skripsi," katanya. Nah, metode ilmiah dalam pembuatan skripsi itulah yang harus menjadi prinsip dalam karya ilmiah siswa. Apapun bidang ilmunya, metode penelitian haruslah ilmiah.

Menanggapi semakin lesunya kegiatan KIR, Lembaga Manajemen Pendidikan Indonesia (LMPI) mengadakan diskusi seputar KIR pada Kamis, 4/10, di Jakarta. Selain sudito, diskusi itu juga dihadiri oleh puluhan guru pembimbing KIR di berbagai sekolah.

Leila, guru SMP 226 Jakarta, mengakui bahwa sekolahnya belum ada panduan tentang pengembangan KIR. "Soalnya belum lama dimulai. Saya pembimbingnya tapi masih kebingungan," keluh Leila.

Berdasarkan pengalaman sejak mendirikan KIR, Sudito menekankan perlunya si guru memberi contoh. Maksudnya, selain mengajak anak ikut KIR, guru juga harus aktif meneliti dan menulis makalah ilmiah. Di era informasi saat ini, informasi yang ada di internet memudahkan guru menulis artikel ilmiah.

Metode penelitian pun tak selamanya harus kuantitatif. Bagi ilmu sosial, misalnya, guru bisa memperkenalkan metode kualitatif bagi siswanya. Hal ini akan membuat mereka membaca banyak referensi.

Selain itu, guru juga harus aktif mengikuti wadah-wadah ilmiah yang ada. Seperti pertemuan ilmiah, baik itu simposium, seminar, loka karya, ataupun diskusi. Lalu, guru juga harus aktif mengadakan pameran hasil penelitian siswa.

"Doronglah siswa untuk mengikuti pekan ilmiah remaja karena di sana mereka akan mengembangkan proyek, penelitian. Atau sederhananya, ajak saja siswa mengunjungi museum atau laboratorium alam. Untuk variasi, bisa juga mengunjungi lembaga ilmu pengetahuan semisal planetarium atau herbarium," kata Sudito.

Terakhir, guru harus bisa memublikasikan hasil-hasilnya. Bisa dengan menulis artikel ilmiah ataupun mengajak anggota KIR mengirimkan tulisan mereka ke majalah. "Jika memang kegiatan KIR begitu beragam, apakah mungkin membuat standar acuan," tanya salah seorang peserta.

Menurut Sudito, yang paling penting adalah hasil dari kegiatan tersebut. Ia mengakui bahwa selalu ada prosedur tetap jika berkaitan dengan kegiatan sekolah. Hanya saja, ia takut hasil kegiatan KIR tak optimal jika terlalu kaku.

Sebagai panduan, cukuplah dengan SMART, yakni specific, measurable, achievable, reasonable, dan timeschedule. Dengan kata lain, kegiatan KIR harus spesifik, dapat diukur, dapat dicapai, punya alasan cukup kuat sebagai penelitian, dan punya tenggat waktu dalam mencapainya.

Guru, menurutnya, harus pandai-pandai meyakinkan siswa bahwa KIR akan bermanfaat bagi karir mereka di masa depan. Yang jelas, guru harus ingat bahwa ada perbedaan antara KIR dengan kegiatan klub lain, seperti olah raga. Sulit sekali menemukan cara yang pas agar anak bisa enjoy dan hasilnya optimal. "Kuncinya, KIR harus memasukkan unsur kegembiraan dan petualangan," tegas Sudito.

Ia mengaku prihatin karena lomba KIR tidak lagi diikuti remaja secara bergairah. Jika awalnya KIR bisa diikuti hingga 10 ribu peserta, kini kegiatan ilmiah itu kian berkurang minatnya. Kecenderungannya, setiap tahun terjadi penurunan jumlah peserta. (ika karlina idris)

Nano-edu bagi Siswa


Jurnal Nasional, Senin, 8 Oktober 2007


Salah satu kendala yang sering dikeluhkan guru dalam mengoptimalkan kelompok ilmiah remaha (KIR) adalah keterbatasan alat peraga. Itu hanya seputar alat peraga berupa organ tubuh manusia, mikroskop, ataupun komputer. Lalu, bagaimana cara mengenalkan ilmu yang lebih rumit lagi, nanoteknologi misalnya?

Saat ini, hampir semua negara di dunia sedang berpacu mengembangkan nanoteknologi. Soalnya, teknologi ini memungkinkan manusia mengontrol zat, material, dan sistem pada skala nanometer. Nantinya, zat baru ini akan menghasilkan fungsi yang belum ada.

Sebagai contoh, penemuan nano robot dapat digunakan untuk membunuh virus dalam pembuluh darah, atau menggabungkan sifat "anti nempel" daun talas ke material kaca, material besi yang lebih ringan untuk perangkat komputer atau ponsel.

Menurut Ketua Laboratorium Material Lanjut dan Nanoteknologi LIPI Nurul Taufiqu Rochman, nanoteknologi perlu dikenalkan sedini mungkin ke anak-anak Sekolah Dasar ataupun Menengah. Di Jepang, katanya, nanoteknologi bahkan sudah diperkanalkan sejak taman kanak-kanak.

"Dengan mengenalkan nanoteknologi sedini mungkin, diharapkan dapat membangkitkan minat anak-anak. Ke depannya, siapa tahu mereka bisa jadi penemu dalam pengembangan teknologi ini," kata Taufiqu Rochman.

Karena nanoteknologi mengembangkan zat berukuran nanometer (1 per 1.000.000.000 meter), maka tentu peralatan yang digunakan pun mahal. Untuk itu, Taufiqu Rochman dan peneliti lain di LIPI mengembangkan nano-edu. Sebuah alat peraga untuk membantu siswa memahami dan membayangkan dinamika atom dan fenomena alam pada level nano.

Nano-edu berbentuk pigura plastik seukuran kartu remi. Didalamnya, terdapat bola-bola kecil yang sama ukurannya. Bola-bola itu akan membentuk pola tertentu sesuai dengan gaya yang diberikan melaluigetaran atau ketukan.

"Pola-pola deretan dari bola-bola itu dapat digunakan untuk membayangkan gerakan atom atau molekul lain. Atau bisa juga pola kristal dua dimensi yang tersusun dan saling berikatan. Nano-edu dimainkan dengan mengocok dan menggetarkannya melalui ketukan pada pinggir nano-edu," jelasnya.

Karena kesederhanaan bentuk, tak heran jika nano-edu karyanya diekspor ke Jepang. "Di sana yang pakai anak TK dan SD. Kalau di sini, anak SMP atau SMA,"kata Taufiqu Rochman sambil tertawa.

Yang jelas, pembelajaran nanoteknologi harus dilakukan sesegera mungkin. Sejak dipublikasikan pada 1998 lalu, perkembangan tekonologi ini sangat cepat. "Semua Negara mulai dari awal dalam mempelajari ini. Kita pun jangan mau ketinggalan," kata peneliti yang sudah memiliki 9 hak paten di bidang ini. (ika karlina idris)

Sertifikasi Cepat, Guru Tak Siap

Jurnal Nasional, Rabu, 03 Oktober 2007

Guru kebanyakalan lemah dalam prestasi akademik, forum ilmiah, pengalaman organisasi, dan penghargaan pendidikan.


Sejak dua minggu lalu, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mengumumkan hasil sertifikasi guru. Hanya sebagian guru yang lolos sertifikasi. Bahkan ada daerah yang presentase tidak lulusnya jauh lebih besar dari yang lulus.
Program sertifikasi guru tercantum dalam Undang-Undang Guru dan Dosen No. 14/2005 dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 18/2007. Dalam Permendiknas disebutkan bahwa sertifikasi bagi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji kompetensi untuk memperoleh sertifikat pendidik.

Sertifikasi guru dalam jabatan dilakukan dalam bentuk portofolio, yang penilaiannya dipilah menjadi tiga unsur.

Unsur A meliputi kualifikasi akademik, pengalaman mengajar, serta perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Unsur B meliputi pendidikan dan pelatihan, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, dan karya pengembangan profesi. Unsur C meliputi keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, serta penghargaan yang releven dengan bidang pendidikan.

Setiap unsur dinilai berdasarkan portofolio yang dimiliki para guru, seperti ijazah, sertifikat, ataupun piagam. Masing-masing unsur memiliki total poin 300 dan nilai minimal kelulusan sebesar 850. Namun, tak boleh ada satu pun kualifikasi yang nilainya nol. Jadi, dengan kata lain, seberapa besar pun nilai si guru, jika ada satu kualifikasi yang tak dimiliki, maka ia tak akan lulus.

Menurut pengajar dari Sampoerna Foundation Teacher Institute Tatang Suratno, kebanyakan guru tak meliki catatan di prestasi akademik, forum ilmiah, pengalaman di organisasi pendidikan, karya pengembangan profesi, dan penghargaan di bidang pendidikan. Hasil itu dia peroleh dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung yang merupakan assessor (penilai) untuk wilayah Jawa Barat.

Untuk menerapkan persayaratan seperti itu, kata Tatang, harusnya pemerintah mewadahi terlebih dulu semuanya. "Dengan sistem sekarang, sertifikasi ini terlalu cepat," katanya kepada Jurnal Nasional, Selasa, 2/10.

Sebagai contoh, untuk mendapatkan pengalaman di organisasi pendidikan, wadah yang ada hanyalah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Untuk membuka kesempatan berorganisasi, harusnya pemerintah mengembangkan forum lain, seperti Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP).

Selain itu, pemerintah juga harus mewadahi forum-forum ilmiah. "Paling tidak hingga ke tingkat kecamatan," tegas Tatang. Lalu, untuk mewadahi prestasi akademik, harusnya ada insentif yang relevan dengan tugas mengajar.

"Umpamanya dengan mengadakan master teacher atau instruktur untuk menghadapi sertifikasi," kata Tatang yang juga pengajar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam mengembangkan profesi, harus ada jurnal-jurnal ilmiah dan konvesi guru yang sampai ke daerah. "Ini bukan hanya tugas Depdiknas tapi juga Dinas Pendidikan."

Tak Cukup Diklat

Bagi guru yang belum memenuhi batas minimal kelulusan, pemerintah merencanakanakan sebuah pendidikan dan pelatihan kembali. Maksudnya agar guru menguasai persoalan tentang kompetensi.

Di Bali, Diklat ini akan dilakukan selama enam hari, sedang di Medan selama sembilan hari. Tapi apakah cukup dengan diklat?

Menurut Kepala Penelitian dan Pengembangan Manajemen Pendidikan Indonesia (LMPI) Muhammad Hidayat Rahz, mustahil mengejar ketertinggalan penguasaan bidang ajar atau kualifikasi lainnya dalam waktu singkat.

Lagi pula, Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) sebagai pelaksana diklat belum memiliki silabus yang jelas mengenai diklat tersebut. "Dalam situs sertifikasi guru saja belum ada konten mengenai pendidikan profesi. Lalu bagaimana mereka bisa menyiapkan materi diklat ini," ujar Hidayat.

Selama ini, Depdiknas selalu terburu-buru dalam membuat kebijakan. Hidayat menegaskan apa yang terjadi pada distribusi bantuan sekolah. "Saking sulitnya mendata sekolah, pemerintah akhirnya membuat voucher pendidikan. Itu saja mereka sudah tak mampu mengatur, bagaimana dengan sertifikasi yang harus menilai kemampuan banyak orang?"

Sedari awal, sertifikasi dengan konsep portofolio sudah salah. Pasalnya, seorang guru bisa mengajarkan mata pelajaran bukan karena dia mampu tapi karena keterbatasan SDM. "Harus ada tes. Kalau pengalaman mengajar ada tapi tak sesuai dengan kualifikasi akademik, bagaimana?" tanyanya.

Menurtu Tatang, selama ini 50 persen diklat untuk guru selalu bermasalah. Sebagian besar karena tidak memenuhi kriteria distribusi dan kebaruan materi diklat. "Materinya sudah tua-tua, itu pun tak pernah sampai ke daerah-daerah," katanya. (ika karlina idris)

Sertifikasi dengan Semangat Desentralisasi

Jurnal Nasional, Rabu, 03 Oktober 2007

Program sertifikasi guru tak memiliki perencanaan yang matang. Tak heran jika pelaksanaannya pun terkesan asal-asalan. Kepala Penelitian dan Pengembangan Manajemen Pendidikan Indonesia (LMPI) Muhammad Hidayat Rahz, Rabu (3/10), di Jakarta, mengatakan, ada baiknya, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) melihat penerapan yang ad di negara lain.

Misalnya saja Amerika, pemerintahnya memerlukan waktu selama lima tahun (1987-1992) hanya untuk penelitian, pengembangan, dan pembuatan model sertifikasi. Lima tahun setelahnya, mereka lakukan assessment (diagnosis) dan evaluasi. Barulah pada 1996, standar prosedur dilaksanakan.

Pada dasarnya, kata Hidayat, ada tiga poin yang ditekankan. Pertama, standar kemampuan mengajar dan pembelajaran. "Guru tak hanya menguasasi materi tapi juga bisa manajemen kelas. Salah satu ukuran poin ini adalah pencapaian prestasi murid," katanya.

Kedua, proses terbuka secara sukarela. Proses tidak dipaksakan sehingga hanya guru yang betul-betul siaplah yang mengikutinya. Ketiga, sertifikasi semata-mata untuk reformasi pendidikan.

Hingga saat ini, sudah ada sekitar 5.500 guru yang sudah disertifikasi. Dan pemerintah Amerika pun kembali melakukan evaluasi atas guru-guru tersebut.

"Di kita mana ada evalusi? Semuanya jalan sendiri-sendiri. Kurikulum baru, siswa harus lulus UN, anggaran belum 20 persen, lalu ada lagi sertifikasi guru. Semunya mau dipaksakan tapi belum siap," tegas Hidayat yang pencetus ide program Kitab Guru.

Maka itu, sertifikasi harus dihentikan dulu dan dievaluasi. Bahkan harus ada riset mengenai sistem yang tepat. Jika masih memakai sistem sekarang, banyak sekali ketidakefektifan dan ketidakefisienan.

Sebagai contoh adalah biaya untuk assessor. Ia mengatakan bahwa setiap berkas dinilai oleh dua orang assessor. Setiap orang dibayar Rp150 ribu. Jika harus ada diklat dan penilaian ulang, tentunya biaya yang dibutuhkan sangat besar.

Ia pun mengusulkan adanya konsep desentralisasi untuk sertfikasi guru. Bagaimanapun, semua guru PNS statusnya PNS daerah. Jadi, untuk riset, pengambangan, dan evaluasi harus diserahkan ke daerah.

Selain itu, yang paling mengerti kondisi pendidikan di suatu dearah adalah pemerintah daerah. Bagaimana kebutuhan forum ilmiah atau pendidikan dan pelatihan, tentulah daerah yang paling mengerti. "Kalau tes berdasarkan portofolio, tak boleh disamakan antara guru di kota dan daerah." katanya. (ika karlina idris)